Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka perdagangan perdana di pasar saham Indonesia, Kamis (2/1/2020).
Jokowi mengklaim kinerja pasar modal di tahun 2019 cukup menggembirakan.
"Kita patut bersyukur di tengah ketidakpastian ekonomi global 2019, ekonomi kita bisa relatif stabil. Kinerja pasar modal menggembirakan, aktivitas pencatatan saham ada 55 perusahaan baru," kata Jokowi di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (2/1/2020).
"Ini penting karena tertinggi di Asia dan ke-7 di dunia," imbuh Jokowi.
Namun, ternyata penggalangan dana melalui penawaran umum saham perdana (
initial public offering/IPO) di BEI tak bisa dikatakan menggembirakan seperti yang dibangga-banggakan Jokowi.
Di sepanjang tahun 2019, BEI menargetkan untuk mendatangkan sebanyak 57 perusahaan tercatat (emiten) baru ke pasar modal melalui skema penawaran umum saham perdana. Kenyataannya, perusahaan yang melakukan IPO di tahun 2019 hanya mencapai 55 perusahaan. Jumlah perusahaan yang melakukan IPO di tahun 2019 sama persis dengan capaian tahun 2018.
Jika melihat nilainya, ternyata banyak sekali IPO dengan ukuran mini di tahun 2019. Berdasarkan data yang kami himpun, sebanyak 27 emiten atau nyaris setengah dari yang melakukan IPO pada tahun lalu hanya menggalang dana kurang dari Rp 100 miliar.
Jika total nilai penggalangan dananya dibandingkan dengan negara-negara tetangga, kinerja IPO di Indonesia bisa dibilang kalah jauh. Sepanjang 2019, nilai penggalangan dana dari 55 perusahaan yang melakukan IPO hanyalah sebesar Rp 14,78 triliun.
Seperti dikutip dari pemberitaan Bangkok Post tertanggal 18 November 2019, dana senilai THB 80 miliar atau setara dengan Rp 37,12 triliun telah berhasil dihimpun di Thailand melalui skema IPO. Total penggalangan dana melalui IPO untuk keseluruhan tahun 2019 diperkirakan akan menembus THB 110 miliar atau setara dengan Rp 51,04 triliun.
Sementara itu, melansir Business Times, penggalangan dana melalui IPO di Singapura telah mencapai US$ 2,26 miliar hingga tanggal 15 November 2019 atau setara dengan Rp 31,79 triliun.
Beralih ke Malaysia, melansir Star Online, di sepanjang tahun 2019 ada sebanyak 30 perusahaan yang melakukan IPO di sana, lebih banyak dari jumlah IPO pada tahun 2018 yang hanya sebanyak 22 perusahaan. Jumlah tersebut juga merupakan level tertinggi sejak tahun 2006 silam.
Bursa Malaysia mengungkapkan bahwa dana senilai MYR 1,97 miliar atau setara dengan Rp 6,68 triliun berhasil digalang dari proses IPO di sepanjang tahun 2019.
Walaupun secara nilainya jumlah penggalangan dana melalui IPO di Indonesia lebih besar, tapi setidaknya pasar saham Malaysia bisa mencetak rekor yang cukup mengesankan. Seperti yang disebutkan, jumlah perusahaan yang melakukan IPO di tahun 2019 (30 perusahaan) merupakan yang terbanyak sejak tahun 2006.
Di sisi lain, walaupun dibanggakan Jokowi, jumlah perusahaan yang melakukan IPO di Indonesia pada tahun 2019 justru stagnan saja, tak ada perubahan jika dibandingkan dengan tahun 2018.
Jika berbicara mengenai dampaknya dalam jangka pendek terhadap perekonomian, tentulah total nilai IPO lebih penting ketimbang jumlah perusahaan yang melakukannya. Pasalnya, nilai IPO menggambarkan dana segar yang bisa digunakan perusahaan untuk melakukan ekspansi, yang kemudian akan mendongkrak laju perekonomian.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa kinerja IPO di Indonesia tak bagus-bagus amat, terlepas dari langkah Jokowi yang membangga-banggakan jumlah perusahaan yang memutuskan untuk melantai di pasar saham.
Tipisnya imbal hasil IHSG menjadi salah satu penyebab di balik kinerja pasar IPO Indonesia yang relatif lesu di tahun 2019.
Jika dihitung sejak akhir 2018 hingga akhir November 2019, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia masih membukukan koreksi sebesar 2,95%.
Namun, kinerja IHSG terdongkrak dengan signifikan di bulan Desember. Di sepanjang bulan Desember, IHSG meroket hingga 4,79%. Seiring dengan terdongraknya IHSG di bulan Desember, imbal hasil untuk keseluruhan tahun 2019 berbalik menjadi positif, tepatnya sebesar 1,7%.
Walaupun imbal hasil untuk keseluruhan tahun 2019 berbalik menjadi positif, apresiasi yang hanya sebesar 1,7% tersebut nyaris menempatkan IHSG sebagai indeks saham dengan kinerja terburuk di kawasan Asia.
Berdasarkan data 10 indeks saham di kawasan Asia yang kami kumpulkan termasuk IHSG, hingga penutupan perdagangan tanggal 30 Desember 2019, hampir seluruhnya membukukan apresiasi. Indeks KLCI (Malaysia) tercatat sebagai satu-satunya yang melemah di sepanjang tahun 2019.
Jika diurutkan, IHSG berada di posisi ketujuh. Kinerja IHSG di sepanjang tahun 2019 hanya lebih baik dari indeks KLCI yang jatuh 4,43% dan indeks SETi (Thailand) yang menguat 1,02%.
IHSG hanya bisa naik tipis kala bursa saham AS alias Wall Street laku kiblat bursa saham dunia menunjukkan kinerja yang begitu menggembirakan. Di sepanjang tahun 2019 (hingga penutupan perdagangan hari Senin, 30/12/2019), indeks Dow Jones sudah melejit 22,01%, indeks S&P 500 meroket 28,5%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 34,82%.
Laju perekonomian yang begitu loyo menjadi faktor utama yang membuat IHSG kurang bertenaga di tahun 2019.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian begitu lesu.
Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.
Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh sesuai dengan outlook yang dipatok pemerintah di level 5,2%. Bahkan, hampir pasti bahwa pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih rendah dari capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%.
Dampak dari lesunya laju perekonomian kemudian terefleksikan di kinerja keuangan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di BEI, salah satunya yang bergerak di bidang perbankan.
Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tercatat tumbuh masing-masing sebesar 13,8%, 16,5%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi per akhir kuartal III-2017. Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya menyusut menjadi masing-masing sebesar 7,8%, 11,6%, dan 14,7% (dibandingkan posisi per akhir kuartal III-2018).
Seiring dengan lesunya penyaluran kredit, laba bersih pun tertekan. Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, laba bersih dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI memang masih tumbuh jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 11,9%, 5,4%, dan 4,7%.
Namun, pertumbuhannya jauh menipis jika dibandingkan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018. Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, laba bersih Bank Mandiri melesat 20,1% secara tahunan, laba bersih BRI melejit 14,6%, dan laba bersih BNI melonjak 12,6%.
Untuk diketahui, sektor jasa keuangan (yang didominasi oleh emiten-emiten perbankan) membentuk lebih dari 40% kapitalisasi pasar IHSG. Di sepanjang tahun 2019, harga saham BBNI tercatat ambruk 10,8%, sementara harga saham BMRI hanya mampu naik 4,07%. Untuk saham BBRI, harganya melonjak sebesar 20,22% pada tahun ini.
Pada akhirnya, pergerakan saham-saham perbankan yang secara keseluruhan bisa dikatakan kurang menggembirakan berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja bursa saham Tanah Air di sepanjang tahun 2019.
Ketika kinerja sebuah bursa saham mengecewakan, memang perusahaan-perusahaan akan cenderung enggan untuk melakukan IPO. Pasalnya, appetite dari investor untuk memburu instrumen yang berisiko seperti saham sedang berada dalam posisi yang rendah.
Kalau tetap dipaksakan melakukan IPO, pada akhirnya harga penawaran yang terbentuk kemungkinan besar akan berada di rentang bawah. Hal ini berarti penggalangan dana yang dilakukan oleh perusahaan tak berlangsung maksimal.
TIM RISET CNBC INDONESIA