
Galau Ah! Rupiah Menguat di Kurs Tengah BI Tapi Loyo di Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 September 2019 10:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun di pasar spot, rupiah masih terkoreksi tipis.
Pada Senin (30/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.174. Rupiah menguat 0,16% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Penguatan ini memutus rantai depresiasi rupiah yang terjadi selama empat hari perdagangan beruntun. Selama periode tersebut, rupiah melemah 0,85%.
Namun di pasar spot, rupiah masih saja melemah. Pada pukul 10:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.165 di mana rupiah melemah 0,04%.
Kala pembukaan pasar, rupiah sempat menguat 0,07%. Namun kemudian apresiasi tipis itu habis dan rupiah berbalik melemah meski tipis saja.
Rupiah masih bisa menyamai pencapaian para tetangganya yang mampu menguat terhadap dolar AS. Sejauh ini, hanya rupiah, dolar Hong Kong, dan dolar Singapura yang masih melemah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:17 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Mayoritas mata uang Asia masih mampu bertahan di zona hijau karena data-data ekonomi yang positif, utamanya dari Korea Selatan dan Jepang. Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang melaporkan penjualan ritel pada Agustus naik 4,8% month-on-month (MoM), jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang turun 2,3%.
Angka penjualan ritel Negeri Matahari Terbit pada Agustus juga jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yang memperkirakan tidak ada pertumbuhan alias 0%. Kenaikan 4,8% sekaligus menjadi catatan terbaik sejak Maret 2014.
Tidak cuma di Jepang, penjualan ritel di Korea Selatan pun membaik. Pada Agustus, Biro Statistik Negeri Ginseng melaporkan penjualan ritel naik 4,1% year-on-year (YoY). Padahal bulan sebelumnya penjualan ritel turun 0,3%.
Data-data ini masih bisa membuat mata uang Asia cenderung menguat. Namun entah sampai kapan, karena isu seputar hubungan AS-China siap untuk membuat pelaku pasar memilih bermain aman.
Akhir pekan lalu, tersiar kabar bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump tengah mempertimbangkan untuk mencoret perusahaan-perusahaan China yang melantai di buursa saham New York (Wall Street). Forced delisting ini tentu membuat hubungan kedua negara berisiko memanas lagi.
"Saya berharap kedua negara bisa menyelesaikan perselisihan dengan sikap yang tenang dan rasional. Kami percaya bahwa resolusi akan membawa manfaat bagi kedua negara dan seluruh dunia," kata Wang Shouwen, Wakil Menteri Perdagangan China, seperti diberitakan Reuters.
Rencananya AS dan China akan menggelar dialog level menteri di Washington pada 10-11 Oktober. Semoga ancaman forced delisting terhadap perusahaan China tidak membuat pertemuan ini sampai batal. Sebab kalau damai dagang AS-China menjauh dan perang dagang kembali berkobar, maka perekonomian dunia akan merasakan dampak yang serius.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (30/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.174. Rupiah menguat 0,16% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Penguatan ini memutus rantai depresiasi rupiah yang terjadi selama empat hari perdagangan beruntun. Selama periode tersebut, rupiah melemah 0,85%.
Namun di pasar spot, rupiah masih saja melemah. Pada pukul 10:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.165 di mana rupiah melemah 0,04%.
Kala pembukaan pasar, rupiah sempat menguat 0,07%. Namun kemudian apresiasi tipis itu habis dan rupiah berbalik melemah meski tipis saja.
Rupiah masih bisa menyamai pencapaian para tetangganya yang mampu menguat terhadap dolar AS. Sejauh ini, hanya rupiah, dolar Hong Kong, dan dolar Singapura yang masih melemah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:17 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Mayoritas mata uang Asia masih mampu bertahan di zona hijau karena data-data ekonomi yang positif, utamanya dari Korea Selatan dan Jepang. Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang melaporkan penjualan ritel pada Agustus naik 4,8% month-on-month (MoM), jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang turun 2,3%.
Angka penjualan ritel Negeri Matahari Terbit pada Agustus juga jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yang memperkirakan tidak ada pertumbuhan alias 0%. Kenaikan 4,8% sekaligus menjadi catatan terbaik sejak Maret 2014.
Tidak cuma di Jepang, penjualan ritel di Korea Selatan pun membaik. Pada Agustus, Biro Statistik Negeri Ginseng melaporkan penjualan ritel naik 4,1% year-on-year (YoY). Padahal bulan sebelumnya penjualan ritel turun 0,3%.
Data-data ini masih bisa membuat mata uang Asia cenderung menguat. Namun entah sampai kapan, karena isu seputar hubungan AS-China siap untuk membuat pelaku pasar memilih bermain aman.
Akhir pekan lalu, tersiar kabar bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump tengah mempertimbangkan untuk mencoret perusahaan-perusahaan China yang melantai di buursa saham New York (Wall Street). Forced delisting ini tentu membuat hubungan kedua negara berisiko memanas lagi.
"Saya berharap kedua negara bisa menyelesaikan perselisihan dengan sikap yang tenang dan rasional. Kami percaya bahwa resolusi akan membawa manfaat bagi kedua negara dan seluruh dunia," kata Wang Shouwen, Wakil Menteri Perdagangan China, seperti diberitakan Reuters.
Rencananya AS dan China akan menggelar dialog level menteri di Washington pada 10-11 Oktober. Semoga ancaman forced delisting terhadap perusahaan China tidak membuat pertemuan ini sampai batal. Sebab kalau damai dagang AS-China menjauh dan perang dagang kembali berkobar, maka perekonomian dunia akan merasakan dampak yang serius.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular