BI Pangkas GWM, Saham Bank kok Tetap Merah?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
22 November 2019 11:57
BI Pangkas GWM, Saham Bank kok Tetap Merah?
Foto: Konferensi pers hasil RDG Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Lidya Julita S)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdagangan sesi I hari ini (22/11/2019), harga saham perbankan dengan aset jumbo mayoritas diperdagangkan di zona merah, di mana dari total 6 bank BUKU IV 5 mencatatkan penurunan harga dan hanya satu yang tidak mencatatkan perubahan.

Harga saham PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) anjlok 2,09% menjadi Rp 935/saham, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) melemah 1,39% menjadi Rp 7.075/saham, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 0,97% ke Rp 7.625/saham.

Lalu harga saham PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masing-masing terkoreksi 0,82% ke Rp 1.210/saham dan 0,08% ke Rp 31.475/saham. Sedangkan harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) bergerak konstan.

Pelaku pasar tampaknya sedang mencermati hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia kemarin (21/11/2019) yang secara mengejutkan memutuskan untuk kedua kalinya memangkas Giro Wajib Minimum (GWM).

Gubernur BI Perry Warjiyo memutuskan penurunan GWM 50 basis poin (bps), baik untuk Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4%. Keputusan ini akan berlaku per 2 Januari 2020.

Keputusan tersebut diambil BI untuk meratakan penyebaran likuiditas perbankan di Tanah Air yang nantinya diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit. Perry berharap, penurunan GWM ini maka akan menambah likuiditas perbankan menjadi lebih banyak. Dengan penurunan GWM sebesar 50 bps ini maka, secara total perbankan akan menambah likuiditas sebesar Rp 26 triliun.

"Bank umum dengan penurunan 50 bps tambahan likuiditasnya sebesar Rp 24,1 triliun sementara Bank Umum Syariah Rp 1,9 triliun," jelasnya.

Untuk diketahui, rasio GWM mengatur besaran Dana Pihak Ketiga (DPK) milik bank yang harus dititipkan di bank sentral. Jika rasio GWM dilonggarkan, praktis besaran dana yang harus dititipkan di bank sentral menjadi berkurang dan menambah likuiditas perbankan.

Meskipun demikian, timbul pertanyaan apakah pemangkasan GWM tersebut benar cukup untuk meningkatkan likuiditas perbankan Indonesia dan mendongkrak pertumbuhan kredit?

Saat ini, likuiditas industri perbankan, tidak terkecuali Bank BUKU IV, sedang ketat. Hal ini terlihat dari rasio penyaluran kredit terhadap DPK (dana pihak ketiga) atau Loan to Deposits Ratio (LDR) dari bank umum konvensional yang sepanjang tahun ini selalu bertengger di level 94%, di atas batas aman yang ditetapkan BI, yakni 92%.



Dari grafik di atas terlihat bahwa LDR paling tinggi dicatatkan oleh Bank BUKU III, sedangkan Bank BUKU IV berada di kisaran batas aman BI.

Kondisi LDR yang tinggi tersebut tetap bertahan bahkan setelah pada 1 Juli 2019 BI memangkas rasio GWM 50 basis poin untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah.

Nah, apakah penurunan GWM yang lebih dalam benar dapat menopang industri perbankan?
Lebih lanjut, tingginya rasio LDR disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang tidak disertai dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang memadai. Hal ini juga disampaikan Perry dalam pidatonya.

"Sejumlah kelompok bank buku III dan II serta I memang mengalami kekurangan dana karena persaingan DPK yang tumbuh 8%. Dalam persaingan ini sejumlah kelompok bank kurang bisa menarik porsi DPK," kata dia.

Merujuk pada Statistik Perbankan Indonesia bulan Agustus, nominal jumlah DPK bank BUKU I dan BUKU III di bulan Agustus memang lebih rendah dari posisi pada akhir Desember 2018. Total DPK Bank Buku I pada Agustus tercatat sebesar Rp 49,23 triliun dari Rp 50,81 triliun di Desember 2018. Sedangkan DPK bank BUKU III pada Agustus sebesar Rp 1.698 triliun dari Rp 1.769 pada akhir tahun lalu. 

Kemudian, berdasarkan survei perbankan BI triwulan III-2019, terlihat bahwa sejak kuartal II-2019 saldo bersih tertimbang (SBT) pertumbuhan DPK menunjukkan tren penurunan. BI bahkan memperkirakan DPK hanya tumbuh 73,3% di kuartal terakhir tahun ini dari sebelumnya 87,1% di kuartal III-2019.

Foto: Dwi Ayuningtyas


Jika nantinya DPK turun lebih dalam, maka tidak menutup kemungkinan kebijakan BI untuk memangkas GWM belum dapat memberikan dampak signifikan pada perputaran roda ekonomi Ibu Pertiwi.

Pasalnya, jika DPK terus menyusut maka industri perbankan tidak akan memiliki dana pembiayaan (cost of fund) yang cukup untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat dan dunia usaha.

Oleh karena itu, pelaku pasar sepertinya memilih untuk mencermati kinerja perbankan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk kembali mengkoleksi saham-saham bank domestik.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular