
Profit Taking Sampai The Fed Jungkalkan Rupiah ke Zona Merah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 October 2019 08:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Namun depresiasi bukan hanya dialami oleh rupiah, melainkan hampir seluruh mata uang Asia.
Pada Rabu (30/10/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.035 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sejak awal pekan, rupiah seakan bergerak malu-malu di hadapan dolar AS. Pergerakan rupiah tipis-tipis saja, bahkan kemarin berakhir stagnan.
Namun hari ini sepertinya rupiah sudah tidak mampu membendung keperkasaan dolar AS. Bukan apa-apa, dalam sebulan terakhir rupiah sudah menguat 1,2%. Cuan dari penguatan yang sudah lumayan tajam itu tentu sangat menarik untuk dicairkan.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang Asia pun tidak berdaya di hadapan greenback. Sejauh ini hanya yen Jepang, yuan China, dan baht Thailand yang masih mampu menguat, itu pun relatif terbatas.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Setelah kemarin mata uang Asia menguat karena terbuai aura damai dagang AS-China, kini situasi berubah. Ternyata kesepakatan damai dagang AS-China fase I belum siap untuk ditandatangani pertengahan bulan depan di KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Chile.
Seorang pejabat pemerintahan AS mengungkapkan, masih ada beberapa hal yang belum siap 100%. Namun bukan berarti AS-China batal menyepakati perjanjian tersebut.
"Kalau tidak ditandatangani di Chile bukan berarti batal ya. Hanya saja memang belum siap. Tujuan kami memang menyepakati (perjanjian damai dagang fase I) di Chile, tetapi bisa saja teksnya belum siap. Namun kemajuan yang terjadi sudah sangat baik," kata pejabat tersebut, seperti diberitakan Reuters.
Kemarin, Presiden AS Donald Trump begitu menggebu-gebu dan pede menyebutkan kesepakatan damai dagang fase I bisa selesai lebih cepat dari perkiraan. Akan tetapi ternyata optimisme tersebut sepertinya tidak punya landasan yang kuat.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar mundur teratur dari aset-aset berisiko di negara berkembang Asia. Lebih baik bermain aman dulu sampai ada kabar lebih lanjut.
Selain itu, investor juga masih dalam mode penantian akan rapat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang hasilnya akan diumumkan pada 31 Oktober dini hari waktu Indonesia. Pasar masih memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%.
Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan ke arah sana sangat tinggi yaitu 98,3%. Naik dibandingkan posisi kemarin yaitu 95,1%.
Akan tetapi, beberapa rilis data terbaru di Negeri Paman Sam membuat pelaku pasar masih bimbang. Pasalnya, data-data tersebut bernada positif.
Pertama, penjualan ritel yang dicerminkan dalam Redbook mencatat kenaikan 4,3% year-on-year (YoY) pada pekan yang berakhir 26 Oktober. Lebih baik ketimbang pertumbuhan pekan sebelumnya yaitu 4,3%.
Kedua, indeks harga perumahan AS pada Agustus naik 2% YoY. Sementara penjualan rumah bukan baru pada September naik 3,9% YoY, laju pertumbuhan terbaik sejak Desember 2015.
Data-data ini mengisyaratkan perekonomian AS masih menggeliat, dan kemungkinan besar resesi tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kalau situasinya seperti ini, apakah stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan masih dibutuhkan?
Kebimbangan soal hubungan AS-China dan suku bunga acuan The Fed membuat pasar lebih suka bermain aman untuk sementara waktu. Instrumen yang menjadi pilihan adalah yen atau emas.
Pada pukul 08:28 WIB, harga emas di pasar spot berada di US$ 1.491,58/troy ons, naik 0,11%. Peningkatan permintaan membuat harga sang logam mulia bergerak ke utara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (30/10/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.035 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sejak awal pekan, rupiah seakan bergerak malu-malu di hadapan dolar AS. Pergerakan rupiah tipis-tipis saja, bahkan kemarin berakhir stagnan.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang Asia pun tidak berdaya di hadapan greenback. Sejauh ini hanya yen Jepang, yuan China, dan baht Thailand yang masih mampu menguat, itu pun relatif terbatas.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Setelah kemarin mata uang Asia menguat karena terbuai aura damai dagang AS-China, kini situasi berubah. Ternyata kesepakatan damai dagang AS-China fase I belum siap untuk ditandatangani pertengahan bulan depan di KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Chile.
Seorang pejabat pemerintahan AS mengungkapkan, masih ada beberapa hal yang belum siap 100%. Namun bukan berarti AS-China batal menyepakati perjanjian tersebut.
"Kalau tidak ditandatangani di Chile bukan berarti batal ya. Hanya saja memang belum siap. Tujuan kami memang menyepakati (perjanjian damai dagang fase I) di Chile, tetapi bisa saja teksnya belum siap. Namun kemajuan yang terjadi sudah sangat baik," kata pejabat tersebut, seperti diberitakan Reuters.
Kemarin, Presiden AS Donald Trump begitu menggebu-gebu dan pede menyebutkan kesepakatan damai dagang fase I bisa selesai lebih cepat dari perkiraan. Akan tetapi ternyata optimisme tersebut sepertinya tidak punya landasan yang kuat.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar mundur teratur dari aset-aset berisiko di negara berkembang Asia. Lebih baik bermain aman dulu sampai ada kabar lebih lanjut.
Selain itu, investor juga masih dalam mode penantian akan rapat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang hasilnya akan diumumkan pada 31 Oktober dini hari waktu Indonesia. Pasar masih memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%.
Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan ke arah sana sangat tinggi yaitu 98,3%. Naik dibandingkan posisi kemarin yaitu 95,1%.
Akan tetapi, beberapa rilis data terbaru di Negeri Paman Sam membuat pelaku pasar masih bimbang. Pasalnya, data-data tersebut bernada positif.
Pertama, penjualan ritel yang dicerminkan dalam Redbook mencatat kenaikan 4,3% year-on-year (YoY) pada pekan yang berakhir 26 Oktober. Lebih baik ketimbang pertumbuhan pekan sebelumnya yaitu 4,3%.
Kedua, indeks harga perumahan AS pada Agustus naik 2% YoY. Sementara penjualan rumah bukan baru pada September naik 3,9% YoY, laju pertumbuhan terbaik sejak Desember 2015.
Data-data ini mengisyaratkan perekonomian AS masih menggeliat, dan kemungkinan besar resesi tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kalau situasinya seperti ini, apakah stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan masih dibutuhkan?
Kebimbangan soal hubungan AS-China dan suku bunga acuan The Fed membuat pasar lebih suka bermain aman untuk sementara waktu. Instrumen yang menjadi pilihan adalah yen atau emas.
Pada pukul 08:28 WIB, harga emas di pasar spot berada di US$ 1.491,58/troy ons, naik 0,11%. Peningkatan permintaan membuat harga sang logam mulia bergerak ke utara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular