Trump Gali Kapak Perang Dagang, Rupiah Tak Bisa Tenang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 December 2019 08:37
Trump Gali Kapak Perang Dagang, Rupiah Tak Bisa Tenang
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah bernasib sama dengan mata uang Asia lainnya yang tidak berdaya di hadapan greenback.

Pada Rabu (4/12/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.105 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,14% di hadapan dolar AS. Padahal rupiah menghabiskan sebagian besar hari di zona merah, baru menguat jelang tutup lapak.

Namun hari ini sepertinya mata uang Tanah Air sulit mengulangi pencapaian serupa. Pasalnya, sentimen eksternal sedang tidak mendukung.

Lihat saja para tetangga rupiah di Asia, nyaris semuanya melemah terhadap dolar AS. Sejauh ini hanya yen Jepang yang masih bisa menguat.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:10 WIB:

 


Maklum kalau hanya yen yang menguat. Pasalnya, mata uang Negeri Matahari Terbit memiliki status sebagai aset aman (safe haven). Saat pasar keuangan dunia mengalami guncangan, yen adalah salah satu 'bunker' tempat berlindung.

Hari ini, sentimen yang mendominasi pasar adalah perang dagang. Pertama tentu hubungan AS-China, yang sempat mesra kini kembali tegang.

Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan terburu-buru untuk meneken kesepakatan dagang dengan China. Bahkan mungkin kesepakatan dagang baru bisa terwujud jelang akhir tahun depan.

"Saya tidak punya tenggat waktu, tidak. Bahkan, saya senang dengan ide menunggu sampai setelah Pemilu untuk mencapai kesepakatan dengan China. Namun mereka (China) ingin ada kesepakatan sekarang, jadi kita lihat saja," ungkap Trump kepada para jurnalis di London, seperti diberitakan Reuters.


Sebagai informasi, Pemilu AS baru digelar November 2020. Padahal pasar (dan seluruh dunia) sudah begitu menantikan adanya perjanjian damai dagang AS-China Fase I. Namun Trump malah bilang itu mungkin saja baru terwujud setahun lagi.

Tidak hanya itu, hubungan AS-China malah berisiko memanas dan mungkin memicu perang dagang lebih lanjut. Reuters mewartakan bahwa pemerintah AS sedang mengkaji kemungkinan melarang Huawei (perusahaan telekomunikasi asal China) untuk terlibat dalam sistem keuangan Negeri Paman Sam.

Sumber di lingkaran pemerintah AS mengungkapkan, Huawei akan masuk ke daftar Specially Designated Nationals (SDN). Kebijakan ini kemungkinan diterapkan dalam beberapa bulan ke depan, tergantung perkembangan situasi.

Ketika seseorang atau korporasi berada di daftar SDN, maka asetnya akan dibekukan dan orang-orang di AS tidak boleh berurusan dengan mereka. Jika ini benar terjadi, maka Huawei akan berada di kelompok yang sama dengan para teroris, pengedar narkotika, atau pelaku perdagangan manusia.

Belum lagi ada informasi bahwa Kongres AS lagi-lagi bakal mengesahkan Undang-undang (UU) yang berisiko membuat China murka. Setelah Hong Kong, AS kini dikabarkan sedang menyusun UU penegakan hak asasi manusia di Xinjiang. Wilayah ini mendapat sorotan dunia karena ditengarai terjadi pelanggaran hak asasi manusia kepada etnis minoritas.


Kedua, ada perang dagang AS-Prancis. AS berencana memberlakukan bea masuk bagi produk-produk asal Prancis senilai US$ 2,4 miliar. Beberapa produk yang masuk daftar antara lain minuman sampanye dan tas tangan.

AS geram karena Prancis menerapkan pajak tinggi kepada perusahaan-perusahaan teknologi. Menurut Trump, AS adalah pihak yang paling berhak mengenakan pajak, bukan negara lain.

"Mereka adalah perusahaan AS, mereka adalah perusahaan teknologi. Mereka bukan orang-orang kesukaan saya, tetapi saya tidak peduli karena mereka adalah perusahaan AS. Kami ingin memajaki perusahaan AS, bukan orang lain yang membebankan pajak kepada mereka. Apalagi pajaknya akan tinggi," jelas Trump di sela-sela pertemuan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di London, seperti diberitakan Reuters.


Sebelumnya, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengatakan pajak yang dikenakan Prancis agak berlebihan. Sebab, pajak dikenakan atas pendapatan, bukan laba.

Prancis menerapkan pajak kepada para perusahaan layanan digital yang meraup pendapatan EUR 25 juta di negara tersebut dan EUR 750 juta di seluruh Eropa. Tarifnya adalah 3%. Menurut kajian Kantor Perwakilan Perdagangan AS, pajak atas perusahaan teknologi di Prancis inkonsisten dengan prinsip kebijakan perpajakan dunia.

"Negara lain sebaiknya mengembangkan teknologi sendiri ketimbang menghukum perusahaan AS karena kesuksesan mereka. Aneh, dan mungkin berbahaya," tegas Ross, seperti dikutip dari Reuters.

Namun Prancis tidak gentar. Presiden Prancis Emmanuel Macron menegaskan pemerintahannya hanya melakukan yang terbaik untuk negara. "Saya akan membela kepentingan negara saya dan Eropa," ujarnya, dikutip dari Reuters.


Ketidakpastian akibat risiko perang dagang membuat pelaku pasar kehilangan risk appetite. Aset-aset berisiko tidak menjadi pilihan untuk sementara waktu, lebih baik bermain aman sampai situasi membaik.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular