Benarkah Saham-saham Blue Chip Sedang Murah?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 March 2020 07:14
Benarkah Saham-saham Blue Chip Sedang Murah?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak awal tahun, kinerja bursa saham tanah air masih anjlok sebesar 14,89% dipicu oleh sentimen negatif berupa merebaknya virus corona di luar China.

Virus corona awalnya ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, China bagian tengah. Pada 20 Januari jumlah orang yang terinfeksi di China melesat tajam. Setelah itu virus corona mulai menjadi epidemi di China.

Tak berhenti di China, virus ini semakin meluas menginfeksi ke berbagai negara di penjuru dunia. Berdasarkan data John Hopkins University CSSE, sampai dengan hari ini sudah ada lebih dari 90.000 kasus kumulatif orang yang terinfeksi COVID-19 di lebih dari 60 negara.

Saat ini lonjakan jumlah kasus baru tak lagi banyak ditemukan di China, melainkan di Korea Selatan, Italia dan Iran. Lonjakan kasus di luar China yang signifikan pertama kali dilaporkan awal pekan minggu lalu.

Merespons hal ini bursa saham global rontok dibuatnya. Pasar ekuitas di berbagai penjuru dunia mengalami tekanan jual besar-besaran senilai US$ 6 triliun dalam sepekan. Panic selling melanda bursa saham global, tak terkecuali RI.

Saham-saham yang berkapitalisasi besar dan blue chip di Indonesia pun menjadi korbannya. Harga saham-saham blue chip tanah air berguguran. Saham-saham blue chip sendiri merupakan saham-saham dari perusahaan yang nilai kapitalisasi pasarnya besar biasanya lebih dari Rp 40 triliun. Selain itu saham-saham blue chip juga didukung dengan fundamental perusahaan yang baik.

Mengacu pada perdagangan hari ini, sepuluh saham dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di bursa saham domestik masih didominasi oleh emiten perbankan (4 emiten) disusul oleh saham dari sektor consumers (3 emiten) dan masing-masing satu dari aneka industri, industri dasar (kimia) dan saham telekomunikasi.

Per kemarin (2/2/2020) harga saham emiten blue chip secara umum terkoreksi lebih dari 9% sejak awal tahun. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi emiten saham big cap yang terkoreksi paling kecil sejak awal tahun dengan pelemahan sebesar 9,1%. Untuk emiten PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) menjadi emiten saham big cap yang koreksinya paling dalam hingga lebih dari 30%.



Anjloknya harga saham emiten blue chip ini membuat saham-saham tersebut semakin menjauhi target harganya berdasarkan valuasi yang telah dihitung analis dan dihimpun oleh Refinitiv Data Stream.





Hal yang perlu perhatikan bersama adalah rating dari analis mungkin memiliki spesifikasi berbeda-beda baik dari segi potensi kenaikan harga maupun periode atau waktu yang ditetapkan.
Emiten Perbankan

Untuk emiten-emiten perbankan jika menggunakan harga penutupan kemarin dengan target harga yang dipasang analis maka return potensial yang mungkin dihasilkan berada di rentang 5% - 32%.

Untuk saham BBCA mayoritas analis merekomendasikan untuk hold mengingat saat ini harga saham BBCA sudah ditransaksikan pada harga wajarnya (fair value).

Sebenarnya BBCA merupakan emiten yang leading di industrinya, ketike emiten perbankan blue chip lain hanya mampu membukukan pertumbuhan laba bersih single digit, BBCA mampu mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 10,5% di tahun 2019.

Selain itu BCA juga unggul dalam hal likuiditas didukung dengan dana murah (CASA) yang besar hingga 75% dari total DPK. Oleh karena itu wajar saja jika pasar mengganjarnya dengan harga yang sedikit lebih premium, mengingat kinerjanya yang ciamik.

Sementara untuk ketiga emiten perbankan lain merupakan emiten bank pelat merah yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga mendapatkan rating buy dari para analis.

Emiten Sektor Consumers

Untuk sektor konsumen ada tiga emiten yang menjadi saham blue chip yaitu PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).

Sejak melakukan stock split, harga saham UNVR cenderung mengalami tren koreksi. Namun berdasarkan berdasarkan valuasi yang dilakukan oleh analis, maka target harga saham untuk UNVR berdasarkan nilai intrinsiknya sebesar Rp 8.650/lembar. Atinya ada potensial kenaikan sebesar 25%.

Harga saham HMSP juga anjlok drastis sejak tahun lalu setelah pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan kenaikan cukai rokok hingga lebih dari 20%. Harga saham HMSP pun belum bisa dikatakan pulih.

Namun jika mengacu pada nilai valuasi sahamnya maka target harga dipatok di Rp 2.198/lembar atau ada potensi kenaikan sebesar 31%. Untuk emiten terakhir yaitu ICBP yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk milik Salim Group ada potensi kenaikan sebesar 22%.

Saham Big Cap Lainnya

Untuk saham big cap lainnya yang nilai kapitalisasi pasarnya masuk top 10 terbesar di Indonesia adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dari sektor telekomunikasi, PT Astra International Tbk (ASII) dari sektor aneka industri dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) dari industri dasar.

Dari ketiga emiten tersebut mayoritas analis merekomendasikan buy untuk TLKM dan ASII dengan potensi returnnya masing-masing sebesar 34% dan 35%. Sementara untuk emiten TPIA mayoritas analis merekomendasikan untuk sell karena harga saham di pasar ditransaksikan secara premium dibanding nilai intrinsiknya.

Jadi kesimpulannya jika mengacu pada nilai intrinsiknya, maka saham-saham blue chip ada yang sedang diskon alias murah, ada yang sudah di transaksikan pada nilai wajarnya, ada juga yang sudah tergolong premium.





TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular