
Pelajaran Jiwasraya: Long Term Trader, Jauhi Saham Gorengan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terhadap klaim dana nasabah yang akan mencairkan uang investasinya telah mencoreng kredibilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan industri asuransi nasional. Saham gorengan jadi pemicunya.
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, Jiwasraya banyak berivestasi ke dalam instrumen saham, tetapi bukan sembarang saham melainkan saham gorengan.
"Mereka (Manajemen Jiwasraya) itu banyak investasi di saham gorengan. Kita tahu lah, itu saham-saham gorengan. Karena itu kita tanyakan kehati-hatiannya. Jadi kita ingin menanggulangi kerugian yang dialami nasabah dan pihak-pihak lain," jelas Arya.
Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hexana Tri Sasongko dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada Senin ini (16/12/2019), mengungkapkan 'wajah' laporan keuangan perusahaan.
Merahnya laporan keuangan perusahaan karena dinilai gagal mengelola aset yang dimiliki, di antaranya memilih instrumen investasi khususnya saham yang berkualitas rendah.
"Seharusnya maksimal mengalokasikan untuk saham sebesar 20%, itu pun blue chips [saham unggulan], government bond [surat utang negara], instrumen BI minimal 30%. Sayangnya, yang terjadi alokasi ke saham, itu pun kualitas [saham] rendah mencapai 50%, sedangkan government bond di 15%," kata Dirut Jiwasraya Hexana Tri Sasongko.
Alhasil kesalahan dalam mengelola investasi tersebut membuat RBC (Risk Base Capital) Jiwasraya minus 800%, sangat jauh dari ketentuan minimum OJK yang mengharuskan positif 120%. RBC merupakan rasio solvabilitas yang menunjukkan kesehatan dari keuangan perusahaan asuransi. Jika RBC besar berarti pula kondisi finansial perusahaan sehat.
Dalam Dokumen Penyelamatan Jiwasraya yang diperoleh CNBC Indonesia, untuk meningkatkan nilai RBC sampai 120%, maka jumlah dana yang dibutuhkan Jiwasraya sebesar Rp 32,89 triliun. Hingga September 2019 total ekuitas negatif Jiwasraya sebesar Rp 23,92 triliun, sementara kewajiban mencapai Rp 49,6 triliun.
Belajar dari itu, investor harus memahami horizon investasinya, apakah bersifat jangka panjang ataukah jangka pendek. Ketika anda memiliki liabilitas (kewajiban) yang bersifat jangka panjang, maka pastikan bahwa horizon investasi yang dipakai juga bersifat jangka panjang atau dalam hal ini masuk ke saham-saham unggulan.
Bahkan polanya merealisasikan keuntungan pun harus lebih hati-hati dengan melakukannya ketika sudah memasuki perhitungan untuk panen, bukan seketika setelah masuk. Tidak jarang, dividen masuk dalam perhitungan investasi baik dari sisi fundamental maupun teknikal.
Dengan demikian, return yang anda peroleh juga bersifat berkesinambungan (sustainable), alias tidak hanya didorong sentimen jangka pendek dalam bentuk rumor yang cenderung spekulatif dan tidak berdasarkan perhitungan fundamental.
Di sisi lain, jika anda adalah investor dengan horizon investasi jangka pendek (daytrader), yang kebal dengan risiko swing (ayunan) pergerakan saham yang sangat volatil, maka anda sah-sah saja mengejar cuan dari volatilitas di saham-saham gorengan.
Asal, anda paham benar bahwa risikonya sangatlah besar.