Pasar Restui Mahfud MD Sampai Nadiem Makarim Jadi Menteri?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 October 2019 10:37
Damai Dagang AS-China di Depan Mata?
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Setidaknya ada dua faktor yang membuat mata uang Asia berhasil menguat. Pertama adalah perkembangan hubungan AS-China. Selepas perundingan dagang di Washington beberapa waktu lalu, relasi kedua negara semakin erat.

Akhir pekan lalu, Wakil Perdana Menteri China Liu He menyatakan Beijing akan bekerja sama dengan Washington untuk menyelesaikan segala perbedaan berdasarkan asas kesetaraan dan penghormatan. Sebab mengakhiri perang dagang adalah kepentingan AS, China, dan seluruh dunia.

"Kedua pihak telah membuat kemajuan yang substansial, sudah ada dasar untuk menyepakati kesepakatan tahap demi rahap. Menghentikan eskalasi perang dagang akan membawa keuntungan bagi China, AS, dan seluruh dunia. Ini adalah yang diharapkan oleh produsen dan konsumen," kata Li, seperti diberitakan Reuters.

Li menegaskan bahwa ekonomi China memang melambat. Pada kuartal III-2019, ekonomi Negeri Tirai Bambu tumbuh 6% year-on-year (YoY), laju terlemah sejak 1992. Namun dia menyatakan tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan.

"Kami tidak khawatir dengan volatilitas ekonomi jangka pendek. Kami yakin bahwa target-target ekonomi akan bisa tercapai," tuturnya.

Aura damai dagang AS-China merekah kembali. Ada harapan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tersebut tidak lagi saling hambat. Dampaknya tentu akan membuat arus perdagangan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi dunia menggeliat.

Sentimen kedua adalah perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson memang telah mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa. Namun, proposal pemerintah ditolak dalam voting di parlemen dengan skor 322:306.

Parlemen menegaskan Johnson harus kembali ke Brussel dan meminta penundaan Brexit sampai Januari 2020. Johnson menegaskan opsi ini sangat sulit, dan eks menteri luar negeri di pemerintahan Theresa May itu tetap ngotot ingin Brexit dieksekusi pada 31 Oktober.


"Saya tidak akan bernegosiasi untuk menunda Brexit. Penundaan lebih lanjut akan berdampak buruk bagi negara ini, Uni Eropa, dan demokrasi. Sangat mungkin kolega-kolega kita di Uni Eropa akan menolak permintaan parlemen untuk menunda Brexit," tegas Johson seperti dikutip dari Reuters.

Akan tetapi, sepertinya Johnson tidak punya pilihan lain. Seorang sumber di Uni Eropa mengungkapkan Johson sudah menghubungi Donald Tusk, Presiden Dewan Uni Eropa, soal permintaan penundaan Brexit.

"Tusk akan mulai berkonsultasi dengan para pimpinan Uni Eropa. Proses ini akan memakan waktu beberapa hari," ungkap sang sumber, seperti diwartakan Reuters.

Namun, sejumlah kalangan masih optimistis bahwa Brexit akan berjalan dengan mulus. Analis Deutsche Bank dalam studi terakhirnya mengatakan bahwa resolusi Brexit masih berjalan konstruktif. Sementara itu, Goldman Sachs juga menurunkan probabilitas alias kemungkinan terjadinya No-Deal Brexit menjadi5% dari sebelumnya 10%, dilansir dari Reuters.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular