Mau Dimakzulkan, Begini Pengaruh Trump ke Pasar Saham Dunia

Bisa dikatakan, Presiden Trump merupakan sosok yang jenius. Tahu betul bahwa The Fed sedang tak berada di pihaknya, Presiden Trump meluncurkan kebijakan fiskal dengan agresivitas yang jauh melampaui Presiden Obama.
Di akhir tahun 2017, Presiden Trump resmi memangkas tingkat pajak, baik untuk orang pribadi maupun korporasi. Tingkat pajak korporasi dipangkas dari 35% menjadi 21% dalam undang-undang yang dinamakan 2017 Tax Cuts and Jobs Act (TCJA).
Hasilnya, perusahaan beramai-ramai membagikan bonus bagi karyawannya yang pada akhirnya mendongkrak konsumsi serta mendorong laju perekonomian secara umum. Ingat, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga sehingga kebijakan yang berdampak positif bagi konsumsi rumah tangga akan mendorong laju perekonomian secara umum dengan signifikan.
Sementara itu, tingkat pajak perorangan dipangkas sesuai dengan besaran pendapatan mereka setiap tahunnya. Analisis dari Tax Policy Center menunjukkan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di AS menghemat sekitar US$ 1.300 dalam pembayaran pajak individu pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan yang harus mereka bayarkan di bawah undang-undang sebelumnya (sebelum 2017 TCJA disahkan).
![]() |
Hasil dari suntikan insentif fiskal oleh Presiden Trump begitu terasa. Secara rata-rata pada tahun 2013-2015 (tiga tahun pertama di periode dua pemerintahan Presiden Obama), perekonomian AS tumbuh sebesar 2,43%.
Sementara itu, secara rata-rata pada tahun 2017-2019 (tiga tahun pertama pemerintahan Presiden Trump), perekonomian AS tumbuh sebesar 2,55%. Sebagai catatan, angka pertumbuhan ekonomi yang digunakan untuk periode 2019 menggunakan angka proyeksi dari International Monetary Fund (IMF).
Pada tahun 2018, merespons suntikan insentif fiskal oleh Presiden Trump, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,927%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di dekade ini.
Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan perekonomian AS tumbuh di level 2,35%. Jika berkaca kepada sejarah, pertumbuhan ekonomi di level 2,35% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.
Ingat, laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang di era Trump dicapainya tanpa ‘bantuan’ dari The Fed.
Lebih lanjut, selain karena laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang, kinclongnya kinerja Wall Street di era Presiden Trump juga didukung oleh perang dagang yang dimulainya dengan China.
Sekedar mengingatkan, perang dagang AS dengan China pada awalnya dipicu oleh kekesalan Trump terhadap besarnya defisit neraca perdagangan AS dengan China. Kemudian, komplain AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam semakin mengeskalasi perang dagang antar keduanya.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Memang, sejauh ini perang dagang dengan China telah secara signifikan menekan perekonomian AS. Kalau tak ada perang dagang dengan China, kemungkinan besar IMF tak akan menaruh proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi AS di level 2,35% untuk tahun 2020, namun lebih tinggi lagi.
Namun begitu, pelaku pasar saham AS memandang positif dinamika perang dagang AS dengan China. Pasalnya, sebenarnya bukan hanya AS, tapi negara-negara Uni Eropa yang merupakan sekutu dari AS pun setuju bahwa praktek-praktek ekonomi yang dilakukan oleh China selama ini merugikan mereka.
Tetapi, sejauh ini hanya AS yang berani mengambil langkah tegas terhadap China. Kini, langkah tegas yang sejatinya sempat membuat pelaku pasar saham AS was-was tersebut, mulai terlihat berbuah manis.
Menjelang akhir pekan kemarin, AS dan China mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu.
Dengan adanya kesepakatan dagang tahap satu tersebut, Presiden AS Donald Trump membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China pada tanggal 15 Desember. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini sejatinya mencapai US$ 160 miliar.
Tak sampai di situ, Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu. Di sisi lain, China membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk balasan yang disiapkan guna membalas bea masuk dari AS pada hari Minggu.
Masih sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu, China akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan. Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Lebih lanjut, kesepakatan dagang tahap satu AS-China juga akan membereskan komplain dari AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam.
Sebagai catatan, hingga kini teks kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China belum ditandatangani. Menurut Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, kedua negara berencana untuk memformalisasi kesepakatan dagang tahap satu tersebut pada pekan pertama Januari 2020.
Jika kesepakatan dagang tahap satu dengan China benar diteken nantinya, laju perekonomian AS di tahun-tahun mendatang bisa terus dipertahankan di level yang relatif tinggi. Simpelnya, perang dagang dengan China (jika pada akhirnya bisa diselesaikan) dipandang sebagai ‘mengorbankan’ perekonomian dalam jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan yang besar di masa depan.
Apapaun alazan yang digunakan oleh Partai Demokrat untuk kini memakzulkan Presiden Trump, harus diakui bahwa dirinya merupakan ‘juru selamat’ bagi pasar saham dunia.
Kalau yang menjadi presiden bukan Trump, mungkin tak ada ceritanya perekonomian AS tumbuh di level yang tinggi seperti saat ini, mengingat kebijakan The Fed dalam beberapa waktu terakhir sedang tidak suportif untuk menggenjot perekonomian.
