
Profit Taking dan No Deal Brexit Bebani Langkah Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 December 2019 08:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Faktor eksternal dan domestik memang kurang mendukung bagi mata uang Tanah Air.
Pada Rabu (18/12/2019), US$ 1 dihargai Rp 13.990 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% di hadapan dolar AS. Penguatan rupiah akhir-akhir ini memang agak kencang.
Dalam sebulan terakhir, rupiah telah menguat 0,8% terhadap greenback. Sejak akhir tahun lalu, apresiasi rupiah mencapai 2,71%.
Oleh karena itu, tentu akan ada saat-saat di mana rupiah mengalami koreksi teknikal karena penguatannya yang sudah signifikan. Koreksi ini wajar, bahkan sehat, sebab jika rupiah menguat terus maka yang tercipta adalah penggelembungan nilai aset (asset bubble).
Investor juga sedang dalam masa penantian karena hari ini Bank Indonesia (BI) mulai menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Desember 2019. Suku bunga acuan akan diumumkan esok hari, di mana konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 5%.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan memang ada godaan bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Misalnya, inflasi domestik yang relatif rendah.
Pada November, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi domestik sebesar 3% year-on-year (YoY). BI memperkirakan inflasi sepanjang 2019 berada di kisaran 3,1%.
"Bagi BI, godaan untuk menurunkan suku bunga acuan juga bisa datang dari keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi ada perkembangan positif, di mana terjadi deeskalasi perang dagang AS-China," sebut Satria dalam risetnya.
Akan tetapi, lanjut Satria, ada risiko kalau BI menuruti godaan tersebut. Pasalnya, ada kemungkinan inflasi 2020 bakal terakselerasi.
Sebagai informasi, tahun depan pemerintah mulai menaikkan sejumlah tarif mulai dari cukai rokok, jalan tol, sampai iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan. Hasilnya, akan ada tekanan inflasi terutama di sisi harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices).
"Oleh karena itu, kami memperkirakan BI akan menunggu sampai dampak dari penurunan suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum (GWM) benar-benar terasa di perekonomian sebelum kembli mengeksekusi penurunan suku bunga acuan tahun depan," sebut Satria.
Namun ternyata tidak hanya rupiah yang melemah. Mayoritas mata uang utama Benua Kuning pun terbenam di zona merah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:04 WIB:
Sepertinya sentimen kesepakatan damai dagang AS-China fase I yang (katanya) sudah tercapai akhir pekan lalu sudah mulai basi. Belum ada hitam di atas putih juga, perjanjian belum diteken oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.
Oleh karena itu, pelaku pasar mulai move on dari AS-China dan fokus ke perkembangan lain. Kebetulan situasi di Inggris sedikit bergejolak usai Pemilu pekan lalu.
Partai Konservatif kembali jadi penguasa di Negeri John Bull dengan perolehan 365 dari 650 kursi yang tersedia di parlemen. Artinya, Boris Johnson hampir pasti kembali ke posisi Perdana Menteri.
Dengan kursi mayoritas di parlemen, eks menteri luar negeri pada era pemerintahan Theresa May itu mencoba mengambil alih kemudi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Johnson mencoba memaksakan agar Inggris menyepakati perjanjian dagang dengan Uni Eropa pada bulan ini, sebelum Brexit terlaksana pada 31 Januari 2020. Johnson juga disebut-sebut akan mengusulkan masa transisi Brexit harus selesai pada 2020, tidak lebih lama dari itu.
"Manifesto kami sudah jelas. Tidak ada perpanjangan implementasi masa transisi. Undang-undang Penarikan Diri akan melarang pemerintah untuk menyetujui perpanjangan lebih lanjut," ungkap salah seorang pejabat senior pemerintah, seperti diberitakan Reuters.
Perkembangan ini meresahkan berbagai kalangan. Sebab, ada risiko perjanjian dagang dengan Eropa belum bisa disepakati bulan ini sehingga Inggris terancam minggat tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit/Hard Brexit).
"Kami belum memulai negosiasi, tetapi sudah ada tenggat waktu yang begitu ketat. Akan ada beberapa hal yang mungkin belum sempat dibahas," kata Valdis Dombrovskis, Wakil Presiden Uni Eropa, dikutip dari Reuters.
Jadi, ada kemungkinan perdagangan Inggris dengan Eropa nantinya akan mengikuti standar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tidak ada keistimewaan, arus barang harus melalui pemeriksaan dan membayar bea.
Risiko No Deal Brexit yang kembali mengemuka membuat investor cemas. Hasilnya, aliran modal masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang menjadi terbatas. Mata uang Asia pun ramai-ramai melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (18/12/2019), US$ 1 dihargai Rp 13.990 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% di hadapan dolar AS. Penguatan rupiah akhir-akhir ini memang agak kencang.
Oleh karena itu, tentu akan ada saat-saat di mana rupiah mengalami koreksi teknikal karena penguatannya yang sudah signifikan. Koreksi ini wajar, bahkan sehat, sebab jika rupiah menguat terus maka yang tercipta adalah penggelembungan nilai aset (asset bubble).
Investor juga sedang dalam masa penantian karena hari ini Bank Indonesia (BI) mulai menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Desember 2019. Suku bunga acuan akan diumumkan esok hari, di mana konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 5%.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan memang ada godaan bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Misalnya, inflasi domestik yang relatif rendah.
Pada November, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi domestik sebesar 3% year-on-year (YoY). BI memperkirakan inflasi sepanjang 2019 berada di kisaran 3,1%.
"Bagi BI, godaan untuk menurunkan suku bunga acuan juga bisa datang dari keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi ada perkembangan positif, di mana terjadi deeskalasi perang dagang AS-China," sebut Satria dalam risetnya.
Akan tetapi, lanjut Satria, ada risiko kalau BI menuruti godaan tersebut. Pasalnya, ada kemungkinan inflasi 2020 bakal terakselerasi.
Sebagai informasi, tahun depan pemerintah mulai menaikkan sejumlah tarif mulai dari cukai rokok, jalan tol, sampai iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan. Hasilnya, akan ada tekanan inflasi terutama di sisi harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices).
"Oleh karena itu, kami memperkirakan BI akan menunggu sampai dampak dari penurunan suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum (GWM) benar-benar terasa di perekonomian sebelum kembli mengeksekusi penurunan suku bunga acuan tahun depan," sebut Satria.
Namun ternyata tidak hanya rupiah yang melemah. Mayoritas mata uang utama Benua Kuning pun terbenam di zona merah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:04 WIB:
Sepertinya sentimen kesepakatan damai dagang AS-China fase I yang (katanya) sudah tercapai akhir pekan lalu sudah mulai basi. Belum ada hitam di atas putih juga, perjanjian belum diteken oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.
Oleh karena itu, pelaku pasar mulai move on dari AS-China dan fokus ke perkembangan lain. Kebetulan situasi di Inggris sedikit bergejolak usai Pemilu pekan lalu.
Partai Konservatif kembali jadi penguasa di Negeri John Bull dengan perolehan 365 dari 650 kursi yang tersedia di parlemen. Artinya, Boris Johnson hampir pasti kembali ke posisi Perdana Menteri.
Dengan kursi mayoritas di parlemen, eks menteri luar negeri pada era pemerintahan Theresa May itu mencoba mengambil alih kemudi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Johnson mencoba memaksakan agar Inggris menyepakati perjanjian dagang dengan Uni Eropa pada bulan ini, sebelum Brexit terlaksana pada 31 Januari 2020. Johnson juga disebut-sebut akan mengusulkan masa transisi Brexit harus selesai pada 2020, tidak lebih lama dari itu.
"Manifesto kami sudah jelas. Tidak ada perpanjangan implementasi masa transisi. Undang-undang Penarikan Diri akan melarang pemerintah untuk menyetujui perpanjangan lebih lanjut," ungkap salah seorang pejabat senior pemerintah, seperti diberitakan Reuters.
Perkembangan ini meresahkan berbagai kalangan. Sebab, ada risiko perjanjian dagang dengan Eropa belum bisa disepakati bulan ini sehingga Inggris terancam minggat tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit/Hard Brexit).
"Kami belum memulai negosiasi, tetapi sudah ada tenggat waktu yang begitu ketat. Akan ada beberapa hal yang mungkin belum sempat dibahas," kata Valdis Dombrovskis, Wakil Presiden Uni Eropa, dikutip dari Reuters.
Jadi, ada kemungkinan perdagangan Inggris dengan Eropa nantinya akan mengikuti standar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tidak ada keistimewaan, arus barang harus melalui pemeriksaan dan membayar bea.
Risiko No Deal Brexit yang kembali mengemuka membuat investor cemas. Hasilnya, aliran modal masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang menjadi terbatas. Mata uang Asia pun ramai-ramai melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular