Walau AS-China Bawa Optimisme, IHSG Masih Melemah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 November 2019 12:06
Walau AS-China Bawa Optimisme, IHSG Masih Melemah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (22/11/2019), di zona merah.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,03% ke level 6.115,79. Per akhir sesi satu, koreksi IHSG sudah bertambah dalam menjadi 0,34% ke level 6.096,72.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,39%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,5%), PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk/TKIM (-4,73%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-1,45%), dan PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk/MIKA (-4%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh mayoritas saham utama kawasan Asia yang justru sedang ditransaksikan di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei naik 0,35%, indeks Hang Seng menguat 0,26%, indeks Straits Times terapresiasi 0,52%, dan indeks Kospi bertambah 0,09%.

Pemberitaan yang positif seputar negosiasi dagang AS-China menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Wall Street Journal melaporkan bahwa dalam pembicaraan via sambungan telepon pada pekan lalu, Wakil Perdana Menteri China Liu He mengundang Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer ke Beijing guna membicarakan kesepakatan dagang tahap satu lebih lanjut, seperti dilansir dari CNBC International.

Hingga kini, memang belum jelas apakah kedua negosiator dari AS tersebut telah menerima undangan dari Liu atau belum. Namun, Wall Street Journal melaporkan bahwa pejabat pemerintahan AS memiliki keinginan untuk bertemu dengan delegasi dari Beijing.

Pemberitaan tersebut lantas membuat pelaku pasar berbunga-bunga. Sebelumnya, prospek terkait kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China sempat diragukan.

Reuters melaporkan bahwa penandatanganan kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China dapat mundur hingga tahun 2020 lantaran China berusaha untuk mendapatkan penghapusan bea masuk yang lebih agresif dari AS. Pemberitaan dari Reuters tersebut mengutip pakar-pakar di bidang perdagangan dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

Sebelumnya lagi, CNBC International melaporkan bahwa pejabat pemerintahan China kini pesimistis terkait prospek kesepakatan dagang tahap satu.

Penyebabnya, China dibuat kesal dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa AS belum menyepakati penghapusan bea masuk tambahan yang sebelumnya dibebankan terhadap produk impor asal China. Padahal, pihak China menganggap bahwa mereka telah mencapai kesepakatan terkait dengan hal tersebut dengan AS.

Sejauh ini, bea masuk tambahan yang dikenakan oleh masing-masing negara terbukti sudah menghantam perekonomiannya masing-masing. Belum lama ini, pembacaan awal untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal III-2019 diumumkan di level 1,9% (QoQ annualized), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal III-2018) yang mencapai 3,4%.

Beralih ke China, belum lama ini Beijing mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.

Jika kesepakatan dagang tahap satu berhasil diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi lebih kencang.

Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi bursa saham tanah air datang dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).

Untuk diketahui, pada hari Rabu (20/11/2019) BI mulai menggelar RDG dan hasilnya diumumkan kemarin siang (21/11/2019). Pasca menggelar RDG selama dua hari tersebut, BI memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan.

Keputusan tersebut sesuai dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan 7-Day Reverse Repo Rate akan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Dari sebanyak 10 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya terdapat satu yang memperkirakan BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, sementara sembilan lainnya memperkirakan bahwa 7-Day Reverse Repo Rate tak akan diutak-atik.

Keputusan dari BI lantas bertentangan dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia yang menyebut bahwa 7-Day Reverse Repo Rate akan dipangkas sebesar 25 bps menjadi 4,75%.

Keputusan BI tersebut menandai kali pertama dalam lima bulan di mana tingkat suku bunga acuan tak dipangkas. Dalam empat bulan sebelumnya, BI selalu menginjak gas dengan memangkas 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps. Jika ditotal, dalam periode empat bulan tersebut tingkat suku bunga acuan sudah dipangkas sebesar 100 bps.

Walaupun tingkat suku bunga acuan tak dipangkas, BI tetap memberikan stimulus moneter. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi persnya mengumumkan bahwa rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dipangkas sebesar 50 bps.

“GWM diturunkan untuk bank umum dan syariah sebesar 50 bps sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4%,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Untuk diketahui, rasio GWM mengatur besaran Dana Pihak Ketiga (DPK) milik bank yang harus dititipkan di bank sentral. Jika rasio GWM dilonggarkan, praktis besaran dana yang harus dititipkan di bank sentral menjadi berkurang dan menambah likuiditas perbankan.

BI mengungkapkan bahwa penurunan rasio GWM yang diumumkan kemarin dan akan berlauk efektif pada 2 Januari 2020 tersebut akan membebaskan dana senilai Rp 24,1 triliun bagi bank umum, sementara untuk bank syariah likuiditas akan bertambah Rp 1,9 triliun.

Namun, pelonggaran rasio GWM belum bisa meyakinkan pelaku pasar bahwa hal tersebut akan efektif dalam mendongkrak laju perekonomian.

Saat ini, perekonomian Indonesia memang sedang lesu dan membutuhkan stimulus untuk dapat melaju dengan lebih kencang. Stimulus ini salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal III-2019.

Pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, diikuti pertumbuhan sebesar 5,05% secara tahunan pada kuartal II-2019.

Angka pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini sedikit berada di atas capaian periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal I-2018) yang sebesar 5,06%. Sementara untuk periode kuartal-II 2019, pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah jika dibandingkan capaian kuartal II-2018 yang mencapai 5,27%.

Pada kuartal III-2019, angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular