Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) lagi-lagi melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Setidaknya dolar AS bisa ditahan di bawah Rp 14.100.
Pada Selasa (17/9/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.090 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,39% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,14%. Seiring jalan, rupiah semakin lemah dan sempat menembus level Rp 14.100.
Kemarin, rupiah melemah 0,54% terhadap dolar AS. Dengan begitu, depresiasi rupiah dalam dua hari terakhir sudah nyaris 1%.
Rupiah tidak sendiri karena hampir seluruh mata uang utama Asia juga melemah. Hanya peso Filipina yang mampu menguat, sisanya tidak selamat.
Jelang tengah hari tadi, rupiah sempat menjadi mata uang terlemah di Asia. Namun kini tidak lagi, karena posisi itu ditempati oleh rupee India.
Berikut kinerja dolar AS melawan mata uang Asia hari ini:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Peta kekuatan berubah drastis di sejak awal pekan ini. Dolar AS tiba-tiba mendapat momentum penguatan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berpeluang tidak memangkas suku bunga di pekan ini.
Piranti FedWatch milik CME Group sore ini menunjukkan pelaku pasar melihat probabilitas The Fed memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2% sebesar 65,8%. Padahal pada pekan lalu, probabilitas tersebut lebih dari 90%.
Kenaikan tajam harga minyak mentah menjadi penyebab perubahan peta kekuatan tersebut, selain juga beberapa data ekonomi dari AS yang cukup bagus.
 CME Group |
Harga minyak mentah menguat lebih dari 10% Senin kemarin, dan diprediksi akan terus bergerak naik. Serangan pesawat drone ke dua fasilitas minyak Arab Saudi menjadi penyebab kenaikan tersebut. Iran dituduh menjadi dalang serangan tersebut.
Sebelumnya Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa Negeri Adidaya sudah mengisi dan mengokang senjata alias siap menyerbu Iran. Iran tidak terima dituduh sebagai dalang serangan, dan menyatakan siap berperang dengan AS.
Analis dari Goldman Sachs mengatakan jika produksi minyak Arab Saudi belum pulih dalam enam pekan ke depan, maka harga minyak Brent akan mencapai US$ 75 per barel, sebagaimana dilansir CNBC International. Masih berdasarkan pemberitaan CNBC International. Analis dari Again Capital, John Kilduff, mengatakan jika terjadi eskalasi di Timur Tengah dan menjadi perang maka harga minyak mentah akan menuju US$ 100 per barel.
Kemungkinan terjadinya perang kini mulai mengecil setelah sikap Presiden AS Donald Trump melunak. Pasalnya peperangan bakal melambungkan harga minyak dan menambah kekhawatiran pasar soal konflik Timur Tengah.
"Saya seseorang yang tidak suka berperang," tegas Trump sebagaimana dilansir Reuters.
Namun tetap saja harga minyak mentah bisa terus merangkak naik. Dampak dari rusaknya dua fasilitas tersebut, produksi minyak Arab Saudi sebanyak 5,7 juta barel/hari terhenti, jumlah tersebut lebih dari separuh produksi Negeri Gurun Pasir. Angka 5,7 juta barel/hari juga sekira 5% produksi dunia, sehingga suplai minyak dunia sudah pasti terganggu.
Kenaikan harga minyak mentah tentunya akan berdampak pada peningkatan tekanan inflasi. Hal inilah yang membuat pelaku pasar menilai terbuka kemungkinan The Fed tetap menahan Federal Funds Rate. Ini yang membuat dolar AS punya energi untuk perkasa di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA