
Trump-Israel Bikin Peta Baru untuk Negara Palestina
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
01 February 2020 14:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Palestina belum lama ini mendapat 'hadiah' wilayah pemerintahan yang dilukiskan dalam sebuah peta. Sayangnya, peta tersebut 'digambar' dengan proses yang penuh kontroversi.
Ya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memunculkan kehebohan. Pasalnya, ia membuat proposal perdamaian Palestina dan Israel, tapi tanpa melibatkan Palestina di dalamnya.
Selasa (28/1/2020), ia bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dalam pertemuan yang juga dihadiri warga AS keturunan Yahudi itu, Trump sesumbar telah membuat draf perdamaian, dan menjanikan Yerussalem sebagai ibu kota Israel.
Namun sayangnya, pertemuan itu tanpa dihadiri perwakilan Palestina. Ujung-ujungnya, Palestina merasa draf Trump berat sebelah dan semakin bias ke Israel.
Salah satu poin yang berat adalah wilayah Palestina yang makin kisut. Di akun Twitter-nya Trump menggambarkan peta masa depan Palestina.
"Ini adalah bagaimana negara Palestina terlihat di masa depan, dengan ibu kota di Yerusalem bagian Timur," tulisnya melalui akun @realDonaldTrump.
Sebagaimana dilansir dari media Israel, The Jerussalem Post, Palestina tetap akan memiliki wilayah Tepi Barat. Namun meski mendominasi di Tepi Barat, 20% wilayah itu akan jatuh ke tangan Israel.
Yerussalem yang juga di Tepi Barat akan jadi ibu kota Israel. Semua permukiman Israel di wilayah ini tetap dipertahankan.
Palestina akan memiliki daerah Yerussalem Timur. Seperti Kafr Akab, Abu Dis dan setengah dari Shuafat.
Israel akan mempertahankan Lembah Yordan. Palestina akan kehilangan tanah di Negev, dekat perbatasan Gaza dan Mesir.
Karena posisi Tepi Barat dan Gaza berjauhan, maka Palestina akan diberi jalur khusus untuk menuju kedua wilayah. Namun kontrol perbatasan akan dikendalikan Israel.
Pengakuan akan negara Palestina, meski sudah diakui PBB, baru akan diberikan empat tahun kemudian. Namun dengan sejumlah persyaratan, seperti tidak mendanai kelompok jihadis dan Hamas.
Jika syarat itu dipenuhi, maka AS akan mengakui Palestina sebagai negara. Bahkan AS akan membuat rancangan ekonomi untuk membantu negara tersebut.
Israel dan Palestina bagai air dan minyak, tidak bisa disatukan. Perseteruan kedua negara tersebut sudah terjadi selama puluhan tahun dan belum ada penyelesaian yang memuaskan.
Dari data Tim Riset CNBC Indonesia, ketika David Ben Gurion mendeklarasikan negara Israel pada 1948, Israel mendapatkan 48% wilayah yang sebelumnya dikuasai Inggris. Setelah deklarasi ini, terjadi perang Arab-Israel. Israel menjadi pemenang dan kemudian menguasai 70% wilayah yang dahulu dikuasai Inggris.
Perebutan wilayah (dan pengaruh) ini menjadi inti konflik Arab-Israel hingga saat ini. Negara-negara Arab (plus Maroko di Afrika Utara) tidak mau mengakui kedaulatan Israel.
Di PBB ada 31 negara yang tidak mengakui Isael. Meski PBB, sudah mengakui keberadaan negara Israel melalui Resolusi No 273 tertanggal 11 Mei 1949.
Berkebalikan dengan Israel, Palestina lebih susah mendapat status sebagai negara yang diakui dunia. Pada 2011, Presiden Palestina Mahmoud Abbas sudah memasukkan permintaan untuk menjadi anggota PBB.
Namun jalan ke arah sana sangat terjal. Untuk menjadi negara yang diakui PBB, Palestina harus mendapat suara dari dua pertiga anggota lainnya. Plus tidak ada veto.
Veto ini yang susah. AS, sebagai salah satu negara pendiri PBB, punya hak veto dan kemungkinan besar akan menggunakannya melawan kehendak Palestina menjadi anggota PBB.
Pada 2012, Palestina mengajukan permohonan untuk menjadi negara peninjau non-anggota di PBB. Permintaan tersebut disetujui melalui voting pada 29 November 2019 dan menjadi Resolusi No 67/19. Status ini disebut sebagai pengakuan de facto dari PBB bahwa Palestina adalah negara berdaulat.
Per Juli 2019, 138 dari 193 negara anggota PBB sudah mengakui keberadaan Palestina sebagai sebuah negara. Namun karena ada risiko veto dari AS, modal ini belum bisa dimanfaatkan untuk membuat Palestina menjadi anggota PBB.
(hps/hps) Next Article Darurat! PBB Agendakan Pertemuan Jumat Bahas Israel-Palestina
Ya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memunculkan kehebohan. Pasalnya, ia membuat proposal perdamaian Palestina dan Israel, tapi tanpa melibatkan Palestina di dalamnya.
Selasa (28/1/2020), ia bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dalam pertemuan yang juga dihadiri warga AS keturunan Yahudi itu, Trump sesumbar telah membuat draf perdamaian, dan menjanikan Yerussalem sebagai ibu kota Israel.
Namun sayangnya, pertemuan itu tanpa dihadiri perwakilan Palestina. Ujung-ujungnya, Palestina merasa draf Trump berat sebelah dan semakin bias ke Israel.
Salah satu poin yang berat adalah wilayah Palestina yang makin kisut. Di akun Twitter-nya Trump menggambarkan peta masa depan Palestina.
"Ini adalah bagaimana negara Palestina terlihat di masa depan, dengan ibu kota di Yerusalem bagian Timur," tulisnya melalui akun @realDonaldTrump.
Sebagaimana dilansir dari media Israel, The Jerussalem Post, Palestina tetap akan memiliki wilayah Tepi Barat. Namun meski mendominasi di Tepi Barat, 20% wilayah itu akan jatuh ke tangan Israel.
Yerussalem yang juga di Tepi Barat akan jadi ibu kota Israel. Semua permukiman Israel di wilayah ini tetap dipertahankan.
Palestina akan memiliki daerah Yerussalem Timur. Seperti Kafr Akab, Abu Dis dan setengah dari Shuafat.
Israel akan mempertahankan Lembah Yordan. Palestina akan kehilangan tanah di Negev, dekat perbatasan Gaza dan Mesir.
Karena posisi Tepi Barat dan Gaza berjauhan, maka Palestina akan diberi jalur khusus untuk menuju kedua wilayah. Namun kontrol perbatasan akan dikendalikan Israel.
![]() |
Pengakuan akan negara Palestina, meski sudah diakui PBB, baru akan diberikan empat tahun kemudian. Namun dengan sejumlah persyaratan, seperti tidak mendanai kelompok jihadis dan Hamas.
Jika syarat itu dipenuhi, maka AS akan mengakui Palestina sebagai negara. Bahkan AS akan membuat rancangan ekonomi untuk membantu negara tersebut.
Israel dan Palestina bagai air dan minyak, tidak bisa disatukan. Perseteruan kedua negara tersebut sudah terjadi selama puluhan tahun dan belum ada penyelesaian yang memuaskan.
Dari data Tim Riset CNBC Indonesia, ketika David Ben Gurion mendeklarasikan negara Israel pada 1948, Israel mendapatkan 48% wilayah yang sebelumnya dikuasai Inggris. Setelah deklarasi ini, terjadi perang Arab-Israel. Israel menjadi pemenang dan kemudian menguasai 70% wilayah yang dahulu dikuasai Inggris.
Perebutan wilayah (dan pengaruh) ini menjadi inti konflik Arab-Israel hingga saat ini. Negara-negara Arab (plus Maroko di Afrika Utara) tidak mau mengakui kedaulatan Israel.
Di PBB ada 31 negara yang tidak mengakui Isael. Meski PBB, sudah mengakui keberadaan negara Israel melalui Resolusi No 273 tertanggal 11 Mei 1949.
Berkebalikan dengan Israel, Palestina lebih susah mendapat status sebagai negara yang diakui dunia. Pada 2011, Presiden Palestina Mahmoud Abbas sudah memasukkan permintaan untuk menjadi anggota PBB.
Namun jalan ke arah sana sangat terjal. Untuk menjadi negara yang diakui PBB, Palestina harus mendapat suara dari dua pertiga anggota lainnya. Plus tidak ada veto.
Veto ini yang susah. AS, sebagai salah satu negara pendiri PBB, punya hak veto dan kemungkinan besar akan menggunakannya melawan kehendak Palestina menjadi anggota PBB.
Pada 2012, Palestina mengajukan permohonan untuk menjadi negara peninjau non-anggota di PBB. Permintaan tersebut disetujui melalui voting pada 29 November 2019 dan menjadi Resolusi No 67/19. Status ini disebut sebagai pengakuan de facto dari PBB bahwa Palestina adalah negara berdaulat.
Per Juli 2019, 138 dari 193 negara anggota PBB sudah mengakui keberadaan Palestina sebagai sebuah negara. Namun karena ada risiko veto dari AS, modal ini belum bisa dimanfaatkan untuk membuat Palestina menjadi anggota PBB.
(hps/hps) Next Article Darurat! PBB Agendakan Pertemuan Jumat Bahas Israel-Palestina
Most Popular