Kembali Melejit di Menit Akhir, IHSG Menguat 3 Hari Beruntun

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 October 2019 16:54
Kembali Melejit di Menit Akhir, IHSG Menguat 3 Hari Beruntun
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (30/10/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,33% ke level 6.302,09. Per akhir sesi satu, IHSG menguat sebesar 0,25% ke level 6.296,95. Per akhir sesi dua, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat 0,23% ke level 6.295,75.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG pada hari ini di antaranya: PT Bayan Resources Tbk/BYAN (+19,56%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,72%), PT Maha Properti Indonesia Tbk/MPRO (+24,91%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+0,47%), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (+3,22%). 

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei jatuh 0,57%, indeks Shanghai turun 0,5%, indeks Hang Seng melemah 0,44%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,59%.

Prospek ditekennya kesepakatan dagang AS-China yang kini menjadi tak jelas menjadi faktor yang melandasi aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Melansir Reuters, seorang pejabat pemerintahan AS mengatakan bahwa ada kemungkinan kesepakatan dagang tahap satu antar kedua negara belum akan siap untuk diteken pada bulan depan.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan rasa optimistis kesepakatan dagang AS-China tahap satu akan bisa ditandatangani dalam gelaran KTT APEC di Chili pada 16-17 November mendatang.

"Saya rasa itu (draf kesepakatan dagang) akan ditandatangani dengan cukup mudah, semoga saja pada saat KTT di Chili, di mana Presiden Xi dan saya akan berada," kata Trump di Gedung Putih.

"Kami bekerja dengan China dengan sangat baik," sambungnya menambahkan.

Pemberitaan Reuters kemudian menyebut bahwa permintaan Trump agar China membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah besar menjadi faktor yang mengganjal dalam negosiasi dagang kedua negara, seperti dilansir dari CNBC International. Pemberitaan dari Reuters tersebut mengutip orang-orang yang mengetahui perkembangan negosiasi dagang AS-China.

Untuk diketahui, sebelumnya AS menyebut kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk membeli produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun. Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pertengahan bulan ini.

Reuters melaporkan bahwa hingga kini AS masih terus berupaya untuk memaksa China memasukkan komitmen terkait pembelian produk agrikultur dalam jumlah besar di kesepakatan dagang tahap satu, sementara Beijing menolak dengan keras hal itu. Importir asal China disebut hanya ingin membeli produk agrikultur asal AS berdasarkan kondisi pasar.

Maklum jika pelaku pasar kecewa dengan meredupnya prospek terkait kesepakatan dagang AS-China. Pasalnya, kesepakatan dagang AS-China bisa menjadi kunci bagi kedua negara untuk menghindari yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Belum lama ini, China mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.

Untuk diketahui, laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2% merupakan laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.

Beralih ke AS, belum lama ini Manufacturing PMI periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Kontraksi yang terjadi pada bulan September merupakan kontraksi terburuk yang dibukukan oleh sektor manufaktur AS dalam satu dekade terakhir.

Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh ISM di level 52,6, di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Melansir CNBC International, Non-Manufacturing PMI yang sebesar 52,6 tersebut merupakan level terendah yang pernah dicatatkan semenjak Agustus 2016 silam.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Optimistis The Fed Pangkas Bunga Acuan

Di sisi lain, sentimen positif bagi pasar saham tanah air datang dari optimisme bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada dini hari nanti waktu Indonesia (31/10/2019).

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 30 Oktober 2019, probabilitas The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada dini hari nanti berada di level 96,2%.

Di sepanjang tahun ini, The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli dan September. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 50 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Jika tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Memang, ruang bagi The Fed untuk kembali memangkas tingkat suku bunga acuan terbuka lebar. Untuk diketahui, The Fed memiliki dua mandat yang ditetapkan oleh Kongres AS, yakni kestabilan harga (inflasi) dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index

Data teranyar, Core PCE price index tercatat tumbuh sebesar 1,8% secara tahunan pada Agustus 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.

Kali terakhir Core PCE price index mencapai target The Fed adalah pada Desember 2018 silam kala pertumbuhannya adalah 2%, sama persis dengan target. Selepas itu, pertumbuhan Core PCE price index selalu berada di bawah angka 2%.

Sementara itu, jika kita berbicara mengenai pasar tenaga kerja, saat ini pasar tenaga kerja AS sedang berada dalam posisi yang sangat-sangat oke. Per September 2019, tingkat pengangguran di AS berada di level 3,5% yang merupakan level terendah dalam 50 tahun terakhir.

Dengan memperhatikan dua indikator yang menjadi mandat dari The Fed, jelas bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka, seiring dengan inflasi yang masih berada di bawah target.

Apalagi, seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, data-data ekonomi yang belakangan dirilis di AS sangatlah mengecewakan. Jika dibiarkan berlanjut, kombinasi lemahnya aktivitas manufaktur dan jasa akan menekan perekonomian AS secara keseluruhan.

Ketika ini yang terjadi, inflasi akan semakin sulit dipacu ke level 2%, sementara tingkat pengangguran akan bergerak ke atas, yang berarti mandat dari The Fed menjadi semakin jauh dari dicapai.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Aura Profit Taking Masih Terasa

Walau IHSG kembali ditutup menguat, pelaku pasar saham tanah air wajib berhati-hati dalam menghadapi perdagangan esok hari. Pasalnya, aura profit taking di pasar saham tanah air masih saja kental terasa.

Pada perdagangan terakhir di pekan kemarin, Jumat (25/10/2019), IHSG ambruk hingga 1,38%. Pada perdagangan hari Senin (28/10/2019), IHSG memang ditutup menguat sebesar 0,21%. Namun, IHSG menghabiskan mayoritas sesi dua perdagangan hari Senin di zona merah, sebelum kemudian merangsek ke zona hijau pada menit-menit akhir perdagangan. Hal serupa kembali kita dapati pada perdagangan kemarin (29/10/2019) dan hari ini.

Wajar jika hasrat pelaku pasar untuk merealisasikan keuntungan di pasar saham begitu terasa dalam beberapa hari terakhir. Pasalnya, IHSG sudah membukukan apresiasi yang signifikan.

Pada bulan ini, IHSG sempat tercatat menguat hingga 10 hari beruntun yakni pada periode 11-24 Oktober. Dalam periode tersebut, IHSG menguat 5,25%.

Dalam periode tersebut, IHSG menguat seiring dengan optimisme terkait dengan pelantikan presiden dan pengumuman nama-nama menteri yang akan mendampingi presiden.

Pada hari Minggu (20/10/2019), Joko Widodo (Jokowi) resmi dilantik dan menjalani periode duanya sebagai presiden, ditemani wakilnya yang baru yakni Ma’ruf Amin. Pada hari Rabu (23/10/2019), Jokowi secara resmi memperkenalkan deretan menteri yang akan menghiasi kabinet barunya. Kabinet di periode dua pemerintahan Jokowi diberi nama Kabinet Indonesia Maju.

Di kabinet periode dua Jokowi, terdapat beberapa nama profesional seperti Pendiri Gojek Nadiem Makarin, CEO NET Wishnutama, serta Pendiri Mahaka Group Erick Thohir. Nadiem didapuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, dan Wishnutama sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Di sisi lain, nama-nama lama yang memiliki rekam jejak oke di periode satu pemerintahan Jokowi masih dipertahankan, Sri Mulyani misalnya. Sri Mulyani akan kembali menjabat sebagai menteri keuangan di periode dua Jokowi.

Selain Sri Mulyani, Basuki Hadimuljono selaku menteri PUPR di periode satu Jokowi juga kembali dipercaya untuk memegang posisi yang sama di periode dua.

Lebih lanjut, sentimen positif bagi IHSG dalam periode tersebut datang dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).

Pada hari Rabu (23/10/2019), RDG BI untuk periode Oktober 2019 dimulai dan berakhir pada hari Kamis (24/10/2019), diikuti oleh pengumuman tingkat suku bunga acuan.

Dalam konferensi pers yang digelar pasca RDG selesai digelar, BI kembali memutuskan untuk menyuntikkan stimulus bagi perekonomian Indonesia dengan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Oktober memutuskan untuk menurunkan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (24/10/2019).

"Kebijakan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil instrumen keuangan domestik yang tetap menarik, serta langkah pre-emptive lanjutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat," tambah Perry.

Untuk diketahui, pemangkasan tingkat suku bunga pada pekan lalu menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan selama empat bulan beruntun.Jika ditotal, tingkat suku bunga acuan sudah dipangkas sebesar 100 bps dalam empat bulan terakhir.

Aura profit taking yang masih saja terasa pada hari ini memberi sinyal bahwa besok pasar saham tanah air bisa diterpa tekanan jual.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/hps) Next Article Kinerja IHSG Terburuk Kedua di Bursa Asia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular