Cadev Anjlok US$ 2,1 Miliar, IHSG Terjebak di Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 October 2019 12:37
Cadev Anjlok US$ 2,1 Miliar, IHSG Terjebak di Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan pertama di pekan ini, Senin (7/10/2019), dengan apresiasi sebesar 0,27%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat bertahan di zona hijau sekitar 1,5 jam. Namun kemudian, IHSG merosot ke zona merah dan tak bisa bangkit lagi. Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,5% ke level 6.031,01.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru sedang ditransaksikan di zona hijau: indeks Straits Times menguat 0,66%, indeks Kospi naik 0,18%, sementara indeks Nikkei terkontraksi 0,21%.

Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China, sementara perdagangan di bursa saham Hong Kong diliburkan seiring dengan perayaan Chung Yeung Festival.

Rilis data tenaga kerja AS yang kinclong sukses memantik aksi beli di bursa saham Asia. Pada hari Jumat (4/10/2019), data penciptaan lapangan kerja (di luar sektor pertanian) periode September 2019 versi resmi pemerintah diumumkan sebanyak 136.000, di bawah ekspektasi yang sebanyak 145.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Namun, tingkat pengangguran untuk periode yang sama tercatat turun ke level 3,5%, dari yang sebelumnya 3,7% pada bulan Agustus. Tingkat pengangguran di level 3,5% tersebut merupakan yang terendah dalam 50 tahun terakhir.

Kuatnya pasar tenaga kerja di AS lantas memudarkan kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi. Merespons rilis data tenaga kerja AS yang oke tersebut, bursa saham AS menguat signfiikan pada hari Jumat kemarin: indeks Dow Jones dan S&P 500 melejit masing-masing sebesar 1,42%, sementara indeks Nasdaq Composite terangkat 1,4%.

Sebelumnya, rilis data ekonomi di AS menunjukkan adanya tekanan yang signifikan yang menghinggapi negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut.

Pada pekan lalu, Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory. Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh ISM di level 52,6, juga di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi juga dipicu oleh memanasnya hubungan AS dengan Uni Eropa di bidang perdagangan. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.

Pada pekan lalu, Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk. Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.

Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif. WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar.

Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.

Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Semenanjung Korea Memanas
Di sisi lain, sentimen negatif bagi pasar saham Asia datang dari ketegangan di Semenanjung Korea. Negosiasi antara negosiator tingkat tinggi Korea Utara dan AS yang dilakukan di Swedia pada hari Sabtu (5/10/2019) berakhir dengan buruk dan membuat prospek perdamaian antar kedua negara menjadi memudar.

Padahal, sebelumnya ada optimisme bahwa negosiasi ini akan membuka jalan untuk mengakhiri perselisihan kedua negara. Untuk diketahui, AS telah lama mendesak Korea Utara untuk melakukan denukrilisasi, sementara Korea Utara meminta penghentian embargo di bidang ekonomi.

Kepala Negosiator Nuklir Korut, Kim Myong Gil, menghabiskan sebagian besar hari Sabtu dalam pembicaraan dengan delegasi Amerika. Namun, dirinya menyalahkan sikap AS yang dinilai cenderung tidak fleksibel dan tak mau melepaskan sudut pandang lama mereka.

"Negosiasi belum memenuhi harapan kami dan akhirnya putus," kata Kim kepada wartawan di luar kedutaan Korea Utara, berbicara melalui seorang penerjemah, dikutip dari CNBC International.

AS pun berkilah. Departemen Luar Negeri AS justru mengatakan bahwa komentar Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) itu tidak mencerminkan "isi atau semangat" dari pembicaraan yang berlangsung setidaknya delapan setengah jam tersebut, dan Washington telah menerima undangan Swedia untuk kembali ke negara tersebut untuk melanjutkan diskusi lebih lanjut dengan Pyongyang dalam 2 minggu ke depan.

"AS membawa ide-ide kreatif dan berdiskusi dengan rekan-rekan dari DPRK," kata juru bicara pemerintah AS Morgan Ortagus dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNBC International.

Ortagus mengatakan delegasi AS telah meninjau sejumlah inisiatif baru yang akan membuka jalan bagi kemajuan dalam pembicaraan kedua negara, serta menggarisbawahi pentingnya keterlibatan yang lebih intensif untuk menyelesaikan banyak masalah antara Korut dan AS.

"AS dan DPRK tidak akan mengatasi warisan perang dan permusuhan 70 tahun di Semenanjung Korea melalui satu hari Sabtu saja. Ini adalah masalah yang berat dan membutuhkan komitmen yang kuat dari kedua negara. AS memiliki komitmen itu," katanya.

Pada Sabtu malam, Kim Myong Gil menuduh AS tidak berniat menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada melalui dialog sembari menegaskan bawa denukrilisasi Semenanjung Korea bisa dilakukan, namun dengan catatan sanksi terhadap perekonomian Korea Utara bisa dihilangkan.

"Ketika semua hambatan yang mengancam keselamatan Korea Utara dan membatasi perkembangan kami dihilangkan sepenuhnya tanpa bayang-bayang keraguan," ujarnya.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cadangan Devisa Anjlok US$ 2,1 Miliar

Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi pasar saham datang dari rilis angka cadangan devisa oleh Bank Indonesia (BI). Per September 2019, BI mencatat cadangan devisa Indonesia berada di level US$ 124,3 miliar, turun US$ 2,1 miliar jika dibandingkan posisi per akhir Agustus yang senilai US$ 126,4 miliar.

BI menyebut bahwa penurunan cadangan devisa pada bulan lalu utamanya dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di bank sentral.

Dengan cadangan devisa yang menipis, praktis amunisi dari bank sentral untuk melakukan intervensi kala rupiah mendapatkan tekanan jual yang besar menjadi ikut menipis. Simpelnya, rupiah akan menjadi lebih rentan untuk digoyang. Hingga siang hari ini, rupiah melemah 0,18% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.155/dolar AS. 

Untuk diketahui, rupiah sudah babak belur melawan dolar AS dalam beberapa waktu terakhir. Kini, menipisnya cadangan devisa yang berarti menipisnya amunisi dari bank sentral untuk melakukan intervensi kala rupiah mendapatkan tekanan jual yang besar membuat pelaku pasar melego kepemilikannya atas saham-saham di tanah air.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular