Demo Hong Kong Panaskan AS-China, Pasar Obligasi Melemah Lagi

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 November 2019 20:23
Pasar obligasi Indonesia ditutup di zona merah pada perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (28/11/2019).
Foto: CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Indonesia ditutup di zona merah pada perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (28/11/2019).

Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 tahun (FR0078), 15 tahun (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Pada hari ini, imbal hasil obligasi tenor 5, 15, dan 20 tahun naik masing-masing sebesar 0,1 bps, 0,6 bps, dan 0,6 bps, sementara imbal hasil obligasi tenor 10 tahun turun 2,2 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Pasar obligasi Indonesia kembali melemah pasca sudah melemah pada perdagangan kemarin, Rabu (27/11/2019). Pada penutupan perdagangan kemarin, imbal hasil obligasi tenor 10, 15, dan 20 tahun naik masing-masing sebesar 1,4 bps, 2,6 bps, dan 1,5 bps.

Memudarnya prospek terkait kesepakatan dagang tahap satu AS-China menjadi faktor yang memantik aksi jual di pasar obligasi Indonesia. Prospek terkait kesepakatan dagang tahap satu AS-China memudar seiring dengan dukungan yang ditunjukkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap demonstrasi di Hong Kong.

Kemarin waktu setempat, Trump resmi menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong yang pada intinya memberikan dukungan bagi para demonstran di sana.

RUU pertama akan memberikan mandat bagi Kementerian Luar Negeri AS melakukan penilaian terkait kekuasaan Hong Kong mengatur wilayahnya sendiri. Jika China terlalu banyak mengintervensi sehingga membuat kekuasaan otonomi itu lemah, status spesial yang kini diberikan oleh AS terhadap Hong Kong di bidang perdagangan bisa dicabut.

Untuk diketahui, status spesial yang dimaksud membebaskan Hong Kong dari bea masuk yang dibebankan oleh AS terhadap produk-produk impor asal China. RUU pertama tersebut juga membuka kemungkinan dikenakannya sanksi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong.

Sementara itu, RUU kedua akan melarang penjualan dari perlengkapan yang selama ini digunakan pihak kepolisian Hong Kong dalam menghadapi demonstran, gas air mata dan peluru karet misalnya.

Trump terhadap demonstran di Hong Kong jelas berpotensi membuat kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China menjadi gagal diteken. Pasalnya, sebelumnya China sudah berang dan menyebut bahwa digolkannya dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong oleh Kongres AS sebagai campur tangan dari pihak AS terhadap urusan domestik China.

Bahkan, kini China sudah kembali menunjukkan kemurkaannya pasca Trump menandatangani dua RUU terkait demonstrasi di Hong Kong. Pada hari ini, Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa AS memiliki niat jahat dan skenario yang saat ini sedang dimainkan oleh AS akan gagal.

Padahal, kalau diingat sebelumnya ada perkembangan yang positif terkait negosiasi dagang AS-China. Pada hari Selasa (26/11/2019), Kementerian Perdagangan China mengumumkan bahwa negosiator dagang dari AS dan China menggelar pembicaraan via sambungan telepon pada pagi hari waktu setempat.

Delegasi AS diwakili oleh Menteri Keuangan Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer, sementara Wakil Perdana Menteri China Liu He menjadi perwakilan dari pihak China.

Kementerian Perdagangan China menyebut bahwa kedua belah pihak mendiskusikan permasalahan-permasalahan inti di bidang perdagangan. Kedua belah pihak disebut oleh Beijing setuju untuk tetap berkomunikasi guna menyegel kesepakatan dagang tahap satu.

"Kedua pihak berdiskusi guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan inti yang ada, mencapai konsensus terkait cara yang akan digunakan guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, serta setuju untuk tetap berkomunikasi terkait dengan permasalahan-permasalahan yang masih tersisa supaya kesepakatan dagang tahap satu bisa diteken," tulis Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan pada hari Selasa (26/11/2019).

Sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.

Jika kesepakatan dagang tahap satu gagal diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi semakin lambat. Lebih lanjut, sentimen negatif dari dalam negeri ikut menjadi faktor yang memantik aksi jual di pasar obligasi Tanah Air, yakni ekspektasi kenaikan inflasi bulan ini.

Beberapa hari yang lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil survei pemantauan harga (SPH) yang dilakukan hingga minggu ketiga November 2019. Hasilnya, tingkat inflasi secara bulanan berada di level 0,18%, sementara tingkat inflasi secara tahunan di level 3,04%. Jika inflasi November benar di level 0,18% secara bulanan, maka ini akan menjadi tingkat inflasi tertinggi dalam empat bulan.

Untuk diketahui, inflasi merupakan variabel yang sangat penting dalam menentukan keputusan investasi di pasar obligasi. Jika inflasi rendah, maka obligasi akan menjadi menarik lantaran menawarkan real interest rate yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika inflasi tinggi, maka real interest rate akan menjadi lebih rendah sehingga obligasi tidak menarik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Pemerintah Cari Utang Dolar Lagi, Uangnya Buat Buyback

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular