Inflasi Jauh di Bawah Ekspektasi, IHSG Merah 2 Hari Beruntun

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 November 2019 17:20
Inflasi Jauh di Bawah Ekspektasi, IHSG Merah 2 Hari Beruntun
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (1/11/2019), di zona merah.

Pada pembukaan perdagangan, data BEI mencatat, IHSG melemah 0,04% ke level 6.225,82. Per akhir sesi satu, koreksi indeks saham acuan di Indonesia tersebut sudah bertambah dalam menjadi 0,38% ke level 6.204,58.

Per akhir sesi dua, IHSG melemah 0,34% ke level 6.207,19. Koreksi IHSG pada hari menandai koreksi selama 2 hari beruntun.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru melaju di zona hijau: indeks Shanghai naik 0,99%, indeks Hang Seng menguat 0,72%, dan indeks Kospi bertambah 0,8%. Sementara itu, indeks Nikkei turun 0,33% dan indeks Straits Times melemah 0,01%.


Bursa saham Benua Kuning melemah kala Hong Kong kini telah resmi memasuki periode resesi. Kemarin, Kamis (31/10/2019), Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019.

Pada 3 bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.

Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sana selama nyaris lima bulan sukses menekan laju perekonomian dengan sangat signifikan, seiring dengan terkontraksinya sektor pariwisata dan ritel. Untuk diketahui, aksi demonstrasi besar-besaran yang dalam beberapa waktu terakhir terjadi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh penolakan terhadap RUU ekstradisi.

Pada bulan lalu, Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan mengatakan bahwa jumlah turis yang mengunjungi Hong Kong pada periode Agustus 2019 ambruk nyaris 40% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kontraksi pada jumlah turis yang mengunjungi Hong Kong di bulan Agustus jauh lebih dalam ketimbang penurunan pada periode Juli 2019 yang hanya sebesar 5%.

Inflasi Jauh di Bawah Ekspektasi, IHSG Merah 2 Hari BeruntunFoto: Bentrok Polisi dengan Pendemo pada Aksi Protes Anti-Pemerintah di Hong Kong, Minggu, 27 Oktober 2019 (REUTERS/Tyrone Siu)

Sebelum pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi Hong Kong periode kuartal III-2019 dirilis, memang pemerintahnya sendiri sudah memproyeksikan bahwa Hong Kong akan resmi mengalami resesi.
Pada akhir pekan kemarin, Chan memperingatkan bahwa Hong Kong akan resmi mengalami resesi.

"Dampak (dari aksi demonstrasi) terhadap perekonomian kita signifikan," tulis Chan dalam sebuah unggahan di blog.

Suntikan kebijakan moneter yang diberikan oleh bank sentral Hong Kong dan suntikan kebijakan fiskal oleh pemerintahnya membuat pelaku pasar optimistis bahwa situasi di Hong Kong akan membaik di masa depan, yang pada akhirnya menjadi sentimen positif bagi pasar saham Asia.


Kemarin, bank sentral Hong Kong memutuskan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 2%. Dari sisi fiskal, sejauh ini pemerintah Hong Kong telah menyuntikkan dana segar senilai lebih dari HKD 20 miliar ke perekonomian. Suntikan dana segar ini diarahkan untuk menggairahkan sektor transportasi, pariwisata, serta ritel.

Di masa depan, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan bahwa pemerintah akan kembali memberikan suntikan fiskal.

Dari dalam negeri, rilis angka inflasi periode Oktober 2019 menjadi faktor yang membebani laju IHSG.

Pada hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,13%.

"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11//2019).

 

Inflasi Jauh di Bawah Ekspektasi, IHSG Merah 2 Hari BeruntunFoto: Badan Pusat Statistik merilis inflasi Oktober 2019. (CNBC Indonesia/Lidya Julita S)


Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.

Untuk diketahui, jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16% saja. Inflasi pada kuartal III-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.

Di era pemerintahan Jokowi, inflasi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,16% merupakan inflasi kuartal III terendah kedua, pasca pada kuartal III-2018 Indonesia hanya mencatatkan inflasi sebesar 0,05%.

Dengan inflasi yang terus saja berada di bawah ekspektasi, timbul kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam tekanan.


Apalagi, indikasi lemahnya daya beli masyarakat Indonesia juga datang dari kinerja penjualan barang-barang ritel yang lesu.
Sudah sedari bulan Mei, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

Merespons adanya indikasi yang kuat bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam tekanan, saham-saham konsumer pun dilego pelaku pasar.

Per akhir sesi dua, indeks sektor barang konsumsi melemah sebesar 0,6%, menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG.

Saham-saham konsumer yang banyak dilego pelaku pasar pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk/BTEK (-8,33%), PT Kino Indonesia Tbk/KINO (-7,14%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-4,37%), PT Kimia Farma Tbk/KAEF (-1,81%), dan PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,41%).

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular