Ulasan 2019

Gerak Minyak 2019 Diwarnai Bom, Boikot, & Drama Perang Dagang

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
23 December 2019 13:56
Gerak Minyak 2019 Diwarnai Bom, Boikot, & Drama Perang Dagang
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun 2019, pasar minyak mentah global diwarnai volatilitas tinggi. Berbagai ketegangan di berbagai belahan dunia menjadi daya dorong penguatan harga minyak mentah tahun ini.

Pada kuartal pertama tahun 2019, pasar minyak mentah mengalami tren bullish. Dalam periode kuartal pertama tahun ini, harga minyak Brent melambung 27% sementara minyak mentah acuan acuan Paman Sam, West Texas Intermediate (WTI) melesat lebih tinggi yakni sebesar 32%.

Awal tahun ini memang jadi momen harga minyak mentah untuk merangkak naik. Pasalnya, ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China menunjukkan fundamental yang kuat. Seperti yang diketahui, ketika kondisi ekonomi sedang bagus, kebutuhan akan minyak ikut terdongkrak.

Pada kuartal pertama dua negara dengan konsumsi minyak mentah terbesar di dunia yaitu AS dan China mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif di tengah perang dagang antara kedua belah pihak.

China mampu mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi hingga 6,4% secara tahunan (YoY). Sementara itu di saat yang sama ekonomi Negeri Paman Sam juga tumbuh 3,1% sesuai target pemerintahan Presiden Donald Trump.

Perlu diketahui bersama AS dan China merupakan dua negara dengan konsumsi minyak mentah terbesar di dunia. Menurut indexmundi, konsumsi minyak mentah AS mencapai 18 juta barel per hari (bpd), sementara konsumsi minyak Negeri Panda mencapai 10 juta bpd. Jadi, wajar jika pasar minyak mentah mengalami tren bullish.

Faktor lain yang juga menopang peningkatan harga minyak adalah kebijakan organisasi negara pengekspor minyak dan aliansinya (OPEC+) untuk memangkas produksi minyak mentah hingga 1,2 juta bpd guna menstabilkan pasar minyak mentah.

Memasuki kuartal kedua tahun 2019, tren tersebut berlanjut sampai Mei. Harga minyak mentah dunia mencatatkan level tertingginya tahun ini pada 23 April 2019. Sejak awal tahun hingga mencapai level tertingginya, harga minyak Brent telah naik 38,5% sementara itu harga WTI melesat 46%.

Kelanjutan penguatan harga minyak dipicu oleh adanya ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Iran. Berbagai sanksi yang dikenakan oleh Amerika terhadap Iran membuat harga si emas hitam melonjak.

Mengutip CNN Indonesia, pada November 2018 lalu AS mengenakan kembali sanksi terhadap ekspor minyak Iran. Namun, AS memberikan pengecualian terhadap delapan negara untuk tetap dapat membeli minyak dari Iran yaitu, China, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Turki, Italia, dan Yunani.

Kedelapan negara tersebut diizinkan untuk dapat membeli minyak Iran secara terbatas dalam tempo 6 bulan. Namun, Gedung Putih menyatakan menghapus seluruh pengecualian terhadap pengenaan sanksi Iran alias boikot total pada Mei 2019. Harga minyak sempat anjlok dalam pada awal Juni. Tensi perang dagang yang kembali memanas antara AS dengan China jadi perhatian utama yang memberatkan harga minyak mentah. Namun upaya OPEC untuk menghindari risiko kelebihan pasokan membuat harga minyak mentah berbalik menguat (rebound).



Pada kuartal III-2019, harga minyak mentah bergerak fluktuatif. Harga minyak mentah sempat melesat 15% dalam sehari tepatnya pada 16 September 2019. Harga minyak reli setelah terjadi serangan drone terhadap fasilitas kilang minyak mentah Arab yang merusak fasilitas kilang Khurais & Abqaiq.

Sejak meledaknya fasilitas kilang Saudi Aramco 14 September lalu, produksi minyak Arab Saudi terpangkas hingga 5,7 juta barel per hari. Jumlah tersebut setara dengan lebih dari separuh produksi minyak Arab Saudi dan 5% produksi minyak global.

Akibatnya, dalam beberapa minggu setelahnya pasokan minyak berkurang 5,7 juta barel/hari. Hal tersebut sudah cukup membuat harga minyak mentah kembali meroket mengakhiri tren kelesuannya dalam beberapa bulan terakhir. Namun sehari setelah itu harga minyak terkoreksi cukup tajam.

Tak berapa lama setelah serangan itu, kerajaan Arab meyakinkan bahwa pasokan akan segera kembali pulih. Kabar tersebut membuat harga minyak kembali turun selain naik sangat tinggi. Nyatanya, Arab Saudi berhasil mengembalikan tingkat produksi minyaknya dalam kurun waktu dua minggu setelah peristiwa tersebut.

Awal Kuartal IV-2019 juga diwarnai dengan ketegangan. Kurang dari sebulan waktu berselang, ketegangan di Timur Tengah kembali terjadi. Tepatnya pada 11 Oktober 2019, kapal tanker pengangkut minyak mentah Iran bernama Sabiti mengalami kebocoran akibat serangan rudal.

Kebocoran terjadi di sekitar 60 mil (96 kilometer) dari pelabuhan Jeddah. Serangan ini membuat harga minyak mentah naik 2% dalam sehari. Serangan ini memang tidak memiliki dampak sebesar serangan terhadap fasilitas kilang minyak Arab.

Harga minyak mentah pada kuartal IV cenderung mengalami tren kenaikan sebesar 14%. Dengan berbagai drama tarik ulur hubungan dagang AS-China, akhirnya pada pertengahan Desember kedua negara mencapai kesepakatan dagang fase-I yang ditandai dengan pembatalan dan pengurangan tarif oleh AS dan pembelian produk pertanian AS oleh China.

Kabar tersebut direspon positif oleh pasar dan melambungkan harga minyak mentah. Kedua negara dikabarkan meneken kesepakatan fase pertama Januari nanti di Washington. Faktor lain yang mendongkrak harga minyak mentah adalah keputusan OPEC untuk memangkas produksi minyak mentah lebih dalam hingga 1,7 juta barel per hari (bph).

Singkat kata.. Berkat ketegangan, harga minyak memanas lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(twg/twg) Next Article Ganasnya Serangan Virus Corona Buat Harga Minyak Ambles

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular