Ada Perang Dagang & Resesi, IHSG Hari Ini Bertahan Hijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 October 2019 16:35
Ada Perang Dagang & Resesi, IHSG Hari Ini Bertahan Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (8/10/2019), dengan apresiasi sebesar 0,35% ke level 6.021,69, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak pernah sekalipun mencicipi pahitnya zona merah.

Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat 0,37% ke level 6.022,57. Per akhir sesi dua, IHSG sudah memperlebar penguatannya menjadi 0,65% ke level 6.039,6.

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,99%, indeks Shanghai menguat 0,29%, indeks Hang Seng terkerek 0,28%, indeks Straits Times terapresiasi 0,34%, dan indeks Kospi bertambah 1,21%.

Sejatinya, sentimen yang mewarnai perdagangan hari ini terbilang tak mendukung untuk melakukan aksi beli, seiring dengan potensi eskalasi perang dagang AS-China yang sudah di depan mata. Untuk diketahui, pada hari Kamis (10/10/2019) AS dan China dijadwalkan untuk mulai menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington.

Namun, ada hawa yang tak mengenakan menjelang negosiasi dagang tingkat tinggi yang begitu dinanti-nantikan tersebut. Pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa pejabat pemerintahan China telah memberi sinyal bahwa Beijing enggan untuk menyetujui kesepakatan dagang secara menyeluruh seperti yang diinginkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Dalam pertemuan dengan perwakilan dari AS dalam beberapa minggu terakhir di Beijing, pejabat senior dari China telah mengindikasikan bahwa kini, materi-materi yang bersedia didiskusikan oleh pihak China dalam negosiasi dagang tingkat tinggi telah menyempit, seperti dilansir oleh Bloomberg dari orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

Lebih lanjut, pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He telah menginformasikan kepada pihak AS bahwa dirinya akan membawa proposal kesepakatan dagang ke Washington yang tak memasukkan komitmen untuk merubah praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China.

Padahal, praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China oleh pemerintah merupakan salah satu hal yang sangat ingin diubah oleh AS. Kalau diingat, bahkan hal ini merupakan salah satu faktor yang melandasi meletusnya perang dagang antar kedua negara.

Dengan sikap China yang kembali keras, tentu potensi eskalasi perang dagang AS-China menjadi risiko yang tak bisa dianggap sepele.

Perkembangan terbaru, AS memasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China dalam daftar hitam, membuat kedelapan perusahaan tersebut tak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus, seperti dilansir dari Bloomberg.

AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum muslin di Xinjiang, China.

Keputusan ini menandai kali pertama AS menggunakan alasan hak asasi manusia guna menekan China. Sebelumnya, Huawei selaku raksasa telekomunikasi asal China juga dimasukkan dalam daftar hitam oleh AS, namun dengan alasan keamanan nasional.

Dikhawatirkan, eskalasi perang dagang AS-China akan membawa kedua negara mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Optimistis The Fed Pangkas Suku Bunga Acuan Lagi

Optimisme bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini menjadi faktor yang melandasi aksi beli di bursa saham Asia.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 8 Oktober 2019, probabilitas The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan ini berada di level 72,2%. Seminggu yang lalu, probabilitasnya masih berada di level 62,2%.

Rilis data ekonomi AS yang mengecewakan memantik optimisme pelaku pasar bahwa bank sentral AS akan mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Belum lama ini, Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh ISM di level 52,6, juga di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

Untuk diketahui, di sepanjang tahun 2019 The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli dan September. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 50 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral. 

Namun, hingga kini belum ada sinyal yang jelas bahwa The Fed akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan. Dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, Powell memang menyebut bahwa pihaknya akan melakukan hal yang diperlukan guna mempertahankan ekspansi ekonomi.

Namun kemudian, Powell mengatakan bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan September sebagai “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment” dan bukan merupakan strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.

Pernyataan tersebut lantas menegaskan komentar Powell di bulan Juli bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

“Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif,” kata Powell pada bulan Juli silam, dilansir dari CNBC International.

“Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat.”

Kini, rentetan data ekonomi yang mengecewakan membuat pelaku pasar kian yakin bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut akan dieksekusi The Fed pada akhir bulan ini.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Tujuh Hari Babak Belur, Saham Konsumer Kini Dilirik Lagi

Aksi beli atas saham-saham konsumer menjadi motor penguatan IHSG pada hari ini.

Untuk diketahui, dalam tujuh hari perdagangan sebelumnya indeks sektor barang konsumsi selalu menutup hari di zona merah. Jika ditotal, koreksi dalam tujuh hari tersebut adalah sebesar 4,54%. Pada perdagangan hari ini, indeks sektor barang konsumsi melejit sebesar 1,35%.

Saham-saham konsumer yang diincar pelaku pasar pada hari ini diantaranya: PT Kalbe Farma Tbk/KLBF ( 1,84%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR ( 1,65%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF ( 0,97%), dan PT Gudang Garam Tbk/GGRM ( 0,76%).

Dalam beberapa hari terakhir, saham-saham konsumer terus dilego pelaku pasar seiring dengan anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di posisi yang lemah.

Pada pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi periode September 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,39%. Deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja secara bulanan.

Sebelumnya pada periode Agustus, BPS mencatat terjadi inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,49%. Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.

Untuk diketahui, tanda-tanda lemahnya daya beli masyarakat juga sudah ditunjukkan oleh indikator lain. Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.

Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.

Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.

Teranyar, BI merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Agustus 2019 di level 123,1, turun jika dibandingkan capaian bulan Juli di level 124,8. Angka IKK pada bulan Agustus menjadi yang paling rendah sejak November 2018.

Seiring dengan koreksi yang sudah begitu dalam dicatatkan oleh saham-saham konsumer, valuasinya menjadi relatif menarik di mata investor sehingga aksi beli gencar mereka lakukan pada hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/ank) Next Article Tutup Akhir Pekan di Zona Merah, Pergerakan IHSG Flat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular