Jelang Akhir Tahun, Akankah BI Pangkas Bunga Acuan?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 December 2019 15:31
Jelang Akhir Tahun, Akankah BI Pangkas Bunga Acuan?
Foto: Perry Warjiyo (CNBC Indonesia/Lidya Kembaren)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini termasuk pekan yang tidak mudah bagi pasar keuangan tanah air. Memang, secara total dalam dua perdagangan pertama di pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia menguat 0,76%.

Namun, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 9,9 basis poin (bps), sementara rupiah melemah 0,04% melawan dolar AS di pasar spot.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Sentimen eksternal mendominasi perdagangan di pekan ini. Menjelang akhir pekan kemarin, AS dan China mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu yang sudah begitu dinanti-nantikan pelaku pasar keuangan dunia.

Dengan adanya kesepakatan dagang tahap satu tersebut, Presiden AS Donald Trump membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China pada tanggal 15 Desember. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini sejatinya mencapai US$ 160 miliar.

Pembatalan eksekusi bea masuk tambahan tersebut menjadi elemen krusial dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi global di level yang relatif tinggi. Pasalnya, bea masuk tersebut, jika jadi dieksekusi, akan mengincar produk-produk konsumer yang diimpor oleh AS dari China seperti mainan, ponsel, hingga pakaian.

Pengenaan bea masuk tambahan akan membuat harga produk-produk konsumer tersebut lebih mahal sehingga berpotensi menekan permintaan. Padahal, AS tengah memasuki musim liburan di mana momen tersebut biasanya menghasilkan permintaan yang tinggi atas produk-produk konsumer.

Tak sampai di situ, Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu. Di sisi lain, China membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk balasan yang disiapkan guna membalas bea masuk dari AS pada hari Minggu.

Masih sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu, China akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan. Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.

Namun, ada ketidakpastian yang menyelimuti kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China. Walaupun Trump menyebut bahwa nilai pembelian produk agrikultur oleh China akan mencapai US$ 50 miliar, pihak Beijing yang diwakili oleh Wakil Menteri Pertanian dan Pedesaan Han Jun hanya menyebut bahwa mereka akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan, tanpa menyebut nilainya.

Dikhawatirkan, ketidakjelasan ini pada akhirnya akan membuat kesepakatan dagang tahap satu antara kedua negara justru gagal diteken. Hal ini pada akhirnya memberikan tekanan bagi pasar keuangan tanah air.

Sebagai catatan, hingga kini teks kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China belum ditandatangani. Menurut Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, kedua negara berencana untuk memformalisasi kesepakatan dagang tahap satu pada pekan pertama Januari 2020.

Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.

Walaupun sudah mengalami pekan yang tak mudah, pelaku pasar keuangan tanah air belum bisa bernafas lega. Pasalnya, masih ada sentimen domestik yang perkembangannya harus dikawal karena bisa mempengaruhi kinerja pasar keuangan tanah air dengan signifikan. Sentimen yang dimaksud adalah gelaran Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).

Pada hari ini (18/12/2019), RDG BI untuk periode Desember 2019 dimulai dan dijadwalkan berakhir esok hari (19/12/2019), diikuti oleh pengumuman tingkat suku bunga acuan.

Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan 7-Day Reverse Repo Rate akan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Dari sebanyak 11 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, seluruhnya memperkirakan BI akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan.


Untuk diketahui, di sepanjang tahun ini BI telah memangkas 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps sebanyak empat kali. Jika ditotal, tingkat suku bunga acuan sudah dipangkas sebesar 100 bps pada tahun ini oleh BI.

Tim Riset CNBC Indonesia akan memberikan proyeksi terkait dengan hasil dari RDG BI.

Guna memproyeksikan hasil pertemuan BI, tentu kita perlu memproyeksikan terlebih dahulu arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Maklum, AS merupakan kiblat perekonomian dunia sehingga arah kebijakan moneter di AS akan sangat menentukan arah kebijakan moneter di negara-negara lain.

Di sepanjang tahun 2019, The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Gubernur The Fed Jerome Powell beserta dengan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Pada pertemuan yang digelar pekan lalu, The Fed memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan. Keputusan ini sesuai dengan estimasi dari para ekonom bahwa federal funds rate akan dipertahankan di rentang 1,5%-1,75%.

Dalam konferensi persnya, Gubernur The Fed Jerome Powell kembali mengindikasikan bahwa era pelonggaran tingkat suku bunga acuan sudah usai. Sikap dari Powell tersebut lantas mengonfirmasi stance dari bank sentral AS yang sudah tak lagi dovish.

Dalam pernyataan resminya pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan Oktober atau kali terakhir The Fed mengeksekusi pelonggaran, The Fed menghilangkan suatu pernyataan yang sudah mereka gunakan sejak bulan Juni yakni pernyataan bahwa pihaknya berkomitmen untuk “bertindak sebagaimana diperlukan guna mempertahankan ekspansi (ekonomi)”.

The Fed kemudian mengganti pernyataan tersebut dengan pernyataan yang lebih defensif.

“Komite akan terus memonitor implikasi dari informasi-informasi di masa depan terhadap prospek perekonomian sembari melakukan penilaian terkait dengan besaran yang tepat mengenai rentang dari federal funds rate,” tulis The Fed dalam pernyataan resminya.

Kemudian dalam konferensi pers pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan Oktober, Powell mengatakan bahwa The Fed akan cenderung mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level saat ini. Dirinya mengatakan bahwa pejabat-pejabat bank sentral memandang stance kebijakan moneter saat ini akan layak dipertahankan di masa depan.

Sebelumnya dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan September, Powell melabeli pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan September sebagai “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment” dan bukan sebagai strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.

Jika berbicara mengenai mandat dari The Fed sendiri, sejatinya bisa dikatakan bahwa ruang untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan masih terbuka. Untuk diketahui, The Fed memiliki dua mandat yang ditetapkan oleh Kongres AS, yakni kestabilan harga (inflasi) dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Sebagai informasi, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.

Data teranyar, Core PCE price index tercatat tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Oktober 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%. Pertumbuhan Core PCE price index yang hanya mencapai 1,6% pada Oktober 2019 merupakan laju pertumbuhan paling lambat dalam tiga bulan.

Kali terakhir Core PCE price index mencapai target The Fed adalah pada Desember 2018 silam kala pertumbuhannya 2%, sama persis dengan target. Selepas itu, pertumbuhan Core PCE price index selalu berada di bawah angka 2%.



Sementara itu, jika kita berbicara mengenai pasar tenaga kerja, saat ini pasar tenaga kerja AS sedang berada dalam posisi yang sangat oke. Per November 2019, tingkat pengangguran di AS berada di level 3,5%, menandai level terendah dalam 50 tahun terakhir. Tingkat pengangguran AS berhasil turun dari capaian bulan Oktober yang sebesar 3,6%.

Turunnya tingkat pengangguran AS ke level terendah dalam 50 tahun terakhir tak lain didorong oleh penciptaan lapangan kerja yang begitu fantastis. Untuk periode November 2019, penciptaan lapangan kerja di luar sektor pertanian diumumkan mencapai 266.000, jauh di atas konsensus yang sebanyak 181.000, seperti dilansir dari Forex Factory.



Dengan memperhatikan dua indikator yang menjadi mandat dari The Fed, jelas bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka, seiring dengan inflasi yang masih berada di bawah target.

Namun, pernyataan-pernyataan pejabat The Fed dalam beberapa waktu terakhir, termasuk sang gubernur Jerome Powell, jelas menunjukkan bahwa mereka sudah relatif puas dengan kondisi saat ini.

Walaupun memang ada tekanan signifikan yang menyelimuti perekonomian AS, pertumbuhannya diproyeksikan masih akan berada di level 2,35% oleh International Monetary Fund (IMF) pada tahun ini.

Jika berkaca kepada sejarah, pertumbuhan ekonomi di level 2,35% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.



Ada kemungkinan, The Fed akan terus mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level saat ini di sepanjang tahun depan. Bahkan, peluang bagi The Fed untuk mengerek naik tingkat suku bunga acuan juga ada.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 18 Desember 2019, probabilitas bahwa federal funds rate akan berada di posisi saat ini (1,5%-1,75%) per akhir 2020 berada di level 47,6%. Sementara itu, probabilitas federal funds rate berada di rentang 1,75%-2% pada tahun depan berada di level 1,1%.

Pada akhirnya, stance dari bank sentral AS yang sudah tak lagi dovish akan membatasi ruang BI dalam memangkas tingkat suku bunga acuannya.

Dari dalam negeri, masalah klasik yang menjadi tantangan bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan datang dari permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD).

Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB. CAD pada kuartal III-2019 juga lebih baik dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018.

Di kuartal IV-2019, sejatinya sempat ada harapan bahwa CAD akan kembali membaik.

Pada pertengahan November, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data perdagangan internasional periode Oktober 2019. Sepanjang bulan Oktober, BPS mencatat bahwa ekspor melemah sebesar 6,13% secara tahunan, lebih baik ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor mengalami kontraksi sebesar 9,03%. Sementara itu, impor diumumkan ambruk hingga 16,39% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan kontraksi sebesar 16,02%.

Neraca dagang Indonesia pada bulan Oktober membukukan surplus senilai US$ 160 juta, lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan adanya defisit senilai US$ 300 juta.

Dengan neraca dagang yang bisa membukukan surplus di bulan Oktober, tentu ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kembali membaik di kuartal IV-2019.

Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kala CAD begitu dalam, rupiah akan tertekan sehingga membatasi ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Sebaliknya, kala CAD membaik, rupiah akan cenderung menguat sehingga membuka ruang bagi bank sentral untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter.

Namun, kini justru ada kekhawatiran bahwa CAD di kuartal IV-2019 akan membengkak.

Pada pekan ini, BPS merilis data perdagangan internasional periode November 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa nilai ekspor mencapai US$ 14,01 miliar, turun 5,67% jika dibandingkan nilai pada November 2018. Sementara itu, nilai impor sepanjang November 2019 tercatat senilai US$ 15,34 miliar, turun 9,24% jika dibandingkan nilai pada November 2018.

Alhasil, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,33 miliar sepanjang bulan lalu. Defisit tersebut jauh lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang memperkirakan defisit senilai US$ 132 juta. Defisit pada bulan lalu juga merupakan defisit terbesar kedua pada tahun 2019.

Di sisi lain, inflasi yang terkendali membuka ruang bagi BI untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter pada pekan ini. Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3%. Tingkat inflasi tahun kalender berada di level 2,37%.

Lantas, ada kemungkinan yang besar bahwa inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 akan berada di bawah level 3%.

Kalau melihat laju perekonomian, jelas terlihat bahwa saat ini Indonesia sedang membutuhkan stimulus yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan.

Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.

Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh sesuai dengan outlook yang dipatok pemerintah di level 5,2%. Bahkan, tampaknya pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih rendah dari capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%.

Kala tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Namun, dengan melihat fakta terkait stance dari The Fed yang sudah tak lagi dovish, beserta dengan fakta bahwa ada kemungkinan CAD di kuartal IV-2019 akan membengkak, Tim Riset CNBC Indonesia memproyeksikan bahwa BI akan mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 5%.

Lebih lanjut, instrumen kebijakan moneter lainnya yakni rasio Giro Wajib Minimum (GWM) juga tak akan diutak-atik oleh bank sentral.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/hps) Next Article BI Turunkan Suku Bunga Acuan BI 7-Days RR 25 Bps Jadi 4,25%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular