
Rupiah Tak Tentu Arah

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot hari ini. Sepertinya gerak rupiah akan terbatas, seperti halnya kemarin.
Pada Selasa (29/10/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.020 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi tipis 0,07%. Sepanjang hari, gerak rupiah sangat terbatas dan dolar AS gagal didorong ke bawah Rp 14.000.
Sepertinya hari ini situasi yang sama bakal terulang lagi. Pasalnya, rupiah dan mata uang Asia lainnya terjebak sentimen eksternal yang berseliweran dengan liar.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Presiden AS Donald Trump mengungkapkan kesepakatan damai dagang fase I bisa selesai lebih cepat dari perkiraan. Awalnya, kesepakatan tersebut direncanakan rampung pada pertengahan November, bersamaan dengan KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Chile.
"Kami melihat ada kemungkinan (kesepakatan damai dagang fase I) lebih cepat dari jadwal. Akan ada sebuah kesepakatan yang sangat besar, tetapi kami menyebutnya fase I," ungkap Trump kepada wartawa sebelum kunjungan kerja ke Chicago, seperti diberitakan Reuters.
Menurut Trump, kesepakatan fase I tersebut akan sangat menguntungkan para petani AS. Tidak hanya itu, kebutuhan perbankan juga diperhatikan. "Saya bisa katakan kesepakatan ini akan sedikit lebih cepat dari jadwal, atau malah jauh lebih cepat," ujarnya.
Damai dagang AS-China memang sangat didamba. Bukan apa-apa, sudah terbukti perekonomian dunia melambat (bahkan terancam resesi) gara-gara perang dagang AS-China yang merusak rantai pasok global.
Ketika AS-China tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan investasi akan bersemi kembali. Pertumbuhan ekonomi dunia pun bakal lebih baik.
Sentimen kedua adalah seputat perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Uni Eropa sepakat untuk memundurkan waktu pelaksanaan Brexit dari 31 Oktober menjadi 31 Januari 2020.
Perdana Menteri Inggris Boris Johson, yang dikenal ngotot memperjuangkan Brexit terjadi pada 31 Oktober, kemudian mencoba langkah percepatan Pemilu. Sedianya Pemilu di Negeri John Bull baru dilaksanakan pada 2022.
Namun upaya Johnson mempercepat Pemilu kandas di parlemen. Pemilu yang dipercepat hanya mendapatkan 299 suara, padahal semestinya minimal 424 suara (dua per tiga).
Dalam suratnya kepada Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk, Johnson menyampaikan dirinya mau tidak mau harus menerima extra time pelaksanaan Brexit. Namun Johson menegaskan 31 Januari 2020 adalah tenggat waktu terakhir, tidak bisa diperpanjang lagi.
"Keanggotaan Inggris di Uni Eropa yang tidak dikehendaki ini mencederai demokrasi. Saya ingin menegaskan bahwa perpanjangan waktu setelah 31 Januari tidak dimungkinkan. Kita semua masih punya banyak waktu untuk menyusun kesepakatan," tulis Johnson.
Meski Johnson menerima dengan setengah hati, tetapi pasar justru sebaliknya. Pengunduran pelaksanaan Brexit membuat risiko perceraian Inggris tanpa kesekapatan apa-apa (No Deal Brexit) menjadi lebih kecil. Brussels dan London punya waktu untuk membuat kesepakatan, sehingga No Deal Brexit bisa dihindari.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Akan tetapi, ada faktor lain yang membuat investor cenderung wait and see yaitu penantian terhadap rapat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan menggelar rapat dan mengumumkan suku bunga acuan pada 30 Oktober waktu setempat.
Mengutip CME Fedwatch, peluang penurunan Federal Funds Rate memang sangat tinggi. Kans penurunan 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% mencapai 94,1%.
Akan tetapi, itu masih di atas kertas. Pada kenyataannya, bisa saja The Fed memutuskan untuk tidak menurunkan suku bunga.
The Fed melihat risiko terbesar bagi perekonomian AS datang dari perang dagang dengan China. Charles Evans, Presiden The Fed Chicago, menilai perang dagang AS-China menimbulkan ketidakpastian besar di kalangan dunia usaha.
"Korporasi tentunya grogi melihat kondisi rantai pasok global saat ini. Mereka tentu kebingungan, di mana harus menempatkan dana miliaran dolar. Tidak ada kejelasan," tegasnya dalam wawancara dengan CNBC International.
Namun saat ini ada harapan AS-China bisa mencapai damai dagang. Ketika harapan ke arah sana semakin tebal, apalagi dengan pernyataan Trump yang menggebu-gebu, maka satu risiko besar bakal hilang. Belum lagi risiko No Deal Brexit yang mengecil.
Oleh karena itu, kebutuhan untuk memberikan stimulus moneter berupa penurunan suku bunga menjadi kurang relevan. Dengan terciptanya damai dagang, maka perlambatan ekonomi AS akan sirna.
Situasi yang masih membingungkan ini membuat investor memilih wait and see. Belum berani bermain agresif sebelum The Fed memberikan pengumuman.
Akibatnya, dolar AS mendapat sedikit momentum. Pada pukul 08:28 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. Ini yang membuat rupiah ikut-ikutan galau, menguat tidak melemah juga tidak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
