
Tutup 2019 Rupiah Makin Ganas, Terkuat Sejak 1,5 Tahun
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 December 2019 13:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah trengginas melawan dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan terakhir tahun 2019, Selasa (31/12/2019).
Membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 13.920/US$, rupiah langsung masuk ke zona hijau. Penguatan rupiah terus menebal, bahkan mencapai 0,25% ke level Rp 13.885/US$ sebelum tengah hari. Level tersebut merupakan yang terkuat di tahun 2019, sebelumnya pernah dicapai pada bulan Februari dan Juli.
Rupiah akhirnya mencapai level terkuat di tahun ini bahkan dalam satu setengah tahun terakhir di Rp 13.865/US$ atau menguat 0,4% sebelum pukul 12:00 WIB.
Tetapi penguatan sebelum mencapai level tersebut, rupiah sempat mengalami "flash crash" kecil atau pelemahan secara tiba-tiba dalam waktu singkat. Data dari Refinitv menunjukkan rupiah yang sebelumnya masih di zona hijau, tiba-tiba berbalik melemah 0,32% ke Rp 13.965/US$. Dalam waktu singkat pula, Mata Uang Garuda langsung berbalik ke Rp 13.865/US$, level terkuat sejak Juni 2018.
Gambar di atas merupakan grafik candle stick pergerakan dolar AS vs Rupiah (USD/IDR) dengan time frame satu jam. Candle Stick terakhir menunjukkan "flash crash" kecil yang terjadi pada rupiah beberapa saat lalu.
Pergerakan seperti itu sering terjadi saat perdagangan sedang sepi, dengan likuiditas rendah.
Perdagangan tahun 2019 tersisa beberapa jam lagi, Mata Uang Garuda berpeluang besar menebalkan lagi penguatannya, dan memantapkan posisi akhir tahun di level terkuat sepanjang 2019.
Sentimen pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya memberikan tenaga bagi rupiah untuk terus menguat. Kabar terbaru dari kesepakatan dagang fase I AS-China menjadi faktor utama yang membuat pelaku pasar ceria.
Tanda-tanda kesepakatan tersebut akan diteken dalam waktu dekat semakin menguat setelah South China Morning Post kemarin mewartakan Wakil Perdana Menteri China, Liu He, akan bertandang ke Washington di pekan ini untuk menandatangani kesepakatan.
South China Morning Post yang mengutip sumber yang mengetahui perihal tersebut juga memberitakan delegasi dari Tiongkok akan berada di Washington hingga pertengahan pekan depan.
Sementara Senin waktu AS, penasehat Gedung Putih, Peter Navarro kepada Fox News mengatakan penandatanganan akan dilakukan dalam waktu satu pekan ke depan atau lebih. Navarro mengatakan kedua belah pihak masih menunggu terjemahan dari kesepakatan dagang fase I, sebagaimana dilansir CNBC International.
Selain kesepakatan dagang fase I, data ekonomi dari China semakin membuat sentiment pelaku pasar meningkat, dan memburu aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi.
Data dari Negeri Tiongkok hari ini menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur kembali berekspansi di bulan ini, Angka indeks yang dirilis sebesar 50,2 sama dengan bulan November lalu. Sebelum November, sektor manufaktur China sudah mengalami kontraksi dalam enam bulan beruntun.
Di saat sektor manufaktur mengalami kontraksi, ekonomi China hanya tumbuh 6% pada kuartal III-2019, menjadi yang terendah sejak tahun 1992.
Kebangkitan sektor manufaktur tentunya menjadi kabar bagus tidak hanya bagi China, tetapi juga bagi pasar global. Pertumbuhan ekonomi Negeri Tiongkok bisa bangkit kembali, yang bisa membantu mengerek naik pertumbuhan ekonomi global.
Selain sentiment pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya, indeks indeks dolar AS yang sedang loyo juga mempermudah rupiah untuk kembali menguat.
Pada perdagangan Senin indeks dolar berakhir melemah 0,17% ke 96,74, dan berada di dekat level terendah enam bulan.
Pelemahan indeks dolar berlanjut hingga siang ini, terpantau pada pukul 12:08 WIB melemah 0,04% di level 96,68, sehingga peluang rupiah mengakhiri tahun di level terkuat 2019 semakin terbuka lebar.
Melihat grafik harian, rupiah yang disimbolkan dengan USD/IDR bergerak di bawah rerata pergerakan (moving average/MA) 5 hari (garis biru) dan di bawah MA 20/rerata pergerakan 20 hari (garis merah).
Indikator rerata pergerakan konvergen dan divergen (MACD) bergerak turun, dengan histogram yang di wilayah negatif. Indikator-indikator grafik harian ini mengindikasikan rupiah mulai mendapat momentum penguatan.
Pada time frame 1 jam, rupiah bergerak di bawah MA 5 (rerata pergerakan 5 jam/garis biru) dan di bawah MA 20 (rerata pergerakan 20 jam/garis merah). Indikator Stochastic berada wilayah jenuh jual (oversold) dalam waktu yang cukup lama.
Rupiah menembus ke bawah level Rp 13.890/US$ yang kin menjadi resisten (tahanan atas) terdekat.Selama tertahan di bawah level tersebut, rupiah berpotensi menguat ke Rp 13.870, atau lebih jauh ke Rp 13.850/US$.
Sementara melihat indikator Stochastic yang oversold dalam waktu yang lama, jika rupiah kembali ke atas Rp 13.890/US$, penguatan berisiko terpangkas hingga ke Rp. 13.910/US$.
Sementara jika gagal menembus support tersebut atau selama tertahan di atasnya, rupiah berisiko memangkas penguatan ke Rp 13.930/US$, melihat indikator Stochastic yang oversold dalam waktu yang lama.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 13.920/US$, rupiah langsung masuk ke zona hijau. Penguatan rupiah terus menebal, bahkan mencapai 0,25% ke level Rp 13.885/US$ sebelum tengah hari. Level tersebut merupakan yang terkuat di tahun 2019, sebelumnya pernah dicapai pada bulan Februari dan Juli.
Rupiah akhirnya mencapai level terkuat di tahun ini bahkan dalam satu setengah tahun terakhir di Rp 13.865/US$ atau menguat 0,4% sebelum pukul 12:00 WIB.
![]() Sumber: Refinitiv |
Gambar di atas merupakan grafik candle stick pergerakan dolar AS vs Rupiah (USD/IDR) dengan time frame satu jam. Candle Stick terakhir menunjukkan "flash crash" kecil yang terjadi pada rupiah beberapa saat lalu.
Pergerakan seperti itu sering terjadi saat perdagangan sedang sepi, dengan likuiditas rendah.
Perdagangan tahun 2019 tersisa beberapa jam lagi, Mata Uang Garuda berpeluang besar menebalkan lagi penguatannya, dan memantapkan posisi akhir tahun di level terkuat sepanjang 2019.
Sentimen pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya memberikan tenaga bagi rupiah untuk terus menguat. Kabar terbaru dari kesepakatan dagang fase I AS-China menjadi faktor utama yang membuat pelaku pasar ceria.
Tanda-tanda kesepakatan tersebut akan diteken dalam waktu dekat semakin menguat setelah South China Morning Post kemarin mewartakan Wakil Perdana Menteri China, Liu He, akan bertandang ke Washington di pekan ini untuk menandatangani kesepakatan.
South China Morning Post yang mengutip sumber yang mengetahui perihal tersebut juga memberitakan delegasi dari Tiongkok akan berada di Washington hingga pertengahan pekan depan.
Sementara Senin waktu AS, penasehat Gedung Putih, Peter Navarro kepada Fox News mengatakan penandatanganan akan dilakukan dalam waktu satu pekan ke depan atau lebih. Navarro mengatakan kedua belah pihak masih menunggu terjemahan dari kesepakatan dagang fase I, sebagaimana dilansir CNBC International.
Selain kesepakatan dagang fase I, data ekonomi dari China semakin membuat sentiment pelaku pasar meningkat, dan memburu aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi.
Data dari Negeri Tiongkok hari ini menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur kembali berekspansi di bulan ini, Angka indeks yang dirilis sebesar 50,2 sama dengan bulan November lalu. Sebelum November, sektor manufaktur China sudah mengalami kontraksi dalam enam bulan beruntun.
Di saat sektor manufaktur mengalami kontraksi, ekonomi China hanya tumbuh 6% pada kuartal III-2019, menjadi yang terendah sejak tahun 1992.
Kebangkitan sektor manufaktur tentunya menjadi kabar bagus tidak hanya bagi China, tetapi juga bagi pasar global. Pertumbuhan ekonomi Negeri Tiongkok bisa bangkit kembali, yang bisa membantu mengerek naik pertumbuhan ekonomi global.
Selain sentiment pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya, indeks indeks dolar AS yang sedang loyo juga mempermudah rupiah untuk kembali menguat.
Pada perdagangan Senin indeks dolar berakhir melemah 0,17% ke 96,74, dan berada di dekat level terendah enam bulan.
Pelemahan indeks dolar berlanjut hingga siang ini, terpantau pada pukul 12:08 WIB melemah 0,04% di level 96,68, sehingga peluang rupiah mengakhiri tahun di level terkuat 2019 semakin terbuka lebar.
Melihat grafik harian, rupiah yang disimbolkan dengan USD/IDR bergerak di bawah rerata pergerakan (moving average/MA) 5 hari (garis biru) dan di bawah MA 20/rerata pergerakan 20 hari (garis merah).
![]() Foto: investing.com |
Indikator rerata pergerakan konvergen dan divergen (MACD) bergerak turun, dengan histogram yang di wilayah negatif. Indikator-indikator grafik harian ini mengindikasikan rupiah mulai mendapat momentum penguatan.
![]() Grafik: Rupiah (USD/IDR) Foto: investing.com |
Pada time frame 1 jam, rupiah bergerak di bawah MA 5 (rerata pergerakan 5 jam/garis biru) dan di bawah MA 20 (rerata pergerakan 20 jam/garis merah). Indikator Stochastic berada wilayah jenuh jual (oversold) dalam waktu yang cukup lama.
Rupiah menembus ke bawah level Rp 13.890/US$ yang kin menjadi resisten (tahanan atas) terdekat.Selama tertahan di bawah level tersebut, rupiah berpotensi menguat ke Rp 13.870, atau lebih jauh ke Rp 13.850/US$.
Sementara melihat indikator Stochastic yang oversold dalam waktu yang lama, jika rupiah kembali ke atas Rp 13.890/US$, penguatan berisiko terpangkas hingga ke Rp. 13.910/US$.
Sementara jika gagal menembus support tersebut atau selama tertahan di atasnya, rupiah berisiko memangkas penguatan ke Rp 13.930/US$, melihat indikator Stochastic yang oversold dalam waktu yang lama.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular