Virus Corona & Jerman, Pemicu Jebloknya Harga Batu Bara

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
29 January 2020 08:49
Virus Corona & Jerman, Pemicu Jebloknya Harga Batu Bara
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kontrak acuan ICE Newcastle ditutup flat pada perdagangan terakhir. Dalam dua pekan terakhir, harga batu bara anjlok signifikan seiring dengan upaya serius Jerman untuk mengakhiri konsumsi batu bara serta wabah virus Corona yang menggemparkan dunia akhir-akhir ini.

Harga batu bara ditutup di level US$ 67,55/ton pada penutupan perdagangan kemarin. Dalam dua pekan terakhir, harga batu bara telah terkoreksi dalam.

Pada periode 13-28 Januari, harga batu bara mencatatkan koreksi sebesar 12,4%. Seperti diketahui bersama, pada 13 Januari, harga batu bara melesat dan mencetak rekor tertingginya sejak awal tahun di level US$ 77,15/ton.

Heboh menyebarnya virus Corona yang menyerang Kota Wuhan (China) sejak awal tahun ini sangat menggemparkan pasar. Pasalnya virus yang masih satu jenis dengan penyebab SARS ini telah menewaskan ratusan orang.

Mengutip data teranyar data pemetaan spasial ArcGis oleh John Hopkins CSSE, jumlah kasus saat ini sudah mencapai 5.578 dengan korban meninggal mencapai 131 orang. Sementara itu, pasien yang dinyatakan telah pulih jumlahnya mencapai 107 orang.

Kasus paling banyak dilaporkan di China. Hingga update terbaru tersebut dirilis, sudah ada 5.498 kasus dilaporkan di China. Sebanyak 80 kasus sisanya dilaporkan di 16 negara lain. Wabah ini membuat belasan kota di China berada dalam status karantina.

Fasilitas transportasi umum di kota-kota tersebut yang dihuni oleh lebih dari 35 juta penduduk China ditutup. Upaya ini dilakukan demi mengendalikan penyebaran virus agar tidak meluas.

Walau tingkat mortalitasnya tak separah saat SARS dulu, penyebaran virus ini berlangsung sangat cepat. Dalam hitungan kurang dari satu bulan virus telah menjangkiti lebih dari 5.000 orang. Lebih dari 100 dinyatakan meninggal dunia.

Jika berkaca pada SARS, maka wabah akibat virus Corona bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi China turun hingga 1,2 persen poin. Penurunan pertumbuhan ekonomi ini tentu bukan kabar yang baik untuk pasar, mengingat China merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia dan konsumen terbesar batu bara.

Sektor yang benar-benar paling kena dampaknya adalah sektor jasa terutama transportasi dan pariwisata. Saat ini China sedang libur tahun baru imlek. Biasanya China libur satu minggu kala imlek. Namun akibat virus ini, ada kemungkinan libur tahun baru diperpanjang.

Aktivitas perdagangan juga masih sepi. Berdasarkan data Refinitiv Coal Flows, impor batu bara China sejak awal tahun jumlahnya mencapai 20,53 juta ton.

Jumlah ini masih lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 21,88 juta ton. Artinya impor batu bara China secara month-to-date turun 6,2% yoy.


Faktor lain yang juga diperkirakan berpotensi besar menurunkan impor batu bara adalah output hydro model China yang naik. Akibatnya hingga Februari 2020, jumlah batu bara sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik yang dapat diganti dengan tenaga air mencapai 2,7 juta ton terutama untuk beberapa provinsi di China seperti Sichuan, Hubei, Guizhou dan Qinghang.

Kini beralih ke negara kawasan Asia lain yang juga sebagai konsumen batu bara yaitu Korea Selatan dan Jepang. Impor batu bara kedua negara ini sejak awal tahun juga mengalami penurunan. Secara month-to-date impor batu bara Korea Selatan mencapai 6,7 juta ton, sementara impor batu bara Jepang mencapai 13,3 juta ton.

Pada periode yang sama tahun lalu Korea Selatan dan Jepang masing-masing mengimpor batu bara sebanyak 10,9 juta ton dan 14,3 juta ton. Itu artinya kinerja impor batu bara bulan Januari untuk Negeri Ginseng dan Negeri Sakura masing-masing turun 38,5% yoy dan 6,9% yoy.

Walau output pembangkit listrik tenaga nuklir kedua negara menurun, kondisi cuaca yang sejuk membuat permintaan akan batu bara melorot.

Berbeda dengan China, Korea Selatan dan Jepang, impor batu bara India month-to-date justru mengalami kenaikan. Impor batu bara India Januari 2020 mencapai 14 juta ton, sementara pada periode yang sama tahun lalu hanya 13,3 juta ton. Artinya ada kenaikan sebanyak 700 ribu ton atau tumbuh 5,3% yoy.

Badan Energi Internasional (IEA) meramal permintaan batu bara akan stabil hingga 2024. Hal ini dipicu oleh kenaikan permintaan yang masih akan terlihat di berbagai negara kawasan Asia, tetapi diikuti dengan penurunan konsumsi batu bara terutama dari Eropa dan Amerika. 

Langkah Eropa untuk hentikan konsumsi batu bara mereka tentu jadi ancaman bagi nasib si 'batu hitam' ke depannya. Hal ini terlihat jelas dari langkah yang dilakukan oleh Jerman.

Reuters melaporkan bahwa Jerman saat ini sedang merancang undang-undang untuk mengakhiri konsumsi batu bara. Rencananya untuk setiap penurunan 1 megawatt pada 2020-2022 akan diberikan kompensasi senilai US$ 183.051.

Kompensasi tersebut diperkirakan akan terus turun per tahun dengan laju 25% setelah 2022, hingga pada akhirnya tak ada lagi kompensasi setelah 2026. RUU ini merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah Jerman untuk merespons perubahan iklim yang jadi masalah global saat ini. Kabinet dijadwalkan mendiskusikan RUU ini pada hari Rabu waktu setempat dan majelis rendah di parlemen akan melakukan voting tahun ini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular