Fed Diramal Pangkas Bunga 100 bps, Rupiah Bisa Juara Dunia?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 March 2020 16:06
Fed Diramal Pangkas Bunga 100 bps, Rupiah Bisa Juara Dunia?
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berhasil menguat pada perdagangan Senin kemarin, dan berlanjut di awal perdagangan hari ini, Selasa (3/3/2020).

Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,49% di Rp 14.190/US$, tetapi malah berakhir melemah 0,11% ke Rp 14.275/US$ di pasar spot, melansir data Refiknitiv. 

Pelemahan tersebut terjadi akibat kekecewaan pelaku pasar setelah Reuters mewartakan konferensi via telpon antara menteri keuangan dan pimpinan bank sentral negara-negara G7 tidak memberikan langkah-langkah fiskal dan moneter yang spesifik guna meredam dampak virus corona ke perekonomian. Pelaku pasar sebelumnya berharap akan ada gelontoran stimulus fiskal dan moneter di berbagai negara guna meningkatkan aktivitas perekonomian.



Melihat pergerakan rupiah sejak awal 2020, rupiah sempat menjadi juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik melawan dolar AS di bulan Januari. Kala itu rupiah menguat 2,29% melawan dolar AS, dan menyentuh level terkuat 2 tahun Rp 13.565/US$ pada 24 Januari lalu.

Penguatan rupiah di awal tahun dipicu derasnya aliran modal yang masuk ke Indonesia berkat imbal hasil (yield) obligasi yang relatif tinggi. Selain itu, kondisi ekonomi global yang diprediksi membaik juga membuat pelaku pasar masuk ke aset berimbal hasil tinggi, sehingga aliran modal deras masuk ke RI.

Kinerja sebaliknya terjadi pada bulan Februari, rupiah jeblok khususnya sepanjang pekan lalu. Di bulan Februari rupiah ambles 5,05%. Akibatnya, rupiah masuk ke zona merah secara year-to-date (YtD) sebesar 3,31%.

Jika di bulan Januari terjadi inflow yang cukup besar, di bulan Februari justru terjadi outflow yang membuat rupiah K.O. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di kantornya pada Jumat (28/2/2020) menjelaskan sepanjang bulan Februari hingga tanggal 27 lalu terjadi outflow Rp 26,2 triliun di pasar obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp 4,1 triliun.

Sementara sepanjang bulan Januari masih terjadi inflow sehingga secara year-to-date terjadi outflow Rp 11 triliun di SBN dan 1,6 triliun di saham.

Kecemasan akan penyebaran wabah virus corona di luar China membuat sentimen pelaku pasar memburuk dan rupiah akhirnya terpuruk di bulan Februari.
Memasuki bulan Maret, rupiah mendapat kabar buruk sekaligus kabar gembira. Kabar buruknya, virus corona sudah masuk ke Indonesia. Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto kemarin mengkonfirmasi dua kasus virus corona yang menimpa ibu dan anak, yang dilaporkan terpapar warga negara Jepang.

Sementara itu kabar baiknya, BI menggelontorkan stimulus moneter guna meredam dampak virus corona ke perekonomian.


Senin kemarin, setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG), BI mengeluarkan lima kebijakan.

Pertama adalah meningkatkan intensitas intervensi di pasar keuangan baik di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

Kedua adalah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) valas dari 8% terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) menjadi 4% DPK, berlaku mulai 16 Maret. Penurunan ini akan meningkatkan likuiditas valas di perbankan US$ 3,2 miliar.

Ketiga, BI juga menurunkan GWM rupiah sebesar 50 basis poin (bps) khusus kepada bank yang melakukan kegiatan ekspor-impor, berlaku mulai 1 April selama sembilan bulan. BI menilai eksportir dan importir memang kesulitan setelah merebaknya virus corona.

Keempat, BI memperluas jenis dan cakupan underlying investor asing di dalam melakukan lindung nilai, termasuk kalau mau masuk ke pasar DNDF. Memang kalau ingin mengakses DNDF, partisipan harus punya underlying yang jelas seperti kebutuhan impor, pembayaran utang luar negeri, dan sebagainya.

Langkah kelima, adalah investor global dapat menggunakan bank kustodi baik global maupun domestik dalam melakukan kegiatan investasi di Indonesia. Jadi tidak hanya bank asing, bank lokal juga sudah mampu menyediakan jasa kustodi.

Usai pengumuman lima kebijakan tersebut, rupiah yang sebelumnya melemah melawan dolar AS berbalik menguat dan berlanjut hingga hari ini. Rupiah punya modal untuk kembali menguat.

Selama wabah virus corona tidak semakin parah, ke depannya peluang rupiah untuk menguat dan menjadi juara dunia kembali masih terbuka, apalagi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi akan agresif dalam memangkas suku bunga.

Wabah virus corona yang berasal dari China berisiko memicu pelambatan ekonomi global. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini virus corona sudah menjangkiti lebih dari 90.000 orang, dan menewaskan 3.117 orang di berbagai negara, utamanya China. 

Lembaga riset global, Moody's Analytics, memprediksi virus corona corona dapat menekan pertumbuhan ekonomi China pada 2020 menjadi tinggal 5,4% dari angka pertumbuhan tahun lalu 6%.

"Di dalam skenario dasar kami, kemungkinan besar penyebaran wabah akan tetap tertahan di China dan masih akan terjadi pada musim semi. Ekonomi China akan berkontraksi pada kuartal pertama tahun ini, dan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan terpangkas menjadi 5,4%," ujar Mark Zandi, Chief Economist Moody's Analytics dalam risetnya, Rabu (26/2/20).

Selain berdampak pada ekonomi China, ekonomi AS juga akan diprediksi akan melambat 0,6 ppt (persentase poin) dan hanya dapat tumbuh 1,3% pada kuartal I-2020. Tahun ini, ekonomi AS diprediksi melambat 0,2 ppt dari menjadi 1,7%.

Dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di China dan AS itu, maka dampaknya diprediksi dapat membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat 0,4 ppt menjadi 2,4% tahun ini dari prediksi awal 2,8%. 

Akibat risiko pelambatan ekonomi tersebut bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi akan memangkas suku bunga secara agresif di tahun ini. Jumat lalu pimpinan The Fed, Jerome Powell, mengatakan akan "bertindak sesuai kebutuhan" untuk membantu perekonomian. 

Usai pernyataan tersebut, pasar langsung menilai The Fed akan memangkas suku bunga secara agresif di tahun ini. 



CNBC International mewartakan, ekonom Goldman Sachs memprediksi The Fed memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada Maret menjadi 1-1,25%. Dan sepanjang tahun ini suku bunga di prediksi akan dipangkas sebanyak 100 bps hingga menjadi 0,5-0,75%. 

Prediksi Goldman tersebut diperkuat dengan data dari piranti FedWatch milik CME Group, dimana pelaku pasar melihat probabilitas 100% bahwa bank sentral pimpinan Jerome Powell itu akan memangkas suku bunga sebesar 50 bps bulan ini. Kemudian di bulan Desember, ada probabilitas sebesar 38,1% suku bunga The Fed berada di 0,5-0,75%. Probabilitas tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan dengan yang lainnya, itu artinya pelaku pasar juga sejalan dengan prediksi ekonom dari Goldman Sachs. 

Kali terakhir The Fed memangkas suku bunga secara agresif pada tahun 2008 saat terjadi krisis finansial global. Di Desember 2008, The Fed memangkas suku bunga 75 bps ke 0-0,25%. Suku bunga tersebut ditahan hingga akhir tahun 2015. 


Jika benar The Fed benar memangkas suku bunga 50 bps di bulan ini, itu artinya perekonomian AS memang berisiko terpukul cukup telak, sehingga harus dilakukan pemangkasan secara agresif guna memacu roda perekonomian agar berputar lebih kencang. 

Pemangkasan suku bunga secara agresif akan menjadi kejutan lagi di pasar finansial, mengulangi kejutan The Fed pada tahun lalu. Di awal tahun lalu, The Fed masih berencana menaikkan suku bunga, tetapi pada akhirnya memangkas suku bunga sebanyak 3 kali, masing-masing 25 bps. 

Sementara di awal bulan ini, The Fed masih menegaskan akan menahan suku bunga 1,5-1,75% di tahun ini, tetapi kini diprediksi akan agresif memangkas suku bunga. Selisih imbal hasil (yield) antara obligasi AS (Treasury) dengan obligasi RI (SBN) tentunya akan kembali melebar dan menarik investasi masuk ke dalam negeri. Rupiah bisa kembali perkasa, tetapi tentunya wabah virus corona baik di global maupun di Indonesia tidak semakin mengganas. 


Secara teknikal, penguatan rupiah di bulan Januari terjadi setelah menembus batas bawah pola Descending Triangle di Rp 13.885/US$. Pada pekan lalu, rupiah kembali ke atas level tersebut, itu artinya tren penguatan rupiah akibat pola Descending Triangle (garis biru) sudah berakhir. 

Performa rupiah langsung jeblok setelahnya hingga menyentuh level Rp 14.415/US$ Senin kemarin. Level tersebut bisa jadi kunci pergerakan rupiah ke depannya. 

Fed Diramal Pangkas Bunga 100 bps, Rupiah Bisa Juara Dunia?Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Sumber: Refinitiv

Menggunakan indikator Fibonacci Retracement (garis merah), dengan menarik garis dari 11 Oktober 2019 di Rp 15.265/USS$ hingga 24 Januari 2020 Rp 13.565/US$, level Rp 14.415/US$ merupakan retracement 50% dan menjadi resisten (tahanan atas) yang kuat.

Selama tertahan di bawah level tersebut, rupiah berpeluang kembali menguat menuju Rp 13.885/US$. Jika kembali menembus konsisten di bawah level tersebut, penguatan rupiah berpotensi berlanjut menuju kembali Rp 13.565/US$. 

Sementara jika level Rp 14.415/US$ berhasil dilewati, rupiah berisiko melemah lebih jauh menuju Rp 14.615/US$. 


TIM RISET CNBC INDONESIA 



(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular