
Segendang Sepenarian, Rupiah KO di Kurs Tengah BI dan Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 November 2019 10:29

Tampaknya investor malas masuk ke pasar keuangan Asia karena rilis data terbaru di China. Pada Oktober, laba perusahaan industrial Negeri Tirai Bambu turun 9,9% year-on-year (YoY). Lebih dalam ketimbang penurunan pada September yaitu minus 5,3% dan menjadi koreksi paling dalam selama delapan bulan terakhir.
Sepanjang Januari-Oktober, laba industrial China turun 2,9% YoY. Juga lebih parah ketimbang koreksi Januari-September yaitu minus 2,1%.
China adalah kekuatan ekonomi nomor satu di Asia. Jadi kalau China bermasalah, maka akan dirasakan oleh satu benua.
Selain itu, sepertinya investor juga menunggu rilis data pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi AS kuartal III-2019. Pada pembacaan pertama, ekonomi AS tercatat tumbuh 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.
Penantian terhadap data ini sangat mungkin bisa menjadi sentimen penggerak pasar. Sebab, pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan arah kebijakan moneter Bank Sentral (The Federal Reserve/The Fed).
Kemarin, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam masih dalam fase ekspansi, meski dalam laju yang tidak secepat perkiraan. Powell menilai dampak pelonggaran moneter yang ditempuh The Fed tahun ini mulai terlihat. Sejak awal tahun, suku bunga acuan sudah turun tiga kali.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Namun dengan pernyataan bahwa ekonomi AS masih terus ekspansif, dan dampak pelonggaran moneter baru mulai terasa, sepertinya The Fed akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga untuk sementara waktu. Kalau ekonomi memang tumbuh, buat apa ada stimulus moneter yang berlebihan dan justru berisiko kontraproduktif karena menciptakan overheating?
Akan tetapi jika pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mengkaji ulang posisinya. Bisa saja Powell dan kolega berpandangan AS butuh stimulus moneter lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, Federal Funds Rate bisa turun lagi.
Arah kebijakan moneter AS akan sangat menentukan nasib greenback yang kemudian mempengaruhi seluruh mata uang dunia. Jadi harap maklum kalau pasar wait and see, menunggu kepastian bagaimana performa pertumbuhan ekonomi di Negeri Adidaya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Sepanjang Januari-Oktober, laba industrial China turun 2,9% YoY. Juga lebih parah ketimbang koreksi Januari-September yaitu minus 2,1%.
Selain itu, sepertinya investor juga menunggu rilis data pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi AS kuartal III-2019. Pada pembacaan pertama, ekonomi AS tercatat tumbuh 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Sedikit melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 2%.
Penantian terhadap data ini sangat mungkin bisa menjadi sentimen penggerak pasar. Sebab, pertumbuhan ekonomi AS akan menentukan arah kebijakan moneter Bank Sentral (The Federal Reserve/The Fed).
Kemarin, Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell mengatakan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam masih dalam fase ekspansi, meski dalam laju yang tidak secepat perkiraan. Powell menilai dampak pelonggaran moneter yang ditempuh The Fed tahun ini mulai terlihat. Sejak awal tahun, suku bunga acuan sudah turun tiga kali.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Namun dengan pernyataan bahwa ekonomi AS masih terus ekspansif, dan dampak pelonggaran moneter baru mulai terasa, sepertinya The Fed akan menghentikan dulu siklus penurunan suku bunga untuk sementara waktu. Kalau ekonomi memang tumbuh, buat apa ada stimulus moneter yang berlebihan dan justru berisiko kontraproduktif karena menciptakan overheating?
Akan tetapi jika pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 menunjukkan perlambatan yang lebih dalam, maka bukan tidak mungkin The Fed akan mengkaji ulang posisinya. Bisa saja Powell dan kolega berpandangan AS butuh stimulus moneter lebih lanjut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, Federal Funds Rate bisa turun lagi.
Arah kebijakan moneter AS akan sangat menentukan nasib greenback yang kemudian mempengaruhi seluruh mata uang dunia. Jadi harap maklum kalau pasar wait and see, menunggu kepastian bagaimana performa pertumbuhan ekonomi di Negeri Adidaya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular