Rupiah Menguat Sih, Tapi Tak Bisa Lama di Bawah Rp 14,000/US$

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 November 2019 08:47
Damai Dagang dan Data Ekonomi Tekan Dolar AS
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia)
Seperti pekan lalu, investor terus dibuai dengan relasi AS-China yang semakin mesra. Akhir pekan lalu, Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS Robert Lughthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin melakukan pembicaraan via telepon dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. Dalam pembicaraan tersebut, kesepakatan damai dagang AS-China fase I semakin terlihat.

"Mereka membuat berbagai kemajuan dalam hal penyelesaian berbagai masalah. Diskusi akan berlanjut di tingkat wakil menteri," sebut keterangan tertulis Kantor Perwakilan Dagang AS.

"Kedua pihak menjalani diskusi yang serius dan konstruktif untuk mencapai konsensus. Kedua negara berdiskusi tentang pertemuan berikutnya," sebut tajuk rencana kantor berita China, Xinhua.

Presiden AS Donald Trump dalam cuitannya di Twitter akhir pekan lalu menyebutkan bahwa kesepakatan damai dagang fase I akan mencakup sekitar 60% dari seluruh isu yang selama ini mengganggu hubungan Washington-Beijing. AS-China akan segera mengumumkan lokasi penandatanganan kesepakatan tersebut.


Aura damai dagang yang kian terasa membuat investor berani masuk ke instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang AS. Akibatnya, rupiah dkk pun mantap berjalan di jalur hijau.

Selain itu, data ketenagakerjaan AS yang dirilis akhir pekan lalu juga kurang suportif buat greenback. Pada Oktober, perekonomian AS menciptakan 128.000 lapangan kerja. Lumayan jauh di bawah bulan sebelumnya yaitu 180.000.

Belum lagi angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS versi Institute of Supply Management (ISM) pada Oktober berada di 48,3. Angka di bawah 50 menandakan industriawan sedang tidak melakukan ekspansi. Sudah tiga bulan beruntun PMI manufaktur AS berada di bawah 50.



Situasi ini membuat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) sepertinya belum akan mengubah posisi (stance) kebijakan yang cenderung bias longgar. Apalagi Wakil Ketua The Fed Richard Clarida mengatakan tanpa penurunan suku bunga acuan, mungkin ekonomi AS akan melambat lebih parah.

"Kami sudah melakukan penyesuaian. Saya tidak akan terlalu optimistis kalau kami tidak menurunkan suku bunga acuan 75 basis poin," tegasnya, seperti diberitakan Reuters.


Bahkan Clarida tidak menutup peluang pelonggaran moneter lebih lanjut. Syaratnya adalah data-data tenaga kerja, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi mengecewakan.

Peluang penurunan suku bunga acuan tentu bukan kabar baik bagi dolar AS. Saat suku bunga turun, maka imbalan investasi di instrumen berbasis dolar AS akan ikut terkoreksi. Dolar AS jadi kurang seksi, permintaannya turun, dan nilai tukarnya melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular