Dolar AS Ngamuk, Rupiah Terkapar & Terendah dalam 2 Pekan

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 November 2019 17:17
Dolar AS Ngamuk, Rupiah Terkapar & Terendah dalam 2 Pekan
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah cukup signifikan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (11/11/19), setelah mampu mencetak penguatan pada pekan lalu. 

Begitu perdagangan hari ini dibuka, Mata Uang Garuda langsung melemah 0,11% di level Rp 14/025/US$. Selepas itu rupiah sempat memangkas pelemahan hingga stagnan di level Rp 14.010/US$, tetapi pada akhirnya kembali masuk ke zona merah.

Pelemahan rupiah semakin menjadi-jadi memasuki perdagangan tengah hari. Hingga akhir perdagangan rupiah terus tertekan dan menutup pasar di level Rp 14.058/US$ atau melemah 0,34%.



Rupiah bahkan sempat melemah 0,43% ke level Rp 14.070/US$, dan merupakan titik terlemah dalam lebih dari dua pekan terakhir.

Mayoritas mata uang Asia melemah melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 16:00 WIB, hanya yen Jepang dan bath Thailand yang mampu menguat masing-masing 0,3% dan 0,1%.

Sementara itu peso Filipina menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,62% disusul dengan won Korea Selatan yang melemah 0,6%. Rupiah yang melemah 0,34% melengkapi tiga besar mata uang Asia yang dengan kinerja terburuk.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Kesepakatan dagang antara AS dengan China yang belum jelas memberikan dampak negatif bagi rupiah. Sejak pekan lalu baik AS maupun China saling berbalas komentar. Klaim China mengenai kesepakatan pencabutan bea masuk dibantah oleh AS, bahkan oleh Presiden Donald Trump. 

Mengutip CNBC International pada Kamis (7/11/19), Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengatakan baik AS maupun China setuju untuk membatalkan rencana pengenaan berbagai bea masuk. Perundingan yang konstruktif dalam dua pekan terakhir membuat kedua negara sudah dekat dengan kesepakatan damai dagang fase I.

Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, juga menegaskan bahwa belum ada kesepakatan soal penghapusan bea masuk. Dia menilai China melakukan klaim sepihak.

"Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai pencabutan bea masuk sebagai syarat ditandatanganinya perjanjian damai dagang fase I. Mereka (China) mencoba bernegosiasi di ruang publik," tegas Navarro dalam wawancara bersama Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.



Presiden Trump juga mengkonfirmasi hal tersebut, ia mengatakan tidak setuju untuk membatalkan bea masuk, sebagaimana dilaporkan CNBC International pada Jumat waktu setempat.

Akan tetapi, China sepertinya masih ngotot memperjuangkan penghapusan bea masuk menjadi salah satu poin perjanjian damai dagang. Hu Xijin, Editor di harian Global Times yang berafiliasi dengan pemerintah, menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan tanpa penghapusan bea masuk.

"Satu hal yang pasti adalah jika tidak ada pencabutan bea masuk, maka tidak ada perjanjian fase I," cuit Hu di Twitter.

Komentar-komentar AS dan China yang kontradiktif belum mampu menghalangi dolar AS untuk terus menguat. Sepanjang pekan lalu indeks dolar AS, yang dijadikan tolak ukur kekuatan mata uang Paman Sam, menguat 1,15% dan menjauhi level terlemah sejak 9 Agustus yang disentuh pada Jumat 1 November lalu. 



Di saat indeks dolar begitu perkasa pada pekan lalu, mayoritas mata uang utama Asia, termasuk rupiah, justru mampu menguat. Hal tersebut tentunya membuat dolar AS "mengamuk" di Asia hari ini, apalagi sentimen pelaku pasar sedang memburuk. 

Selain perkembangan AS-China, situasi di Hong Kong yang kembali memanas juga memperburuk sentimen di Benua Kuning. 

Gelombang demonstrasi di Hong Kong sudah terjadi selama 24 pekan. Namun kali ini sepertinya semakin serius, karena sudah melibatkan peluru tajam.
Pagi tadi polisi menembakkan peluru tajam yang dikabarkan melukai setidaknya satu orang pengunjuk rasa, seperti diberitakan Reuters

"Unjuk rasa di Hong Kong sudah menjadi sentimen pemberat dalam beberapa waktu terakhir. Namun dari sisi pasar keuangan, sepertinya kejadian hari ini yang benar-benar memberi pukulan. Apabila situasi terus memburuk, maka tentu akan menjadi sentimen negatif," tegas James McGlew, Analis di Argonaut, seperti dikutip dari Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular