Misteri di Balik Hilangnya Pertumbuhan Digit Ganda DPK Bank

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
25 December 2019 17:58
Misteri di Balik Hilangnya Pertumbuhan Digit Ganda DPK Bank
Foto: Ilustrasi Investasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Apa yang salah dengan Indonesia? Ekonomi tumbuh menyamping di kisaran 5%, konsumsi masyarakat cenderung menurun, industri mengalami tekanan, dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan pun tumbuh melambat.

Menurut Statistik Perbankan Indonesia (SPI), DPK perbankan menunjukkan perlambatan sejak tahun 2015, dengan hanya tumbuh 7,3% pada tahun itu atau hanya separuh dari pertumbuhan yang dicatatkan setahun sebelumnya sebesar 12,3% (2014).

Terakhir pada tahun lalu, DPK hanya tumbuh 6,4% yang merupakan pertumbuhan paling lambat atau terburuk sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat dan mempublikasikan statistik industri perbankan.

Tidak mengherankan, perbankan saat ini menghadapi kondisi likuiditas yang ketat. Ini karena kecilnya pertumbuhan simpanan (savings) masyarakat di perbankan. Padahal, simpanan masyarakat atau DPK perbankan merupakan sumber dana murah bagi industri keuangan.

Dari data tersebut, terlihat bahwa sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tingkat agresivitas masyarakat dalam menabung menurun signifikan, dari rata-rata dua digit setiap tahunnya sejak data SPI muncul, menjadi hanya satu digit atau di level 8%.

Angka ini terpangkas separuh dari rerata pertumbuhan DPK per tahun dalam lima tahun kedua periode kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berada di level 16%. DPK perbankan periode pertama pemerintahan SBY tumbuh rata-rata 15%.

Jika dikupas lebih detil, terlihat bahwa tabungan melambat terlebih dahulu, yakni pada 2014 dibandingkan dengan deposit yang baru melambat pada 2015. Meski sempat mencatatkan kembali pertumbuhan digit ganda pada 2016, tabungan rata-rata hanya tumbuh 8,5% lima tahun terakhir.

Lalu ke mana uang 260 juta warga negara Indonesia berpusar, jika mereka mengurangi alokasi tabungannya? Jawabannya dua: konsumsi dan atau investasi. Jika pertumbuhan DPK melambat, maka semestinya konsumsi dan atau investasi meningkat.

Tidak mungkin ketiganya melambat secara bersamaan kecuali sedang terjadi resesi yang menurunkan pendapatan masyarakat secara berjamaah. Sekarang, mati kita tengok aktivitas investasi sepanjang lima tahun terakhir.

Dari sisi investasi, kita bisa menemukan tren pertumbuhan pesat di pasar modal nasional lima tahun terakhir, yakni rata-rata 15% per tahun. Nilai transaksi pemodal lokal di bursa saham, misalnya, sempat melonjak hingga 46% pada 2016, ketika aset deposito tumbuh hanya 6,5%.

Namun apakah ini menunjukkan bahwa pasar modal menjadi satu-satunya tempat tujuan pergeseran alokasi dana masyarakat dari simpanan perbankan? Kemungkinan besar tidak. Sebab, pertumbuhan aset mereka (baik secara langsung di saham dan obligasi, maupun tak langsung lewat reksa dana, asuransi, dan dana pensiun) di bursa dalam lima tahun terakhir adalah sebesar Rp 1.423 triliun.

Jika dirata-rata, maka setiap tahunnya ada penambahan aset masyarakat di instrumen investasi pasar modal sebesar Rp 237 triliun. Ini masih belum seimbang dengan rerata penambahan dana masyarakat di simpanan bank yang pada 2009-2014 (ketika masih ada pertumbuhan digit ganda) mencapai Rp 400 triliun, setiap tahunnya.

Lalu ke mana hilangnya sisa sekitar Rp 163 triliun dana masyarakat per tahunnya? Apakah memasuki kanal pengeluaran lain yakni konsumsi? Semestinya begitu. Namun, data yang ada justru menunjukkan bahwa kondisinya tidak demikian, karena konsumsi rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir malah melambat.

Perlu dicatat, konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu sebesar 56,5%. Kuntetnya pertumbuhan ekonomi di era Jokowi tidak terlepas dari kondisi perlambatan konsumsi rumah tangga ini.

Dengan demikian, besar dugaan bahwa pola pengeluaran masyarakat yang kini berkembang dengan transaksi digital di e-commerce belum terlacak di data pertumbuhan ekonomi kita. Sampai saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) memang tak memiliki catatan nilai penjualan e-commerce sehingga wilayah digital tersebut menjadi terra incognita (area tak terpetakan).

Bank Indonesia (BI) mencatat nilai transaksi digital di e-commerce sepanjang 2018 mencapai Rp 146 triliun, melesat 80,6% dibandingkan dengan tahun 2017 yang hanya Rp 80,8 triliun. Jika mengacu pada data tersebut, maka besar kemungkinan konsumsi masyarakat masih meningkat, yang berujung pada melambatnya simpanan, tetapi masuk ke e-commerce

Sejauh ini, belum ada data pasti mengenai sebesar apa e-commerce menggerogoti pangsa pasar ritel konvensional. Yang terlacak, sejauh ini, adalah pertumbuhan penjualan di sektor ritel yang terus nyungsep.

Pemerintah tak bisa memfaktorkan berkah e-commerce itu ke dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB) karena BPS belum bisa mengakses wilayah itu, apalagi setelah rencana pengenaan pajak e-commerce dibatalkan.

Belum lagi, jika kita bicara banjirnya e-commerce berbasis produk impor yang tak memberikan nilai tambah ekonomi di dalam negeri, alias bocor ke luar negeri.

Untungnya, pemerintah telah berusaha mengeremnya dengan mengenakan bea-masuk barang impor e-commerce pada Senin (23/12/2019) kemarin. Apakah kebijakan itu efektif? Waktu yang akan menjawab...

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular