
Asing Kurangi Portofolio SUN, Siapa Paling Giat Koleksi?

Penguatan harga SUN masih terjadi dan bertahan yang bertepatan dengan momentum ketika pasar sedang didera sentimen negatif dari virus corona Wuhan yang berkepanjangan. Penguatan harga SUN itu membuat tingkat imbal hasil (yield) SUN seri acuan tenor 10 tahun turun ke posisi terendah sejak 27 Februari 2018.
Dari data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan nilai kepemilikan investor asing sebesar Rp 1.065,62 triliun, yang berarti dana investor asing baru yang masuk tahun ini ke pasar SUN tinggal Rp 3,76 triliun.
Angka itu jelas turun dibanding posisi tertinggi tahun ini Rp 1.092,02 triliun pada 24 Januari 2020 atau berarti sudah masuk Rp 30,16 triliun sejak awal tahun.
Angka itu juga menunjukkan kepemilikan investor asing masih masuk ke pasar SUN senilai Rp 200 miliar sejak akhir pekan lalu, sedangkan sejak awal bulan masih defisit Rp 11,44 triliun.
Bank Indonesia, yang dapat ikut lelang SUN sebagai peserta non-kompetitif dan juga bisa melakukan operasi moneter di pasar dengan memanfaatkan efek utang tersebut, ternyata juga menjadi investor yang paling banyak melepas obligasi rupiah pemerintah.
Bank sentral tercatat melepas SUN sejak awal tahun senilai Rp 147,34 triliun dan Rp 5,11 triliun sejak akhir Januari hingga 11 Februari, data terakhir yang dirilis Kemenkeu.
Lantas, ada yang naik tentu ada yang turun. Ternyata jenis investor yang paling banyak menyerap SUN di pasar seiring dengan turunnya kepemilikan investor asing dan Bank Indonesia adalah perbankan.
Data yang sama menunjukkan ada angka surplus Rp 185,4 triliun sejak awal tahun dan Rp 27,11 triliun sejak awal bulan hingga 11 Februari.
Satu penyebab utama adalah tren di awal tahun di mana perbankan biasanya enggan menahan dana pihak ketiga (DPK) di dalam buku mereka, setelah mengejar target peningkatan DPK sekaligus penyaluran kredit di bulan-bulan akhir tahun.
Selain itu, perbankan juga tentu masih enggan menyalurkan dananya dalam bentuk kredit di tengah risiko yang sedang meningkat karena adanya ancaman berlanjutnya perlambatan tingkat konsumsi masyarakat apalagi saat ini pasar keuangan global masih dibekap kekhawatiran.
Kekhawatiran dari global adalah ancaman perlambatan tumbuhanya ekonomi dunia yang kemudian semakin berlipat dengan adanya wabah virus corona Wuhan yang masih belum tuntas hingga sekarang ini.
Alhasil, SUN menjadi instrumen yang justru dikejar perbankan guna memarkirkan dana yang sedang 'idle' yang kemungkinan menjadi penyebab keringnya likuiditas rupiah di pasar keuangan, apalagi investor asing sudah mulai melepas kepemilikannya di pasar obligasi pemerintah itu.
Minat bank yang tinggi pada SUN juga dapat dilihat bahwa bertambahnya porsi perbankan di pasar SUN diiringi penguatan harga, sehingga ada tekanan beli di sana. Tekanan beli berarti lebih banyak pelaku pasar yang melakukan penawaran beli dibandingkan dengan tekanan jual sehingga membuat harganya terdongkrak di pasar.
Derasnya minat perbankan untuk menukar rupiahnya dengan SUN dapat juga tercermin pada salah satu operasi moneter yang digelar bank sentral untuk perbankan, yakni lelang reverse repo SUN.
Reverse repo adalah salah satu instrumen moneter milik bank sentral untuk menyerap kelebihan likuiditas, dalam hal ini rupiah, di sistem keuangan. Mekanismenya adalah BI akan menyerap dana dari perbankan yang akan dijamin dengan SUN yang sudah lebih dulu dimiliki bank sentral, atau istilah sederhananya reverse-gadai SUN.
Sejak awal bulan, tercatat sudah ada Rp 102,71 triliun dana yang dititipkan pelaku industri perbankan kepada Bank Indonesia melalui lima lelang serupa, masing-masing berhasil menyerap rupiah senilai Rp 23,16 triliun, Rp 17,2 triliun, Rp 22,95 triliun, Rp 20,98 triliun, dan Rp 18,42 triliun.
Hari ini, harga SUN menguat lagi dengan yield SUN tenor 10 tahun berada pada 6,56%, terendah sejak 27 Februari 2018. Hal itu ditunjukkan oleh data Refinitiv.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.