
Sentimen Pasar Memburuk, tapi Rupiah Bukan Mata Uang Terburuk
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 February 2020 17:30

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (18/2/2020) akibat kembali memburuknya sentimen pelaku pasar yang terlihat dari melemahnya mayoritas bursa saham utama Asia.
Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 13.650/US$, setelahnya langsung masuk ke zona merah. Depresiasi rupiah terus bertambah hingga 0,29% di level Rp 13.690/US$. Pelemahan tersebut berhasil dipangkas dan mengakhiri perdagangan di level Rp 13.660/US$ atau melemah 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Selain yen Jepang, semua mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS hari ini. Pelemahan 0,07 rupiah termasuk yang paling kecil kedua setelah dolar Hong Kong. Hingga pukul 16:30 WIB, dolar Hong Kong hanya melemah 0,01%, sementara won Korea Selatan menjadi yang terburuk dengan melemah 0,42%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hari ini.
Wabah virus corona atau Covid-19 yang melanda China kini memiliki "produk turunan" yakni resesi. Setidaknya ada tiga negara yang berisiko mengalami resesi, yakni Singapura, Jerman, dan Jepang. Ketiganya memiliki hubungan erat dengan China.
Pemerintah Singapura Senin kemarin memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.
Setelah Singapura, Jerman juga sudah waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Akibat risiko resesi tersebut sentimen pelaku pasar memburuk dan cukup membebani pergerakan rupiah.
Meski demikian upaya bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) meredam dampak virus corona ke perekonomian dengan kembali menggelontorkan stimulus mampu "mengobati" sentimen pelaku pasar.
PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti pengumuman suku bunga dari Bank Indonesia (BI) hari Kamis nanti. Hasil polling Reuters menunjukkan BI diprediksi memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 4,75%.
Pemangkasan suku bunga tentunya diharapkan akan lebih memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kemungkinan juga akan terseret pelambatan ekonomi China. Sehingga pemangkasan suku bunga bisa jadi akan membuat rupiah kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 13.650/US$, setelahnya langsung masuk ke zona merah. Depresiasi rupiah terus bertambah hingga 0,29% di level Rp 13.690/US$. Pelemahan tersebut berhasil dipangkas dan mengakhiri perdagangan di level Rp 13.660/US$ atau melemah 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hari ini.
Wabah virus corona atau Covid-19 yang melanda China kini memiliki "produk turunan" yakni resesi. Setidaknya ada tiga negara yang berisiko mengalami resesi, yakni Singapura, Jerman, dan Jepang. Ketiganya memiliki hubungan erat dengan China.
Pemerintah Singapura Senin kemarin memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.
Setelah Singapura, Jerman juga sudah waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Akibat risiko resesi tersebut sentimen pelaku pasar memburuk dan cukup membebani pergerakan rupiah.
Meski demikian upaya bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) meredam dampak virus corona ke perekonomian dengan kembali menggelontorkan stimulus mampu "mengobati" sentimen pelaku pasar.
PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti pengumuman suku bunga dari Bank Indonesia (BI) hari Kamis nanti. Hasil polling Reuters menunjukkan BI diprediksi memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 4,75%.
Pemangkasan suku bunga tentunya diharapkan akan lebih memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kemungkinan juga akan terseret pelambatan ekonomi China. Sehingga pemangkasan suku bunga bisa jadi akan membuat rupiah kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular