Cuma Butuh Rp 6,7 T untuk Bawa IHSG Melejit Hampir 2%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 December 2019 16:49
Cuma Butuh Rp 6,7 T untuk Bawa IHSG Melejit Hampir 2%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan pertama di bulan Desember, Senin (2/12/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,2% ke level 6.023,61. IHSG kemudian terus memperlebar penguatannya. Tak sekalipun IHSG merasakan pahitnya zona merah pada perdagangan hari ini.

Per akhir sesi satu, apresiasi IHSG telah mencapai 1,18% ke level 6.082,99. Per akhir sesi dua, penguatan IHSG sudah bertambah lebar menjadi 1,97% ke level 6.130,06. Apresiasi IHSG pada hari ini lantas menandai apresiasi selama dua hari beruntun.

Nilai transaksi saham hari ini tercatat hanya sebesar Rp 6,68 triliun. Volume perdagangan saham mencapai 12,99 miliar unit saham dari frekuensi transaksi 541.337 kali.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+2,31%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+2,93%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (+4,39%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+2,51%), dan PT Astra International Tbk/ASII (+2,31%).

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga melaju di zona hijau: indeks Nikkei terapresiasi 1,01%, indeks Shanghai menguat 0,13%, indeks Hang Seng naik 0,37%, dan indeks Kospi bertambah 0,19%.

Bursa saham Benua Kuning menguat kala kesepakatan dagang AS-China semakin berwarna abu-abu. Global Times selaku media yang dimiliki oleh Partai Komunis China memberitakan bahwa prioritas utama dari Beijing adalah untuk mendorong AS menghapuskan bea masuk tambahan terhadap produk-produk impor asal China yang sudah dibebankan selama periode perang dagang kedua negara. Pemberitaan tersebut mengutip sumber-sumber yang mengetahui jalannya negosiasi dagang AS-China.

"Sumber-sumber yang mengetahui langsung jalannya negosiasi dagang AS-China memberitahu Global Times pada hari Sabtu (30/11/2019) bahwa AS harus menghapuskan bea masuk tambahan yang saat ini sudah dikenakan, bukan yang akan dikenakan, sebagai bagian dari kesepakatan (dagang tahap satu)," tulis pemberitaan Global Times, seperti dilansir dari CNBC International.

Sebelumnya, prospek ditekennya kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China sudah memudar pasca Presiden AS Donald Trump menunjukkan dukungan terhadap demonstrasi di Hong Kong.

Pada hari Rabu waktu setempat (27/11/2019), Trump resmi menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong yang pada intinya memberikan dukungan bagi para demonstran di sana.

RUU pertama akan memberikan mandat bagi Kementerian Luar Negeri AS untuk melakukan penilaian terkait dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Hong Kong dalam mengatur wilayahnya sendiri. Jika China terlalu banyak mengintervensi Hong Kong sehingga membuat kekuasaan untuk mengatur wilayahnya sendiri menjadi lemah, status spesial yang kini diberikan oleh AS terhadap Hong Kong di bidang perdagangan bisa dicabut.

Untuk diketahui, status spesial yang dimaksud membebaskan Hong Kong dari bea masuk yang dibebankan oleh AS terhadap produk-produk impor asal China. RUU pertama tersebut juga membuka kemungkinan dikenakannya sanksi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.

Sementara itu, RUU kedua akan melarang penjualan dari perlengkapan yang selama ini digunakan pihak kepolisian Hong Kong dalam menghadapi demonstran, gas air mata dan peluru karet misalnya.

China pun menunjukkan kemurkaannya pasca Trump menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong. Pada hari Kamis (28/11/2019), Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa AS memiliki niat jahat dan skenario yang saat ini sedang dimainkan oleh AS akan gagal.

Sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.

Jika kesepakatan dagang tahap satu gagal diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi semakin lambat.

Aksi jual yang sudah menerpa bursa saham Benua Kuning dalam beberapa waktu terakhir tampak menjadi faktor yang kini membuat pelaku pasar melakukan aksi beli. Indeks Shanghai misalnya, selalu menutup hari di zona merah dalam tiga hari perdagangan sebelum hari ini, sementara indeks Hang Seng sudah jatuh selama dua hari beruntun.

Sementara itu, walaupun sudah menguat nyaris 1% pada hari Jumat (29/11/2019), sebelumnya IHSG sudah melemah selama enam hari beruntun. Dalam periode enam hari tersebut, koreksi IHSG mencapai 3,28%. Lantas, ruang untuk melakukan aksi beli di pasar saham tanah air masih terbuka lebar.

Lebih lanjut, sentimen positif bagi bursa saham Asia datang dari rilis data ekonomi China yang menggembirakan. Pada pagi hari ini, Manufacturing PMI periode November 2019 versi resmi pemerintah China diumumkan di level 50,2, di atas konsensus yang sebesar 49,5, seperti dilansir dari Trading Economics.
Dari dalam negeri, sejatinya juga ada sentimen negatif bagi pasar saham yakni rilis angka inflasi yang berada di bawah ekspektasi. Pada hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa sepanjang bulan November terjadi inflasi sebesar 0,14% secara bulanan (month-on-month), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year) tercatat di level 3%.

Inflasi pada bulan November berada di bawah konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia. Median dari 12 ekonom yang ikut berpartisipasi dalam pembentukan konsensus memproyeksikan tingkat inflasi secara bulanan di level 0,2%, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan berada di angka 3,065%.

Lantas, lagi-lagi inflasi Indonesia berada di bawah ekspektasi. Sebelumnya pada bulan Oktober, BPS mencatat bahwa terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Rendahnya inflasi di tanah air lantas memberi indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di bawah tekanan. Apalagi, data penjualan ritel yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) ikut mengonfirmasi lemahnya konsumsi masyarakat.

Namun, kehadiran sentimen dari dalam negeri lainnya yang justru positif sukses mengerek kinerja IHSG. Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2019.

Aturan terbaru tersebut mengatur pemberian insentif pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu. Aturan ini biasa disebut tax allowance.

"Untuk lebih mendorong dan meningkatkan kegiatan penanaman modal langsung, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, berkembangnya sektor usaha, kepastian hukum guna perbaikan iklim usaha yang lebih kondusif bagi kegiatan penanaman modal langsung di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, serta pemerataan dan percepatan pembangunan bagi bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015," tulis pertimbangan dari beleid tersebut.

Melalui aturan ini, Jokowi memberikan fasilitas pengurangan pajak penghasilan bagi perusahaan yang memenuhi kriteria seperti memiliki nilai investasi yang tinggi atau berorientasi ekspor, memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar, dan memiliki kandungan lokal yang tinggi.

"Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah nilai Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun," tulis Pasal 3 ayat 1.

Ada begitu banyak industri yang bisa mendapatkan insentif penguarangan pajak ini, seperti pemintalan benang, gula pasir, makanan bayi, bahan farmasi, hingga batik.

Ternyata, jika berkaca kepada sejarah, bulan Desember memang merupakan bulan yang bersahabat bagi pelaku pasar saham tanah air. Bahkan, bulan Desember bisa dikatakan sebagai bulan yang paling bersahabat jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.

Bayangkan, dalam 18 tahun terakhir (2001-2018) tak sekalipun IHSG membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Desember. Capaian sebaik ini tak bisa didapati pada bulan-bulan lainnya.

Apresiasi terbaik IHSG pada bulan Desember terjadi pada tahun 2003. Per akhir Desember 2003, IHSG melejit hingga 12,12% jika dibandingkan dengan posisi per akhir November 2003.

Jika dirata-rata, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 4,42% secara bulanan pada bulan Desember.



Salah satu fenomena yang berperan besar dibalik performa IHSG yang baik di bulan Desember adalah Santa Claus rally. Melansir Investopedia, Santa Claus rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada minggu terakhir bulan Desember hingga 2 hari perdagangan pertama di bulan Januari.

Ada beberapa penjelasan di balik fenomena ini seperti optimisme pelaku pasar dan investasi dari bonus musim liburan. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.

Mengingat pasar saham AS merupakan kiblat dari pasar saham, bahkan pasar keuangan dunia, tentulah kinerja Wall Street yang positif di bulan Desember akan mendongkrak kinerja bursa saham tanah air.

Dalam 18 tahun terakhir, indeks S&P 500 yang merupakan indeks saham terbaik guna merepresentasikan pergerakan pasar saham AS hanya membukukan imbal hasil negatif secara bulanan di bulan Desember sebanyak enam kali.



Fenomena kedua yang juga berperan besar di balik performa IHSG yang baik di bulan Desember adalah window dressing. Melansir Investopedia, window dressing merupakan teknik yang dilakukan oleh para manajer investasi menjelang akhir kuartal dalam mempercantik performa produk investasi yang menjadi kelolaannya.

Di pasar saham, window dressing dilakukan dengan menjual saham-saham yang membebani kinerja produk investasi dan kemudian membeli saham-saham yang telah melesat sebelumnya. Saham-saham yang dibeli tersebut otomatis akan masuk ke dalam komposisi portofolio untuk kemudian dilaporkan kepada investor.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular