
Sudah Minus 0,5% dalam 2 Hari, Saatnya Rupiah Unjuk Gigi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 November 2019 08:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah berhasil menguat kala ketidakpastian melanda pasar keuangan dunia, utamanya karena tarik ulur damai dagang AS-China.
Pada Selasa (12/11/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.052 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,34% di hadapan dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam terlanjur nyaman di kisaran Rp 14.000 sehingga pagi ini belum mau lengser dari kisaran tersebut.
Namun perlu dicatat bahwa rupiah sudah melemah selama dua hari perdagangan beruntun. Dalam periode tersebut, depresiasi rupiah tercatat nyaris 0,5%. Oleh karena itu, rupiah menyimpan energi untuk technical rebound.
Tidak hanya rupiah, mata uang utama Asia lainnya juga cenderung menguat terhadap greenback. Sepertinya risk appetite investor sedang agak tinggi sehingga arus modal berkenan masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:08 WIB:
Minat pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko pulih seiring perkembangan hubungan AS-China. Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa perundingan dagang kedua negara berjalan dengan sangat baik.
"Perundingan terus berjalan, dan saya rasa berlangsung dengan sangat baik. Jika kedua negara mencapai kesepakatan, maka itu haruslah sebuah kesepakatan yang baik," kata Trump kepada para jurnalis sebelum bertolak menuju Alabama untuk kunjungan kerja, seperti diberitakan Reuters.
Sang presiden ke-45 Negeri Adikuasa menambahkan, ada pemberitaan yang kurang tepat soal bea masuk. Sebelumnya, sempat beredar kabar bahwa AS-China sepakat untuk menghapus bea masuk yang berlaku selama masa perang dagang lebih dari setahun terakhir.
AS sudah mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Sedangkan China membebankan bea masuk kepada impor produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
"Ada pemberitaan yang kurang tepat, Anda akan melihat apa yang akan saya lakukan. Ada perbedaan soal bea masuk, level yang diberitakan kurang tepat," ujarnya tanpa memberikan elaborasi lebih lanjut.
Well, walau belum ada kejelasan mengenai nasib bea masuk tetapi pernyataan Trump bahwa dialog dengan China berjalan lancar saja sudah merupakan kabar baik. Setidaknya perjanjian damai dagang fase I masih on the track, tidak ada pembatalan.
Walau pelaku pasar masih menunggu kapan AS-China akan meneken kesepakatan dagang, tetapi pernyataan Trump sudah cukup untuk memulihkan risk appetite di pasar. Asal jangan ada langkah mundur, sepertinya sentimen damai dagang masih akan membawa angin segar bagi pasar keuangan negara berkembang sehingga mampu mengangkat nilai tukar mata uang, termasuk rupiah.
Selain kabar hubungan AS-China, pelaku pasar juga lega mendengar kabar dari Inggris. Pada kuartal III-2019, Negeri John Bull mencatatkan pertumbuhan ekonomi 0,3% secara kuartalan. Jauh membaik ketimbang kuartal II-2019 yang mengalami kontraksi minus 0,2%.
Sektor jasa mencatatkan pertumbuhan 0,4%, lebih baik dibandingkan kuartal II-2019 yang hanya tumbuh 0,1%. Sementara output konstruksi naik 0,6%, setelah kuartal sebelumnya negatif 1,2%.
Namun secara tahunan, ekonomi Inggris hanya tumbuh 1%. Ini adalah laju terlemah sejak kuartal I-2013.
Meski demikian, ada harapan Inggris bisa lolos dari resesi. Pasalnya, risiko No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kesepakatan apa-apa dari perceraian dengan Uni Eropa) semakin mengecil.
Inggris dan Uni Eropa sepakat untuk memundurkan pelaksanaan Brexit menjadi 31 Januari 2020. Dengan begitu, kedua negara punya waktu untuk merumuskan kesepakatan terbaik agar arus perdagangan dan investasi tidak terhambat.
Inggris adalah perekonomian terbesar kedua di Eropa, hanya kalah dari Jerman. Jadi kalau Inggris berhasil menghindari resesi, maka perekonomian Benua Biru secara keseluruhan bisa terjaga positif. Ini hanya bisa terjadi apabila perdagangan dan investasi tetap lancar meski sudah ada Brexit.
Baca: Eropa, 'Pusat Gempa' Resesi Ekonomi Dunia?
Oleh karena itu, asa dari Eropa ikut menopang keberanian investor untuk masuk ke instrumen berisiko. Arus modal yang masuk membuat mata uang Asia bergerak menguat, tidak terkecuali rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Selasa (12/11/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.052 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,34% di hadapan dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam terlanjur nyaman di kisaran Rp 14.000 sehingga pagi ini belum mau lengser dari kisaran tersebut.
Tidak hanya rupiah, mata uang utama Asia lainnya juga cenderung menguat terhadap greenback. Sepertinya risk appetite investor sedang agak tinggi sehingga arus modal berkenan masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:08 WIB:
Minat pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko pulih seiring perkembangan hubungan AS-China. Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa perundingan dagang kedua negara berjalan dengan sangat baik.
"Perundingan terus berjalan, dan saya rasa berlangsung dengan sangat baik. Jika kedua negara mencapai kesepakatan, maka itu haruslah sebuah kesepakatan yang baik," kata Trump kepada para jurnalis sebelum bertolak menuju Alabama untuk kunjungan kerja, seperti diberitakan Reuters.
Sang presiden ke-45 Negeri Adikuasa menambahkan, ada pemberitaan yang kurang tepat soal bea masuk. Sebelumnya, sempat beredar kabar bahwa AS-China sepakat untuk menghapus bea masuk yang berlaku selama masa perang dagang lebih dari setahun terakhir.
AS sudah mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 550 miliar. Sedangkan China membebankan bea masuk kepada impor produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
"Ada pemberitaan yang kurang tepat, Anda akan melihat apa yang akan saya lakukan. Ada perbedaan soal bea masuk, level yang diberitakan kurang tepat," ujarnya tanpa memberikan elaborasi lebih lanjut.
Well, walau belum ada kejelasan mengenai nasib bea masuk tetapi pernyataan Trump bahwa dialog dengan China berjalan lancar saja sudah merupakan kabar baik. Setidaknya perjanjian damai dagang fase I masih on the track, tidak ada pembatalan.
Walau pelaku pasar masih menunggu kapan AS-China akan meneken kesepakatan dagang, tetapi pernyataan Trump sudah cukup untuk memulihkan risk appetite di pasar. Asal jangan ada langkah mundur, sepertinya sentimen damai dagang masih akan membawa angin segar bagi pasar keuangan negara berkembang sehingga mampu mengangkat nilai tukar mata uang, termasuk rupiah.
Selain kabar hubungan AS-China, pelaku pasar juga lega mendengar kabar dari Inggris. Pada kuartal III-2019, Negeri John Bull mencatatkan pertumbuhan ekonomi 0,3% secara kuartalan. Jauh membaik ketimbang kuartal II-2019 yang mengalami kontraksi minus 0,2%.
Sektor jasa mencatatkan pertumbuhan 0,4%, lebih baik dibandingkan kuartal II-2019 yang hanya tumbuh 0,1%. Sementara output konstruksi naik 0,6%, setelah kuartal sebelumnya negatif 1,2%.
Namun secara tahunan, ekonomi Inggris hanya tumbuh 1%. Ini adalah laju terlemah sejak kuartal I-2013.
Meski demikian, ada harapan Inggris bisa lolos dari resesi. Pasalnya, risiko No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kesepakatan apa-apa dari perceraian dengan Uni Eropa) semakin mengecil.
Inggris dan Uni Eropa sepakat untuk memundurkan pelaksanaan Brexit menjadi 31 Januari 2020. Dengan begitu, kedua negara punya waktu untuk merumuskan kesepakatan terbaik agar arus perdagangan dan investasi tidak terhambat.
Inggris adalah perekonomian terbesar kedua di Eropa, hanya kalah dari Jerman. Jadi kalau Inggris berhasil menghindari resesi, maka perekonomian Benua Biru secara keseluruhan bisa terjaga positif. Ini hanya bisa terjadi apabila perdagangan dan investasi tetap lancar meski sudah ada Brexit.
Baca: Eropa, 'Pusat Gempa' Resesi Ekonomi Dunia?
Oleh karena itu, asa dari Eropa ikut menopang keberanian investor untuk masuk ke instrumen berisiko. Arus modal yang masuk membuat mata uang Asia bergerak menguat, tidak terkecuali rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular