
Data Pertumbuhan Ekonomi Cuma Bisa Angkat Rupiah Sehari
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 November 2019 08:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Sepertinya sentimen pertumbuhan ekonomi sudah kurang ampuh untuk mengangkat mata uang Tanah Air.
Pada Rabu (6/11/2019), US$ 1 setara dengan Rp 13.975 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam. Pada pukul 08:17 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.985 di mana rupiah melemah 0,14%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,32% terhadap dolar AS. Sentimen positif bagi rupiah datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia periode Juli-September 2019 tumbuh 5,02% year-on-year (YoY). Sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, tetapi sedikit lebih baik ketimbang konsensus dari Reuters dan Bloomberg yaitu 5,01% dan 5%.
Realisasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari proyeksi dua kantor berita besar tersebut membuat investor berani masuk ke pasar keuangan Indonesia. Kemarin, investor asing mencatatkan beli bersih Rp 10,48 miliar di pasar reguler dan mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 1,36%.
Kemudian kala lelang obligasi pemerintah, penawaran yang masuk mencapai Rp 67,97 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah mengambil Rp 24,25 triliun, lebih tinggi dibandingkan target indikatif Rp 15 triliun.
Namun ternyata sentimen positif dari data pertumbuhan ekonomi hanya bertahan sehari. Lagipula, ada godaan bagi pelaku pasar untuk melakukan ambil untung (profit taking). Rupiah sudah menguat tiga hari beruntun, dan dalam sebulan terakhir penguatannya mencapai 1,2%. Wajar jika investor tergoda mencairkan cuan.
Sementara mata uang utama Asia lainnya bergerak variatif di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, dan rupiah tepat di atasnya alias kedua dari bawah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:18 WIB:
Sentimen yang mewarnai pasar keuangan Asia hari ini masih seputar perkembangan hubungan AS-China. Kedua negara di ambang menyetujui kesepakatan damai dagang fase I.
Mengutip Financial Times, salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah AS menghapus rencana pengenaan bea masuk untuk importasi produk China senilai US$ 156 miliar yang sedianya berlaku 15 Desember. Produk-produk yang rencananya kena bea masuk adalah telepon seluler, laptop, sampai mainan anak-anak.
Namun, seperti diwartakan Reuters, China meminta AS untuk menghapus lebih banyak lagi bea masuk. China mendorong agar AS menghapus bea masuk 15% bagi impor produk mereka senilai US$ 125 miliar yang berlaku September lalu.
Seorang sumber yang dekat dekat tim negosiator China mengungkapkan Beijing ingin agar AS menghapus seluruh bea masuk secepatnya. Namun pernyataan resmi dari pemerintah China masih normatif saja.
"Pembicaraan dengan AS terus menunjukkan kemajuan dan sesuai dengan rencana. Pengenaan bea masuk bukan langkah terbaik untuk menyelesaikan isu perdagangan," kata Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
Kini pelaku pasar menantikan kepastian kapan perjanjian damai dagang fase I akan diteken, yang katanya bisa bulan ini. Sebelum ada hitam di atas putih, maka berbagai spekulasi masih akan berseliweran dan menambah ketidakpastian. Ini yang membuat investor memasang mode wait and see sehingga arus modal belum banyak mengalir ke negara berkembang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (6/11/2019), US$ 1 setara dengan Rp 13.975 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam. Pada pukul 08:17 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.985 di mana rupiah melemah 0,14%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,32% terhadap dolar AS. Sentimen positif bagi rupiah datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia periode Juli-September 2019 tumbuh 5,02% year-on-year (YoY). Sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, tetapi sedikit lebih baik ketimbang konsensus dari Reuters dan Bloomberg yaitu 5,01% dan 5%.
Realisasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari proyeksi dua kantor berita besar tersebut membuat investor berani masuk ke pasar keuangan Indonesia. Kemarin, investor asing mencatatkan beli bersih Rp 10,48 miliar di pasar reguler dan mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 1,36%.
Kemudian kala lelang obligasi pemerintah, penawaran yang masuk mencapai Rp 67,97 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah mengambil Rp 24,25 triliun, lebih tinggi dibandingkan target indikatif Rp 15 triliun.
Namun ternyata sentimen positif dari data pertumbuhan ekonomi hanya bertahan sehari. Lagipula, ada godaan bagi pelaku pasar untuk melakukan ambil untung (profit taking). Rupiah sudah menguat tiga hari beruntun, dan dalam sebulan terakhir penguatannya mencapai 1,2%. Wajar jika investor tergoda mencairkan cuan.
Sementara mata uang utama Asia lainnya bergerak variatif di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, dan rupiah tepat di atasnya alias kedua dari bawah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:18 WIB:
Sentimen yang mewarnai pasar keuangan Asia hari ini masih seputar perkembangan hubungan AS-China. Kedua negara di ambang menyetujui kesepakatan damai dagang fase I.
Mengutip Financial Times, salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah AS menghapus rencana pengenaan bea masuk untuk importasi produk China senilai US$ 156 miliar yang sedianya berlaku 15 Desember. Produk-produk yang rencananya kena bea masuk adalah telepon seluler, laptop, sampai mainan anak-anak.
Namun, seperti diwartakan Reuters, China meminta AS untuk menghapus lebih banyak lagi bea masuk. China mendorong agar AS menghapus bea masuk 15% bagi impor produk mereka senilai US$ 125 miliar yang berlaku September lalu.
Seorang sumber yang dekat dekat tim negosiator China mengungkapkan Beijing ingin agar AS menghapus seluruh bea masuk secepatnya. Namun pernyataan resmi dari pemerintah China masih normatif saja.
"Pembicaraan dengan AS terus menunjukkan kemajuan dan sesuai dengan rencana. Pengenaan bea masuk bukan langkah terbaik untuk menyelesaikan isu perdagangan," kata Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
Kini pelaku pasar menantikan kepastian kapan perjanjian damai dagang fase I akan diteken, yang katanya bisa bulan ini. Sebelum ada hitam di atas putih, maka berbagai spekulasi masih akan berseliweran dan menambah ketidakpastian. Ini yang membuat investor memasang mode wait and see sehingga arus modal belum banyak mengalir ke negara berkembang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular