Perang Dagang & Risalah The Fed Bawa Rupiah Kembali Melemah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 November 2019 08:55
Perang Dagang & Risalah The Fed Bawa Rupiah Kembali Melemah
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mengawali perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (20/11/2019), dengan penguatan.

Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah menguat 0,04% ke level Rp 14.080/dolar AS. Sayang, dalam sekejap rupiah sudah berbalik arah ke zona merah. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,04% ke level Rp 14.090/dolar AS.

Jika depresiasinya bertahan hingga akhir perdagangan, maka rupiah akan resmi bertekuk lutut di hadapan dolar AS selama tiga hari beruntun.

Kinerja rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang juga sedang melemah di hadapan dolar AS. Ada dua faktor utama yang memantik aksi jual atas mata uang negara-negara Asia.

Pertama, memudarnya optimisme bahwa AS dan China akan segera meneken kesepakatan dagang tahap satu. Kini, prospek ditekennya kesepakatan dagang tahap satu yang begitu dinanti-nantikan oleh pelaku pasar menjadi berwarna abu-abu.


CNBC International melaporkan bahwa pejabat pemerintahan China kini pesimistis terkait prospek kesepakatan dagang tahap satu.

Penyebabnya, China dibuat kesal dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa AS belum menyepakati penghapusan bea masuk tambahan yang sebelumnya dibebankan terhadap produk impor asal China. Padahal, pihak China menganggap bahwa mereka telah mencapai kesepakatan terkait dengan hal tersebut dengan AS.

Pemberitaan tersebut lantas membuat mood pelaku pasar menjadi kurang mengenakan. Untuk diketahui, sebelumnya ada perkembangan yang positif terkait negosiasi dagang AS-China.

Menurut kantor berita Xinhua, Wakil Perdana Menteri China Liu He menggelar perbincangan via sambungan telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer pada akhir pekan kemarin terkait dengan kesepakatan dagang tahap satu, seperti dilansir dari CNBC International.

Xinhua melaporkan bahwa kedua belah pihak mengadakan diskusi yang konstruktif terkait dengan kekhawatiran di bidang perdagangan yang dimiliki masing-masing pihak. Kedua pihak disebut setuju untuk tetap berdialog secara intens. Xinhua juga melaporkan bahwa pembicaraan via sambungan telepon antar negosiator dagang tingkat tinggi dari AS dan China tersebut merupakan permintaan dari pihak AS.

Sejauh ini, bea masuk tambahan yang dikenakan oleh masing-masing negara terbukti sudah menghantam perekonomiannya masing-masing.

Belum lama ini, pembacaan awal untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal III-2019 diumumkan di level 1,9% (QoQ annualized), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal III-2018) yang mencapai 3,4%.

Beralih ke China, belum lama ini Beijing mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.


Jika kesepakatan dagang tahap satu justru gagal diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi semakin lambat.

Hal ini pada akhirnya membuat dolar AS selaku safe haven laris manis.

Faktor kedua yang membuat dolar AS perkasa adalah rilis risalah dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Oktober 2019. Risalah tersebut dijadwalkan dirilis pada dini hari nanti (21/11/2019) waktu Indonesia.

Untuk diketahui, pada bulan lalu The Fed memutuskan untuk memangkas federal funds rate sebesar 25 bps ke rentang 1,5%-1,75%. Lemahnya pertumbuhan ekonomi global dan rendahnya tingkat inflasi menjadi faktor yang mendasari keputusan tersebut. Pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu menandai pemangkasan yang ketiga di tahun 2019.

Namun, pasca mengumumkan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, The Fed memberi sinyal bahwa mereka akan menahan diri dari memangkas tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 19 November 2019, probabilitas The Fed akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan di sisa tahun 2019 hanya berada di level 0,7%.

Dikhawatirkan, rilis risalah dari pertemuan edisi Oktober 2019 akan mengonfirmasi stance The Fed yang kini cenderung hawkish. Ketika The Fed cenderung memiliki stance yang hawkish, memang dolar AS akan mendapatkan suntikan energi untuk menguat.

Rilis data perdagangan internasional periode Oktober 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terbukti masih kurang bertaji dalam mengerek kinerja rupiah. Data ini diumumkan pada hari Jumat (15/11/2019).

Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa ekspor melemah sebesar 6,13% secara tahunan, lebih baik ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor mengalami kontraksi sebesar 9,03%. Sementara itu, impor diumumkan ambruk hingga 16,39% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan kontraksi sebesar 16,02%.

Neraca dagang Indonesia pada bulan lalu membukukan surplus senilai US$ 160 juta, lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan adanya defisit senilai US$ 300 juta.

Dengan neraca dagang yang bisa membukukan surplus di bulan Oktober, ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kembali membaik di kuartal IV-2019.

Pada kuartal I-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 2,96% dari PDB.

Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB, dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018.

Lantaran ekspor barang merupakan salah satu komponen pembentuk transaksi berjalan, sehingga surplus di pos ini tentu akan memberikan asupan energi dalam meredam CAD.

Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Sentimen eksternal berupa memudarnya optimisme bahwa AS dan China akan segera meneken kesepakatan dagang tahap satu, beserta dengan rilis risalah dari pertemuan The Fed, terbukti lebih dominan dalam mendikte pergerakan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular