
Analisis
Dari Juara, Rupiah Kini Terburuk di Asia
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 February 2020 13:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (7/2/2020). Rupiah bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia, padahal dua hari sebelumnya selalu menjadi yang terbaik dengan penguatan masing-masing 0,26% dan 0,4%.
Kamis kemarin, rupiah bahkan kembali merebut gelar juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia sepanjang 2020, dengan total penguatan 1,91%.
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di level Rp 13.615/US$. Tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah, depresiasi semakin membesar hingga 0,37% ke level Rp 13.665/US$ pada pukul 13:00 WIB.
Rilis data cadangan devisa RI yang naik hingga rekor tertinggi belum mampu mendongkrak kinerja rupiah hingga pertengahan perdagangan.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2020 tercatat sebesar US$ 131,7 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2019 sebesar US$ 129,2 miliar," jelas Bank Indonesia (BI) dalam keterangannya, Jumat (7/2/2020).
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,8 bulan impor atau 7,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Adapun peningkatan cadangan devisa pada Januari 2020 terutama didorong oleh utang melalui penerbitan global bond pemerintah, penerimaan devisa migas, dan penerimaan valas lainnya.
Awal tahun ini, pemerintah menggalang dana US$2 miliar dan 1 miliar euro dari penerbitan perdana surat utang negara (SUN) di pasar global.
Selain rilis data tersebut, pelaku pasar menanti rilis data neraca perdagangan China. Data tersebut akan memberikan gambaran sebesar besar dampak wabah virus corona terhadap perekonomian Negeri Tiongkok, dan tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global.
Penantian akan data tersebut membuat rupiah yang sudah menguat tiga hari beruntun terkoreksi akibat aksi ambil untung (profit taking).
Sebelum melemah pada hari ini, rupiah total mencatat penguatan 0,91% dalam tiga hari, berkat membaiknya sentimen pelaku pasar setelah China berusaha meredam dampak virus corona ke pasar finansial.
CNBC International melaporkan, Senin lalu PBoC menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial yang terjadi akibat virus corona. Selain itu dalam 2 hari terakhir PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Setelah stimulus dari PBoC, giliran Pemerintah Beijing membuat pelaku pasar gembira. Kamis kemarin CNBC International mewartakan China akan memangkas bea masuk importasi berbagai produk dari AS senilai US$ 75 miliar.
Belum jelas produk apa saja yang masuk dalam daftar tersebut, yang pasti bea masuk yang sebelumnya 10% akan dipangkas menjadi 5%, dan yang sebelumnya 5% menjadi 2,5%.
Dalam rilis Kementerian Keuangan China yang dikutip CNBC International, pemangkasan bea masuk tersebut dilakukan untuk perkembangan perdagangan yang lebih sehat antara China dengan AS. Pemangkasan tersebut mulai berlaku pada 14 Februari nanti.
Berita dari China tersebut tentunya menjadi kabar bagus setelah kedua negara resmi meneken kesepakatan dagang fase I pada 15 Januari lalu.
Diharapkan dengan pemangkasan bea impor tersebut perundingan dagang fase II akan berjalan lancar, dan bea masuk yang diterapkan kedua negara semakin dipangkas sehingga arus perdagangan global menjadi lancar.
Langkah dari China tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik dan masuk kembali ke aset-aset berisiko. Dampaknya bursa saham global menguat dan turut mengerek naik rupiah.
Jika dilihat secara teknikal, belum ada perubahan outlook untuk jangka menengah.
Penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke batas bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu.
Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan lalu.
Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%. Black Marubozu kerap dijadikan sinyal harga suatu instrumen akan menurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.
Sejak saat itu, penguatan rupiah belum terbendung. Jika melihat Descending Triangle, dari titik atas Rp 14.525/US$ hingga ke batas bawah Rp 13.885/US$, ada jarak sebesar Rp 640.
Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar jarak titik atas hingga ke batas bawah. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah.
Sementara pada Senin (3/2/2020) lalu muncul pola White Marubozu yang merupakan kebalikan dari Black Marubozu. White Marubozu menjadi sinyal harga suatu instrumen akan bergerak naik lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS vs rupiah yang disimbolkan USD/IDR bergerak naik, artinya dolar AS menguat melawan rupiah.
Tetapi White Marubozu tersebut menjadi false signal, rupiah justru perkasa sejak hari Selasa hingga Kamis kemarin.
Melihat grafik 1 jam, indikator Stochastic bergerak naik dari wilayah jenuh jual (oversold). Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold untuk pasangan USD/IDR, itu menjadi sinyal harga akan naik, sehingga rupiah masih berisiko melemah.
Rupiah kini bergerak di atas Rp 13.640/US$ yang menjadi support terdekat. Selama tertahan di atas level tersebut rupiah berisiko melemah ke Rp 13.685/US$.
Sementara jika mampu menembus ke bawah support, rupiah berpeluang memangkas pelemahan ke Rp 13.620/US$. Rupiah berpotensi menguat menuju Rp 13.590/US$ jika mampu menembus level tersebut pada hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Kamis kemarin, rupiah bahkan kembali merebut gelar juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia sepanjang 2020, dengan total penguatan 1,91%.
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di level Rp 13.615/US$. Tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah, depresiasi semakin membesar hingga 0,37% ke level Rp 13.665/US$ pada pukul 13:00 WIB.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2020 tercatat sebesar US$ 131,7 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2019 sebesar US$ 129,2 miliar," jelas Bank Indonesia (BI) dalam keterangannya, Jumat (7/2/2020).
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,8 bulan impor atau 7,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Adapun peningkatan cadangan devisa pada Januari 2020 terutama didorong oleh utang melalui penerbitan global bond pemerintah, penerimaan devisa migas, dan penerimaan valas lainnya.
Awal tahun ini, pemerintah menggalang dana US$2 miliar dan 1 miliar euro dari penerbitan perdana surat utang negara (SUN) di pasar global.
Selain rilis data tersebut, pelaku pasar menanti rilis data neraca perdagangan China. Data tersebut akan memberikan gambaran sebesar besar dampak wabah virus corona terhadap perekonomian Negeri Tiongkok, dan tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global.
Penantian akan data tersebut membuat rupiah yang sudah menguat tiga hari beruntun terkoreksi akibat aksi ambil untung (profit taking).
Sebelum melemah pada hari ini, rupiah total mencatat penguatan 0,91% dalam tiga hari, berkat membaiknya sentimen pelaku pasar setelah China berusaha meredam dampak virus corona ke pasar finansial.
CNBC International melaporkan, Senin lalu PBoC menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial yang terjadi akibat virus corona. Selain itu dalam 2 hari terakhir PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Setelah stimulus dari PBoC, giliran Pemerintah Beijing membuat pelaku pasar gembira. Kamis kemarin CNBC International mewartakan China akan memangkas bea masuk importasi berbagai produk dari AS senilai US$ 75 miliar.
Belum jelas produk apa saja yang masuk dalam daftar tersebut, yang pasti bea masuk yang sebelumnya 10% akan dipangkas menjadi 5%, dan yang sebelumnya 5% menjadi 2,5%.
Dalam rilis Kementerian Keuangan China yang dikutip CNBC International, pemangkasan bea masuk tersebut dilakukan untuk perkembangan perdagangan yang lebih sehat antara China dengan AS. Pemangkasan tersebut mulai berlaku pada 14 Februari nanti.
Berita dari China tersebut tentunya menjadi kabar bagus setelah kedua negara resmi meneken kesepakatan dagang fase I pada 15 Januari lalu.
Diharapkan dengan pemangkasan bea impor tersebut perundingan dagang fase II akan berjalan lancar, dan bea masuk yang diterapkan kedua negara semakin dipangkas sehingga arus perdagangan global menjadi lancar.
Langkah dari China tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik dan masuk kembali ke aset-aset berisiko. Dampaknya bursa saham global menguat dan turut mengerek naik rupiah.
Jika dilihat secara teknikal, belum ada perubahan outlook untuk jangka menengah.
Penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke batas bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu.
Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan lalu.
Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%. Black Marubozu kerap dijadikan sinyal harga suatu instrumen akan menurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.
![]() Sumber: Refinitiv |
Sejak saat itu, penguatan rupiah belum terbendung. Jika melihat Descending Triangle, dari titik atas Rp 14.525/US$ hingga ke batas bawah Rp 13.885/US$, ada jarak sebesar Rp 640.
Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar jarak titik atas hingga ke batas bawah. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah.
Sementara pada Senin (3/2/2020) lalu muncul pola White Marubozu yang merupakan kebalikan dari Black Marubozu. White Marubozu menjadi sinyal harga suatu instrumen akan bergerak naik lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS vs rupiah yang disimbolkan USD/IDR bergerak naik, artinya dolar AS menguat melawan rupiah.
Tetapi White Marubozu tersebut menjadi false signal, rupiah justru perkasa sejak hari Selasa hingga Kamis kemarin.
![]() Sumber: Refinitiv |
Melihat grafik 1 jam, indikator Stochastic bergerak naik dari wilayah jenuh jual (oversold). Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold untuk pasangan USD/IDR, itu menjadi sinyal harga akan naik, sehingga rupiah masih berisiko melemah.
Rupiah kini bergerak di atas Rp 13.640/US$ yang menjadi support terdekat. Selama tertahan di atas level tersebut rupiah berisiko melemah ke Rp 13.685/US$.
Sementara jika mampu menembus ke bawah support, rupiah berpeluang memangkas pelemahan ke Rp 13.620/US$. Rupiah berpotensi menguat menuju Rp 13.590/US$ jika mampu menembus level tersebut pada hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular