
Empat Hari Perkasa, Rupiah Kini Terburuk Kedua di Asia
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 December 2019 17:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berakhir melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (11/12/2019), mengakhiri penguatan empat hari beruntun. Total selama empat hari tersebut rupiah menguat 0,67%, dan terus berada di dekat level psikologis Rp 14.000/US$.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,11 ke Rp 13.990/US$. Namun sayangnya penguatan tidak mampu dipertahankan, rupiah langsung masuk ke zona merah, bahkan terus tertekan hingga tengah hari. Rupiah mencatat pelemahan hingga 0,25% di level Rp 14.040/US$.
Di sisa perdagangan, rupiah lebih banyak berada di dekat level terlemah hari ini, sebelum mengakhiri perdagangan di level Rp 14.030/US$, melemah 0,18% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS. Hingga pukul 17:00 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,41%. Rupiah menjadi yang terburuk kedua pada perdagangan hari ini.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning Hari ini.
Memang ada kabar bagus dari Gedung Putih, yakni Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan menunda pengenaan bea masuk tambahan untuk importasi produk dari China yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
CNBC Intenational mengutip Wall Street Journal melaporkan negosiator dari AS dan China "sedang meletakkan landasan" untuk menunda kenaikan bea masuk sebesar 15% terhadap produk China dengan total nilai US$ 160 miliar.
Kabar tersebut membuat rupiah menguat begitu perdagangan hari ini dibuka.
Meski demikian, sampai ada pengumuman resmi, tetap saja kabar tersebut belum bisa dipercaya 100%. Apalagi bank sentral Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan suku bunga Kamis (12/12/2019) dini hari nanti, tentunya pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati, dan membuat rupiah terkoreksi.
Kali terakhir mengumumkan suku bunga, Gubernur The Fed, Jerome Powell mengatakan periode pemangkasan suku bunga sudah berakhir. Suku bunga tidak akan lagi di pangkas, kecuali perekonomian AS memburuk.
Data ekonomi yang dirilis belakangan ini mendukung sikap The Fed tersebut. Data tenaga kerja AS yang dirilis Jumat (6/12/2019) lalu terbilang impresif. Data ini menjadi salah satu acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang November AS mencetak 266.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP). Angka itu jauh lebih tinggi dari posisi Oktober 156.000 tenaga kerja, dan melampau konsensus Trading Economics pada 180.000 tenaga kerja. NFP November itu juga menjadi yang tertinggi sejak Januari lalu.
Kemudian tingkat pengangguran Negeri Sam yang dilaporkan di 3,5% di bulan November. Tingkat pengangguran tersebut turun dibandingkan bulan Oktober sebesar 3,6%, menyamai catatan di bulan September, dan merupakan yang terendah sejak tahun 1969.
Belum lagi melihat data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal III-2019 yang pada pembacaan kedua direvisi menjadi 2,1% dari pembacaan pertama 1,9%.
The Fed hampir pasti akan mempertahankan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) di level 1,5-1,75% kali ini. Selain data ekonomi belakangan yang mendukung, piranti FedWatch milik CME Group juga menunjukkan probabilitas pemangkasan suku bunga kali ini sebesar 0% alias tidak ada sama sekali.
Konferensi pers The Fed nanti akan menjadi kunci pergerakan perdagangan mata uang selanjutnya. Powell akan memberikan proyeksi perekonomian AS serta suku bunga di tahun 2020. Jika The Fed semakin optimistis perekonomian AS terus akan membaik, dan menutup ruang untuk kembali memangkas suku bunga, dolar AS akan kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,11 ke Rp 13.990/US$. Namun sayangnya penguatan tidak mampu dipertahankan, rupiah langsung masuk ke zona merah, bahkan terus tertekan hingga tengah hari. Rupiah mencatat pelemahan hingga 0,25% di level Rp 14.040/US$.
Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS. Hingga pukul 17:00 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,41%. Rupiah menjadi yang terburuk kedua pada perdagangan hari ini.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning Hari ini.
Memang ada kabar bagus dari Gedung Putih, yakni Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan menunda pengenaan bea masuk tambahan untuk importasi produk dari China yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
CNBC Intenational mengutip Wall Street Journal melaporkan negosiator dari AS dan China "sedang meletakkan landasan" untuk menunda kenaikan bea masuk sebesar 15% terhadap produk China dengan total nilai US$ 160 miliar.
Kabar tersebut membuat rupiah menguat begitu perdagangan hari ini dibuka.
Meski demikian, sampai ada pengumuman resmi, tetap saja kabar tersebut belum bisa dipercaya 100%. Apalagi bank sentral Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan suku bunga Kamis (12/12/2019) dini hari nanti, tentunya pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati, dan membuat rupiah terkoreksi.
Kali terakhir mengumumkan suku bunga, Gubernur The Fed, Jerome Powell mengatakan periode pemangkasan suku bunga sudah berakhir. Suku bunga tidak akan lagi di pangkas, kecuali perekonomian AS memburuk.
Data ekonomi yang dirilis belakangan ini mendukung sikap The Fed tersebut. Data tenaga kerja AS yang dirilis Jumat (6/12/2019) lalu terbilang impresif. Data ini menjadi salah satu acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang November AS mencetak 266.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP). Angka itu jauh lebih tinggi dari posisi Oktober 156.000 tenaga kerja, dan melampau konsensus Trading Economics pada 180.000 tenaga kerja. NFP November itu juga menjadi yang tertinggi sejak Januari lalu.
Kemudian tingkat pengangguran Negeri Sam yang dilaporkan di 3,5% di bulan November. Tingkat pengangguran tersebut turun dibandingkan bulan Oktober sebesar 3,6%, menyamai catatan di bulan September, dan merupakan yang terendah sejak tahun 1969.
Belum lagi melihat data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal III-2019 yang pada pembacaan kedua direvisi menjadi 2,1% dari pembacaan pertama 1,9%.
The Fed hampir pasti akan mempertahankan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) di level 1,5-1,75% kali ini. Selain data ekonomi belakangan yang mendukung, piranti FedWatch milik CME Group juga menunjukkan probabilitas pemangkasan suku bunga kali ini sebesar 0% alias tidak ada sama sekali.
Konferensi pers The Fed nanti akan menjadi kunci pergerakan perdagangan mata uang selanjutnya. Powell akan memberikan proyeksi perekonomian AS serta suku bunga di tahun 2020. Jika The Fed semakin optimistis perekonomian AS terus akan membaik, dan menutup ruang untuk kembali memangkas suku bunga, dolar AS akan kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular