Rupiah Anjlok 2%, Terlemah Sejak Mei 2019 & Terburuk di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 February 2020 18:07
Rupiah Anjlok 2%, Terlemah Sejak Mei 2019 & Terburuk di Asia
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah anjlok tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (28/2/2020), membukukan pelemahan 9 hari beruntun, dan berada di level terlemah sejak Mei 2019. 

Rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,14% di level Rp 14.050/US$, tetapi tidak lama langsung jeblok. Depresiasi rupiah terus bertambah hingga mengakhiri perdagangan di level 14.340/US$, melemah 2,21% di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv.

Kinerja rupiah hari ini tercatat sebagai pelemahan harian terbesar sejak 26 September 2011.

Jika melihat lebih ke belakang, hingga hari ini rupiah sudah melemah 9 hari beruntun, dengan total pelemahan nyaris 4,96%.

Sedihnya lagi, rupiah kini mencatat pelemahan secara year-to-date atau sejak awal tahun sebesar 3,31%. Padahal di bulan Januari lalu, rupiah menjadi mata uang terbaik di dunia dengan penguatan 2,29% melawan dolar AS.

Rupiah juga menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada hari ini, bahkan bisa dikatakan buruk sendirian. Beberapa mata uang justru menguat, meski tipis.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 16:58 WIB.



Wabah virus corona yang menyebar di luar China membuat pelaku pasar cemas dan melakukan aksi jual di bursa saham dan pasar obligasi. Dampaknya aliran modal yang dulu masuk deras ke dalam negeri dan membuat rupiah menguat kini berbalik keluar dan menekan Mata Uang Garuda.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di kantornya hari ini menjelaskan di bulan ini hingga 27 Februari kemarin terjadi outflow Rp 26,2 triliun di pasar obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp 4,1 trilun.

Sementara sepanjang bulan Januari masih terjadi inflow sehingga secara year-to-date terjadi outflow Rp 11 triliun di SBN dan 1,6 triliun di saham.

Angka tersebut belum termasuk outflow yang terjadi pada hari ini. Yield SBN tenor 10 tahun naik 17,1 basis poin (bps) menjadi 6,878%. Untuk diketahui pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga SUN, kala yield naik itu artinya harga sedang turun. Sehingga kenaikan yield mengindikasikan aksi jual di pasar obligasi.

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,5%, bahkan sebelumnya sempat lebih dari 4%.

Aksi jual yang terus melanda pasar keuangan dalam negeri hari ini, terpicu oleh anjloknya bursa saham AS (Wall Street) pada perdagangan Kamis kemarin, yang membuat sentimen pelaku pasar semakin memburuk.



Indeks Dow Jones ambles 4,4%, sekaligus membukukan kinerja harian terburuk sejak Februari 2018. Sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq melemah 4,4% dan 4,6%, keduanya membukukan kinerja harian terburuk sejak Agustus 2011.

Kecemasan akan penyebaran wabah virus corona di AS membuat pelaku pasar keluar dari aset-aset berisiko dan memilih masuk ke aset aman seperti obligasi AS (Treasury). Hal tersebut terlihat dari yield Treasury tenor 10 tahun yang berada di dekat level terendah sepanjang sejarah.

Pusat Pencegahan dan Pengendali Penyakit (Center of Disease and Prevention/CDC) mengkonfirmasi adanya pasien positif virus corona di California Utara, tetapi belum diketahui bagaimana bisa terjangkit.

Pasien tersebut dilaporkan tidak pernah berpergian atau berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki risiko membawa virus corona. Akibatnya, CDC memperingatkan kemungkinan terjadinya "penyebaran di masyarakat", yang memicu kecemasan di pasar.

Yang paling ditakutkan oleh pelaku pasar adalah "produk turunan" dari virus corona yakni pelambatan ekonomi global. China yang merupakan asal virus corona hampir dipastikan akan mengalami pelambatan ekonomi, begitu juga negara-negara lainnya yang sudah terjangkit seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Singapura.

[Gambas:Video CNBC]



Rupiah sempat berjaya di bulan Januari, hingga menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia setelah menguat lebih dari 2% melawan dolar AS. Salah satu alasannya adalah perekonomian global tahun ini yang diprediksi akan lebih baik dari tahun 2019. 

Para investor masuk ke aset-aset yang memberikan imbal hasil tinggi seperti obligasi di Indonesia, begitu juga dengan saham. Dampaknya aliran modal deras masuk ke dalam negeri. 



Kini kondisinya berbanding terbalik, pelaku pasar keluar dari aset-aset berisiko atau berimbal hasil tinggi dan memilih bermain aman. Aliran modal keluar dari Indonesia yang terlihat dari anjloknya bursa saham serta naiknya yield obligasi, rupiah pun terus tertekan.

Sebagian besar negara-negara yang terdampak virus corona yang perekonomiannya diprediksi melambat merupakan pasar utama ekspor Indonesia. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor RI ke China di bulan Januari sebesar US$ 2,1 miliar, mengalami penurunan signifikan sebesar 9,15% dari bulan Desember 2019. Seperti di ketahui sebelumnya, virus corona mulai menyebar di China sejak pertengahan Januari lalu. Nilai ekspor ke China berkontribusi sebesar 16,69% dari total ekspor.

AS, Jepang, Singapura, hingga Korsel juga termasuk pasar ekspor terbesar, sehingga pelambatan ekonomi di negara-negara tersebut tentunya akan menggerus pendapatan ekspor. 



Lembaga riset global, Moody's Analytics, memprediksi virus corona Wuhan (Covid-19) dapat menekan pertumbuhan ekonomi China pada 2020 menjadi tinggal 5,4% dari angka pertumbuhan tahun lalu 6%.

"Di dalam skenario dasar kami, kemungkinan besar penyebaran wabah akan tetap tertahan di China dan masih akan terjadi pada musim semi. Ekonomi China akan berkontraksi pada kuartal pertama tahun ini, dan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan terpangkas menjadi 5,4%," ujar Mark Zandi, Chief Economist Moody's Analytics dalam risetnya, Rabu (26/2/20).

Selain berdampak pada ekonomi China, ekonomi AS juga akan diprediksi akan melambat 0,6 ppt (persentase poin) dan hanya dapat tumbuh 1,3% pada kuartal I-2020.

Tahun ini, ekonomi AS diprediksi melambat 0,2 ppt dari prediksi awal 2% atau artinya hanya tumbuh 1,7%.



Dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di China dan AS itu, maka dampaknya diprediksi dapat membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat 0,4 ppt menjadi 2,4% tahun ini dari prediksi awal 2,8%

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam acara Economic Outlook 2020 CNBC Indonesia di The Ritz Carlton Ballroom, Pasific Place, Jakarta, Rabu (26/2/2020) menyatakan jika perekonomian China melambat 1%, maka pertumbuhan ekonomi RI bisa terpangkas 0,3-0,6%. Itu baru China saja, belum lagi negara-negara lainnya, tentunya ekonomi Indonesia bisa lebih tertekan.

Pelambatan ekonomi tersebut bisa lebih buruk lagi, jika wabah virus corona berlanjut hingga kuartal II tahun ini. Rupiah bisa semakin tertekan lagi. 


TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Tukang Becak Mendadak Jadi OKB, Menang Undian Rp 100 M

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular