Rupiah Masih Kuat di Kurs Tengah BI, Tapi Loyo di Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 January 2020 10:07
Pertumbuhan Ekonomi China Terlemah Sejak 1992
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Sementara dari sisi eksternal, pelaku pasar kini sedang mencerna rilis data ekonomi terbaru dari China. Pada kuartal IV-2019, ekonomi China tumbuh 6,1% year-on-year (YoY) dan sepanjang 2019 Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Panda tumbuh 6,1%.

Angka 6% berarti pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2019 sama seperti kuartal sebelumnya dan sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters. Namun tetap saja ini adalah laju terlemah sejak setidaknya 1992.

 


Data lain adalah penjualan ritel. Pada Desember 2019, penjualan ritel China tumbuh 8% YoY, sama seperti bulan sebelumnya. Namun lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan pertumbuhan di angka 7,8% YoY.

Kemudian ada juga rilis data produksi industri. Pada Desember 2019, produksi industri China naik 6,9% YoY. Lebih tinggi dibandingkan November 2019 yang sebesar 6,2% YoY maupun konsensus pasar yaitu 5,9%.

Data ekonomi China yang agak mixed ini membuat pelaku pasar butuh sedikit waktu untuk mencerna. Pertumbuhan ekonomi China memang melambat, bahkan paling lemah dalam hampir 30 tahun terakhir. Akan tetapi ke depan ada harapan untuk membaik karena penjualan ritel tetap kuat dan produksi industri meningkat lebih dari perkiraan.

Oleh karena itu, semestinya tidak perlu ada respons negatif yang berlebihan terhadap angka pertumbuhan ekonomi China. Seiring dengan tercapainya damai dagang, prospek ekonomi Negeri Tirai Bambu sepertinya akan membaik.


China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga apa yang terjadi di sana tentu akan mempengaruhi seluruh benua. Jadi wajar saja rilis data ekonomi China akan sangat berdampak terhadap pasar keuangan Benua Kuning, termasuk nasib rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular