Ulasan 2019

Oh Batu Bara, Malang Nian Nasibmu Tahun Ini!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
25 December 2019 18:15
Oh Batu Bara, Malang Nian Nasibmu Tahun Ini!
Foto: Batu Bara (REUTERS/Jason Lee)
Jakarta, CNBC Indonesia - Apes, harga batu bara anjlok dalam di sepanjang tahun 2019. Adanya perlambatan ekonomi global akibat perang dagang serta isu lingkungan membayangi harga batu bara tahun ini.

Sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin, Selasa (24/12/2019) harga batu bara telah terkoreksi 33,4%. Nahas sekali nasib batu bara tahun ini. Terhitung sejak awal Januari hingga akhir Agustus harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle mengalami tren koreksi yang mendalam.

Harga batu bara beberapa kali rebound dan sempat mengalami konsolidasi. Namun seolah tak kuasa mendapat tekanan, harga batu bara akhirnya harus ambles jauh lebih dalam. Baru pada awal September-Desember harga batu bara membentuk pola sideways.

Di sepanjang tahun ini, harga batu bara mencatatkan level tertingginya pada 16 Januari 2019 di US$ 102,5/ton. Kemudian pada 28 Agustus 2019, harga batu bara mencatatkan titik terendahnya di level US$ 63,1/ton.

Tim Riset CNBC Indonesia mencatat pada kuartal pertama rata-rata harga batu bara ICE Newcastle berada di level US$ 95,6/ton. Kemudian pada kuartal kedua rata-rata harga batu bara turun menjadi US$ 80,4/ton. Rata-rata harga batu bara kembali turun di kuartal tiga menjadi US$ 70,2/ton. Pada kuartal empat saat harga batu bara bergerak sideways, harga rata-ratanya menyentuh level US$ 68,2/ton.



Terpuruknya harga batu bara tak lepas dari perlambatan ekonomi global yang terjadi di sepanjang tahun 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sampai tiga kali. Awalnya diramal 3,3% kemudian direvisi turun 0,1 persentase poin menjadi 3,2% kemudian yang terakhir menjadi 3%.

Chief Economist IMF Gita Gopinath menuturkan bahwa pemangkasan tersebut dikarenakan beberapa faktor seperti, meningkatnya kebijakan yang menghambat aktivitas perdagangan global hingga tensi geopolitik yang memanas.

Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia (Amerika Serikat dan China) yang berlangsung 18 bulan terakhir memang membawa dampak pada perlambatan ekonomi global. Aktivitas perdagangan terkontraksi dan investasi melambat.

Kedua negara terlibat dalam berbagai aksi retaliasi penerapan bea masuk impor pada berbagai produk keduanya senilai ratusan miliar dolar. Perang dagang tak dapat terelakkan karena satu dan lain hal.

Dari sudut pandang AS, Presiden Donald Trump menuduh China melakukan praktik dagang yang curang dan mencuri hak atas kekayaan intelektual. Sementara Tiongkok menganggap AS berusaha mengurangi kekuatan China sebagai kekuatan ekonomi baru di kancah global.

[Gambas:Video CNBC]

Negara-negara Asia terutama negara pengimpor batu bara terbesar seperti China, Jepang dan Korea Selatan mengalami kontraksi di sektor manufakturnya. Kontraksi terlihat dari angka PMI Manufaktur yang berada di bawah angka 50. Walau tidak mengalami kontraksi, tetapi sektor manufaktur India terus mengalami penurunan tercermin dari angka PMI-nya.



Kontraksi yang terjadi pada sektor manufaktur negara-negara tersebut tentu bukan kabar yang baik bagi batu bara. Pasalnya dalam industri manufaktur batu bara memiliki peranan penting.

Batu bara termal berfungsi sebagai bahan bakar pembangkit listrik sementara batu bara kokas penting dalam pembuatan besi dan baja. Tak hanya itu produk sampingan batu bara juga punya peranan penting bagi industri pengolahan.

Selain kondisi ekonomi yang kurang mendukung, faktor lain yang juga memberatkan batu bara adalah isu lingkungan. Pada 23 September lalu PBB menggelar forum UN Climate Action Summit 2019. Tujuan diadakannya forum tersebut tak lain dan tak bukan untuk mempertegas komitmen global dalam upaya dekarbonisasi sesuai dengan Perjanjian Paris 2015.

Dalam pertemuan tersebut PBB mengajak semua anggota untuk terus mengurangi konsumsi bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara dan beralih ke sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Mengutip laporan International Energy Agency (IEA), permintaan batu bara global akan tetap stabil hingga 2024. Dalam laporan tersebut IEA menyebutkan bahwa penurunan permintaan di Eropa dan AS akan diimbangi oleh peningkatan permintaan dari kawasan Asia.

Permintaan batu bara global diramal akan tumbuh dengan laju 0,5% per tahun mencapai 5,6 miliar ton pada 2024, menurut IEA. Penurunan konsumsi batu bara di Eropa dan Amerika serta peningkatan konsumsi gas di Amerika masih akan diimbangi oleh peningkatan permintaan batu bara dari Benua Kuning.

Komitmen Eropa bukan main-main. Bank – bank besar di Eropa mulai akan menghentikan penyaluran kredit ke sektor batu bara beberapa tahun ke depan. Sejak Perjanjian Paris, beberapa bank besar Eropa telah mengadopsi kebijakan untuk memangkas bahkan menghentikan pinjaman yang dialokasikan untuk pembukaan lahan tambang baru.



Beberapa minggu lalu UniCredit menyatakan bahwa pihaknya akan menghentikan seluruh pinjaman untuk sektor batu bara termal pada 2023. Bulan lalu, BNP Paribas berjanji untuk melakukan langkah yang sama dengan UniCredit pada 2030 di wilayah Eropa dan 2040 secara global.



Deutsche Bank mengatakan sejak 2016 sudah tidak lagi terlibat pembiayaan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara maupun pembukaan lahan pertambangan yang baru. Beberapa bank bahkan sudah mulai meningkatkan pembiayaan untuk sektor energi terbarukan, melansir Reuters.

Ya memang tak bisa dipungkiri kedua faktor di atas menjadi pemberat harga batu bara di sepanjang tahun 2019. Apes memang...


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular