
Analisis
Terbebani Corona, Kebijakan The Fed Belum Mampu Angkat Rupiah
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 January 2020 13:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (30/1/2020), setelah kemarin berhasil menghentikan penurunan dua hari beruntun.
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan melemah 0,07% ke level Rp 13.630/US$. Depresiasi Mata Uang Garuda semakin besar hingga 0,26% ke level Rp 13.655/US$, yang menjadi level terlemah bagi hari ini.
Rupiah berhasil memangkas pelemahan menjadi 0,18% dan berada di level Rp 13.645/US$ pada pukul 12:00 WIB. Pelemahan terjadi karena virus Corona yang diprediksi berdampak buruk terhadap perekonomian China bakal memberikan sentimen negatif ke pasar, dan menekan rupiah.
Jumlah korban meninggal maupun yang terjangkit virus Corona masih terus bertambah. Mengutip CNBC International, di China sebanyak 170 orang meninggal dan lebih dari 7.700 lainnya terjangkiti.
Jumlah kasus virus corona di China kini melebihi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada 2002-2003 lalu sebanyak 5.327 kasus. Dampaknya ke perekonomian terbesar kedua I dunia tersebut juga diprediksi lebih besar.
"Kami percaya dampak ekonomi dari virus corona akan lebih besar jika dibandingkan dengan SARS" kata analis dari Nomura, sebagaimana dilansir CNBC International. Menurut Nomura, saat terjadi SARS produk domestic bruto (PDB) China turun 2% di kuartal II-2003 dari kuartal sebelumnya.
"Berdasarkan asumsi kami, pertumbuhan PDB riil China di kuartal I-2020 bisa turun dari 6% yang dicatat pada kuartal IV-2019, dalam skala kemungkinan penurunannya lebih besar dari 2% yang dibukukan saat wabah SARS 2003" tambahnya.
Meski demikian, analis dari Nomura tersebut menyakini pelambatan tersebut hanya sementara.
Selain Nomura, hasil riset S&P menunjukkan virus corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sebesar 1,2%. Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut menurun karena China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS.
Di sisi lain, rupiah mendapat sentimen positif dari kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Dini hari tadi, The Fed mengumumkan suku bunga tetap ditahan 1,5-1,75% di tahun ini, agar mencapai target inflasi 2%.
Selain itu, The Fed juga masih mempertahankan program repurchase agreement (repo) senilai US$ 60 miliar per bulan, guna menambah likuiditas di pasar. Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan program repo baru akan dikurangi sekitar bulan April sampai Juni.
Program tersebut sudah dilakukan sejak September 2019, dan sejak saat itu indeks dolar mengalami penurunan, yang menjadi salah satu penyebab rupiah mampu menguat delapan pekan beruntun melawan dolar AS.
Tanpa perubahan kebijakan dari The Fed, rupiah punya modal untuk menguat. Tetapi posisinya saat ini dekat level terkuat sejak Februari 2018, dan kecemasan akan virus corona membuat langkah maju rupiah menjadi terbatas.
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan melemah 0,07% ke level Rp 13.630/US$. Depresiasi Mata Uang Garuda semakin besar hingga 0,26% ke level Rp 13.655/US$, yang menjadi level terlemah bagi hari ini.
Rupiah berhasil memangkas pelemahan menjadi 0,18% dan berada di level Rp 13.645/US$ pada pukul 12:00 WIB. Pelemahan terjadi karena virus Corona yang diprediksi berdampak buruk terhadap perekonomian China bakal memberikan sentimen negatif ke pasar, dan menekan rupiah.
Jumlah korban meninggal maupun yang terjangkit virus Corona masih terus bertambah. Mengutip CNBC International, di China sebanyak 170 orang meninggal dan lebih dari 7.700 lainnya terjangkiti.
Jumlah kasus virus corona di China kini melebihi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada 2002-2003 lalu sebanyak 5.327 kasus. Dampaknya ke perekonomian terbesar kedua I dunia tersebut juga diprediksi lebih besar.
"Kami percaya dampak ekonomi dari virus corona akan lebih besar jika dibandingkan dengan SARS" kata analis dari Nomura, sebagaimana dilansir CNBC International. Menurut Nomura, saat terjadi SARS produk domestic bruto (PDB) China turun 2% di kuartal II-2003 dari kuartal sebelumnya.
"Berdasarkan asumsi kami, pertumbuhan PDB riil China di kuartal I-2020 bisa turun dari 6% yang dicatat pada kuartal IV-2019, dalam skala kemungkinan penurunannya lebih besar dari 2% yang dibukukan saat wabah SARS 2003" tambahnya.
Meski demikian, analis dari Nomura tersebut menyakini pelambatan tersebut hanya sementara.
Selain Nomura, hasil riset S&P menunjukkan virus corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sebesar 1,2%. Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut menurun karena China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS.
Di sisi lain, rupiah mendapat sentimen positif dari kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Dini hari tadi, The Fed mengumumkan suku bunga tetap ditahan 1,5-1,75% di tahun ini, agar mencapai target inflasi 2%.
Selain itu, The Fed juga masih mempertahankan program repurchase agreement (repo) senilai US$ 60 miliar per bulan, guna menambah likuiditas di pasar. Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan program repo baru akan dikurangi sekitar bulan April sampai Juni.
Program tersebut sudah dilakukan sejak September 2019, dan sejak saat itu indeks dolar mengalami penurunan, yang menjadi salah satu penyebab rupiah mampu menguat delapan pekan beruntun melawan dolar AS.
Tanpa perubahan kebijakan dari The Fed, rupiah punya modal untuk menguat. Tetapi posisinya saat ini dekat level terkuat sejak Februari 2018, dan kecemasan akan virus corona membuat langkah maju rupiah menjadi terbatas.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular