Ditinggal Draghi "Sang Penyelamat", Kurs Euro Loyo

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 October 2019 20:11
Institusi Ifo melaporkan indeks keyakinan para pebisnis sebesar 94,6 di bulan ini, sama dengan bulan sebelumnya.
Foto: euro (REUTERS/Heinz-Peter Bader)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs euro melawan dolar Amerika Serikat (AS) masih loyo pada perdagangan Jumat (25/10/19) setelah Kamis kemarin melemah 0,22% Kamis kemarin.

Pada pukul 19:35 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1103, melemah tipis 0,01% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya mata uang 19 negara ini sempat menguat 0,16% ke US$ 1,1122 merespon data yang menunjukkan stabilnya tingkat keyakinan bisnis di Jerman.

Institusi Ifo melaporkan indeks keyakinan para pebisnis sebesar 94,6 di bulan ini, sama dengan bulan sebelumnya. Data tersebut menjadi kabar bagus mengingat kondisi ekonomi Negeri Panser yang sedang melambat, bahkan terancam resesi.

Namun, penguatan sampai di sana saja, selepas itu euro terus menipiskan penguatan. European Central Bank (ECB) yang akan mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantiative easing (QE) mulai 1 November menjadi penekan euro.

Program ini sejatinya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu, tetapi kondisi ekonomi zona euro yang memburuk membuat ECB harus kembali mengaktifkan QE.



Keputusan melalukan QE lagi sudah diambil pada bulan September lalu, dan pada rapat kebijakan moneter yang berakhir Kamis kemarin tidak ada perubahan baik dari segi kebijakan maupun panduan ke depannya.

Kamis kemarin, ECB memutuskan mempertahankan suku bunga deposito (deposit facility) sebesar -0,5%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga tetap sebesar 0,25%.

QE yang dimulai 1 November Senilai 20 miliar euro per bulan dan tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.

Rapat kebijakan moneter hari ini sekaligus menjadi yang terakhir bagi sang Presiden, Mario Draghi. Pria asal Italia ini mengakhiri masa jabatannya selama delapan tahun, dan akan digantikan oleh mantan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Christine Lagarde, pada 1 November nanti.

Draghi menjadi Presiden ECB saat Eropa mengalami krisis utang pada tahun 2011. Pada tahun 2012, pasar obligasi mengalami kepanikan akibat kemungkinan default yang pada akhirnya membuat zona euro pecah. Akibatnya para investor menjadi khawatir akan untuk membeli obligasi negara-negara Eropa.

Melansir CNBC International, Draghi yang belum satu tahun menjabat Presiden ECB mengatakan "dengan mandat kami, ECB siap melakukan apapun untuk menjaga euro. Dan percayalah, itu akan cukup."

Analis TS Lombard, Constantine Fraser, melalui email kepada CNBC International mengatakan komitmen Draghi untuk "melakukan apapun" menjadi titik balik, meski ia tidak memiliki opsi kebijakan moneter yang cukup untuk mendukung perkataanya. Menurut dia, jika Draghi tidak piawai berpolitik, maka Uni Eropa saat ini mungkin bakal berbeda situasinya.

"Sulit untuk tak mengakui pentingnya masa jabatan Draghi selama ini, bahkan ketika anda skeptis terhadap kemampuannya dalam membentuk peristiwa sejarah. Dia tidak hanya memainkan peran paling penting - yang pada dasarnya - menyelamatkan zona euro. Sejak musim gugur 2011, Draghi secara de facto menulis ulang mandat ECB," tutup Fraser.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap) Next Article Jadi Korban Keganasan Dolar AS, Euro Anjlok 2% Lebih

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular