Walau Perang Dagang Memanas, IHSG Hari Ini Kokoh Tetap Hijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 October 2019 12:30
Walau Perang Dagang Memanas, IHSG Hari Ini Kokoh Tetap Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (8/10/2019), dengan apresiasi sebesar 0,35% ke level 6.021,69, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum pernah sekalipun mencicipi pahitnya zona merah. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat 0,37% ke level 6.022,57.

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei naik 1,01%, indeks Shanghai menguat 0,84%, indeks Hang Seng terkerek 0,67%, indeks Straits Times terapresiasi 0,58%, dan indeks Kospi bertambah 0,74%. 

Sejatinya, sentimen yang mewarnai perdagangan hari ini terbilang tak mendukung untuk melakukan aksi beli, seiring dengan potensi eskalasi perang dagang AS-China yang sudah di depan mata. Untuk diketahui, pada hari Kamis (10/10/2019) AS dan China dijadwalkan untuk mulai menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington.

Namun, ada hawa yang tak mengenakan menjelang negosiasi dagang tingkat tinggi yang begitu dinanti-nantikan tersebut. Pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa pejabat pemerintahan China telah memberi sinyal bahwa Beijing enggan untuk menyetujui kesepakatan dagang secara menyeluruh seperti yang diinginkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Dalam pertemuan dengan perwakilan dari AS dalam beberapa minggu terakhir di Beijing, pejabat senior dari China telah mengindikasikan bahwa kini, materi-materi yang bersedia didiskusikan oleh pihak China dalam negosiasi dagang tingkat tinggi telah menyempit, seperti dilansir oleh Bloomberg dari orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

Lebih lanjut, pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He telah menginformasikan kepada pihak AS bahwa dirinya akan membawa proposal kesepakatan dagang ke Washington yang tak memasukkan komitmen untuk merubah praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China.

Padahal, praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China oleh pemerintah merupakan salah satu hal yang sangat ingin diubah oleh AS. Kalau diingat, bahkan hal ini merupakan salah satu faktor yang melandasi meletusnya perang dagang antar kedua negara.

Dengan sikap China yang kembali keras, tentu potensi eskalasi perang dagang AS-China menjadi risiko yang tak bisa dianggap sepele.

Perkembangan terbaru, AS memasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China dalam daftar hitam, membuat kedelapan perusahaan tersebut tak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus, seperti dilansir dari Bloomberg. 

AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum muslin di Xinjiang, China.

Keputusan ini menandai kali pertama AS menggunakan alasan hak asasi manusia guna menekan China. Sebelumnya, Huawei selaku raksasa telekomunikasi asal China juga dimasukkan dalam daftar hitam oleh AS, namun dengan alasan keamanan nasional.

Optimisme bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini tampak menjadi faktor yang melandasi aksi beli di bursa saham Asia.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 7 Oktober 2019, probabilitas The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan ini berada di level 71,1%. Seminggu yang lalu, probabilitasnya masih berada di level 39,6%.

Rilis data ekonomi AS yang mengecewakan memantik optimisme pelaku pasar bahwa bank sentral AS akan mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Belum lama ini, Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh ISM di level 52,6, juga di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Tujuh Hari Babak Belur, Saham Konsumer Kini Dilirik Lagi

Aksi beli atas saham-saham konsumer menjadi motor penguatan IHSG pada hari ini.

Untuk diketahui, dalam tujuh hari perdagangan sebelumnya indeks sektor barang konsumsi selalu menutup hari di zona merah. Jika ditotal, koreksi dalam tujuh hari tersebut adalah sebesar 4,54%. Per akhir sesi satu perdagangan hari ini, indeks sektor barang konsumsi menguat sebesar 0,91%.

Saham-saham konsumer yang diincar pelaku pasar pada hari ini diantaranya: PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF ( 1,95%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF ( 1,53%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR ( 0,97%), dan PT Gudang Garam Tbk/GGRM ( 0,51%). 

Dalam beberapa hari terakhir, saham-saham konsumer terus dilego pelaku pasar seiring dengan anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di posisi yang lemah.

Pada pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi periode September 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,39%. Deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja secara bulanan.

Sebelumnya pada periode Agustus, BPS mencatat terjadi inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,49%. Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.

Untuk diketahui, tanda-tanda lemahnya daya beli masyarakat juga sudah ditunjukkan oleh indikator lain. Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.

Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.

Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.

Teranyar, BI merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Agustus 2019 di level 123,1, turun jika dibandingkan capaian bulan Juli di level 124,8. Angka IKK pada bulan Agustus menjadi yang paling rendah sejak November 2018.

Seiring dengan koreksi yang sudah begitu dalam dicatatkan oleh saham-saham konsumer, valuasinya menjadi relatif menarik di mata investor sehingga aksi beli gencar mereka lakukan pada hari ini.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Rupiah Sudah Tak Lagi Terkapar

Lebih lanjut, rupiah yang sudah tak lagi terkapar ikut menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham tanah air. Hingga siang hari, rupiah menguat 0,04% di pasar spot ke level Rp 14.150/dolar AS. Pada perdagangan kemarin, rupiah melemah 0,18%.

Sentimen negatif bagi rupiah kemarin datang dari rilis angka cadangan devisa oleh Bank Indonesia (BI). Per September 2019, BI mencatat cadangan devisa Indonesia berada di level US$ 124,3 miliar, turun US$ 2,1 miliar jika dibandingkan posisi per akhir Agustus yang senilai US$ 126,4 miliar.

BI menyebut bahwa penurunan cadangan devisa pada bulan lalu utamanya dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di bank sentral.

Dengan cadangan devisa yang menipis, praktis amunisi dari bank sentral untuk melakukan intervensi kala rupiah mendapatkan tekanan jual yang besar menjadi ikut menipis. Simpelnya, rupiah akan menjadi lebih rentan untuk digoyang.

Rupiah yang kini sudah tak lagi diterpa tekanan jual memberikan kepercayaan diri bagi pelaku pasar untuk memburu saham-saham di tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/hps) Next Article Berhari-hari Babak Belur, Hari Ini IHSG Mencoba Bangkit

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular