Kacau! Dalam 5 Tahun, Utang Emiten BUMN Melesat 10 Kali

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
17 September 2019 12:28
Kacau! Dalam 5 Tahun, Utang Emiten BUMN Melesat 10 Kali
Foto: Kementerian BUMN (detikFoto/Grandyos Zafna))
Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat global, Moody's Investor Service (moody's), dalam riset terbarunya menulis bahwa negara berkembang terutama di kawasan Asia Pacific menghadapi ancaman besar terkait tingginya total utang yang dibukukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam laporan yang ditulis 11 September 2019, Moody's menyampaikan bahwa negara dengan tingkat pajak yang kecil umumnya bergantung BUMN untuk mendanai sebagaian besar pembiayaan publik.

Moody's bahkan menyimpulkan bahwa berdasarkan indeks tata kelola perusahaan, Indonesia memiliki kemampuan manajemen utang implisit paling rendah, dibandingkan dengan negara lain.

Hal ini terutama mengingat banyak perusahaan pelat merah di Tanah Air yang mengalami masalah terkait tingginya rasio utang, seperti PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indofarma Tbk (INAF).

Sebagai informasi, riset kali ini merangkum performa utang BUMN di 17 negara kawasan Asia Pasifik, kecuali China.

Lebih lanjut, hingga Juni 2019, utang luar negeri (ULN) BUMN Indonesia tercatat mencapai US$ 52,8 miliar atau setara dengan Rp 744 triliun (asumsi kurs Rp 14.100/US$). Moody's menilai, angka tersebut terbilang mengkhawatirkan dan berdampak pada adanya risiko kontijensi atau ketidakpastian untuk RI sebagai pemegang saham BUMN.



Selain itu, berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dalam enam tahun terakhir tingkat utang emiten BUMN Indonesia melesat dengan total nilai di semester I-2019 mencapai Rp 3.776,2 triliun dari sebelumnya Rp 2.180,1 triliun di akhir tahun 2014.

Pertumbuhan utang BUMN karya menduduki posisi teratas, di mana total utang WSKT yang awalnya hanya Rp 9,7 triliun di tahun 2014, pada akhir Juni 2019 melesat hingga Rp 103,7 triliun atau naik 970% dalam 5 tahun.

Berbeda dengan emiten batu bara, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang dalam periode yang sama total kewajiban perusahaan hanya naik 16,7%, dari Rp 6,1 triliun di tahun 2014 menjadi Rp 7,2 triliun di paruh pertama tahun ini.

Sementara itu, meskipun pertumbuhan utang WSKT paling tinggi, namun nilai utang terbesar dibukukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dengan nilai masing-masing Rp 1.097,4 triliun dan Rp 1.045,9 triliun.

(BERLANJUT HALAMAN DUA) Pada dasarnya, tingkat utang yang tinggi belum tentu berarti bahwa perusahaan dilanda masalah likuiditas. Hal ini dikarenakan, jika utang perusahaan disokong oleh kinerja laba dan modal yang cukup maka artinya pengelolaan utang perusahaan cukup baik.

Nah, salah satu rasio keuangan yang umum digunakan untuk menganalisa performa utang dalam hal ini tingkat likuiditas adalah debt-to-equity ratio (DER).

DER menunjukkan tingkat utang perusahaan yang dihitung dengan membagi total utang dengan total ekuitas. DER bisa juga menandakan resiko kredit perusahaan, semakin tinggi nilainya maka semakin besar resiko kredit.



Emiten BUMN perbankan dikecualikan dari perhitungan DER mengingat aktifitas bisnis utama industri perbankan adalah penyaluran kredit.

Tabel di atas menunjukkan bahwa emiten pelat merah yang bergerak di industri konstruksi lagi-lagi mendominasi posisi teratas, meskipun nilai tertinggi dicatatkan oleh GIAA dengan capaian DER sebesar 4,4x. Lalu disusul oleh ADHI dengan DER 3,9x dan WSKT dengan nilai DER 3,6x.

Untuk diketahui, perolehan DER emiten konstruksi cukup tinggi karena banyak proyek-proyek yang bertipe turnkey yang artinya pembayaran dilakukan saat pekerjaan telah selesai seluruhnya atau pada saat proyek serah terima dari kontraktor ke pemilik proyek (developer).

Adapun, emiten yang pertumbuhan DER melesat paling besar dalam 6 tahun terakhir adalah PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) yang awalnya hanya mencatat nilai DER sebesar 0,08x di tahun 2014 menjadi 0,62x di tahun 2018. Akan tetapi, perolehan DER SMBR terbilang rendah dibandingkan dengan rekan BUMN lainnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Erick Mau Rombak Jajaran Komisaris, Saham BUMN Melempem

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular