Penjualan Barang-Barang Ritel Loyo, IHSG Jatuh 0,74%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 November 2019 16:55
Penjualan Barang-Barang Ritel Loyo, IHSG Jatuh 0,74%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (6/11/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,16% ke level 6.273,92. Sayang, dengan cepat IHSG berbalik arah ke zona merah. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,46% ke level 6.235,44. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG sudah bertambah dalam menjadi 0,74% ke level 6.217,55.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,22%, indeks Hang Seng menguat 0,02%, indeks Straits Times terapresiasi 0,36%%, dan indeks Kospi bertambah 0,07%.

Sentimen positif bagi bursa saham Asia datang dari asa damai dagang AS-China yang kian terasa.

Bloomberg melaporkan bahwa China kini tengah melakukan kajian terkait dengan lokasi-lokasi di AS yang berpotensi dijadikan tempat bagi Presiden China Xi Jinping untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu dengan Presiden AS Donald Trump. Pemberitaan tersebut menngutip sumber-sumber yang mengetahui tentang perkembangan negosiasi dagang AS-China.

Sumber-sumber tersebut menyebutkan bahwa Beijing berharap penandatanganan kesepakatan dagang tahap satu di AS akan menjadi bagian dari kunjungan kenegaraan Xi, namun pihak Beijing juga membuka opsi bagi Xi untuk menyambangi AS tanpa label kunjungan kenegaraan.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross optimistis bahwa kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China akan bisa diteken pada bulan ini juga. Sementara itu, Trump sebelumnya sudah mengungkapkan bahwa jika kedua negara benar berhasil menyepakati kesepakatan dagang tahap satu, penandatanganan akan digelar di AS.

"Pertama-tama, saya ingin meneken kesepakatan dagang," kata Trump di Gedung Putih kala berbicara di hadapan reporter, Minggu (3/11/2019), seperti dilansir dari Bloomberg.

"Lokasi penandatangan kesepakatan dagang, untuk saya, sangatlah mudah (untuk ditentukan)."

Untuk diketahui, pada awalnya AS dan China berencana untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu di Chile, kala Trump bertemu dengan Xi di sela-sela gelaran KTT APEC. Namun, rencana tersebut kemudian dipertanyakan menyusul keputusan Chile untuk membatalkan gelaran tersebut, seiring dengan aksi demonstrasi yang tak kunjung padam di sana.

Pada hari ini, Ross sedang berada di Indonesia dan dijadwalkan bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ross juga dijadwalkan bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka.

Diharapkan, ada nada positif yang kembali dilontarkan Ross terkait perkembangan negosiasi dagang dengan China.

Di sisi lain, perekonomian Hong Kong yang semakin amburadul menjadi faktor yang menekan kinerja bursa saham Asia, termasuk Indonesia.

Pada pekan lalu tepatnya hari Kamis (31/10/2019), Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.

Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sana selama nyaris lima bulan sukses menekan laju perekonomian dengan sangat signifikan, seiring dengan terkontraksinya sektor pariwisata dan ritel. Untuk diketahui, aksi demonstrasi besar-besaran yang dalam beberapa waktu terakhir terjadi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh penolakan terhadap RUU ekstradisi.

Memasuki kuartal IV-2019, tekanan terhadap perekonomian Hong Kong terbukti belum mengendur, bahkan justru bertambah parah. Kemarin (5/11/2019), Manufacturing PMI Hong Kong periode Oktober 2019 dirilis oleh Markit di level 39,3, jauh di bawah konsensus yang sebesar 43,6, seperti dilansir dari Trading Economics.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Melansir Reuters, kontraksi aktivitas manufaktur yang terjadi di Hong Kong pada bulan lalu merupakan kontraksi terparah sejak November 2008 silam.

Wajar jika amburadulnya perekonomian Hong Kong membuat pelaku pasar saham tanah air memasang posisi defensif. Bagi Indonesia, Hong Kong merupakan mitra yang sangat penting, terutama untuk urusan investasi.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) pada tahun 2018 adalah senilai US$ 29,3 miliar, di mana sebanyak US$ 2 miliar datang dari investor asal Hong Kong. Nilai tersebut setara dengan 6,8% dari total realisasi PMA pada tahun 2018.

Di tahun 2019, kontribusi Hong Kong terhadap realisasi PMA semakin signifikan. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, BKPM mencatat bahwa realisasi PMA adalah senilai US$ 21,2 miliar, di mana sebanyak US$ 1,7 miliar atau setara dengan 8,2% disumbang oleh investor asal Hong Kong.

 

Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari rilis data penjualan barang-barang ritel.

Survei Penjualan Eceran (SPE) periode September 2019 yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) pada hari ini menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan September, sangat jauh di bawah capaian periode yang sama tahun lalu (September 2018) yang mencapai 4,8% YoY.

Untuk diketahui,sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

Rilis data tersebut lantas semakin menguatkan anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah.

Pada pekan lalu, BPS mengumumkan bahwa pada Oktober 2019 terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11/2019).

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Seiring dengan semakin kuatnya anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah, saham-saham konsumer dilego pelaku pasar. Per akhir sesi dua, indeks sektor barang konsumsi melemah sebesar 0,38%.

Saham-saham konsumer yang dilego pelaku pasar di antaranya: PT Unilever Indoensia Tbk/UNVR (-0,91%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (-1,56%), PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk/BTEK (-21,33%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-0,62%), dan PT Multi Bitang Indonesia Tbk/MLBI (-1,19%).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular