
Habibie: Penjinak Rupiah, Korbankan 'Anak' Demi Lewati Krisis

Di tengah kondisi gawat tahun 1998, begawan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) ini mengambil langkah-langkah taktis yang warisannya masih kita lihat saat ini. Dia membentuk Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) yang kini beralih jadi PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Bank-bank kuat yang kita kenal saat ini merupakan buah dari restrukturisasi perbankan oleh BPPN, misalnya PT Bank Mandiri Tbk yang merupakan merger dari empat bank, yakni Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia.
Dalam masa pemerintahannya yang singkat, yakni hanya 17 bulan, Habibie juga mengesahkan dua produk undang-undang (UU) yang tanpanya maka masyarakat Indonesia bakal menjadi bulan-bulanan produsen nakal. Kita mengenalnya sebagai UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat (No. 5 tahun 1999) dan UU Perlindungan Konsumen (No. 8 tahun 1999).
Bahkan, dia mengorbankan perusahaan yang lahir dari tangan piawainya yakni PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio), sebagai harga yang harus dibayar untuk mendapat bantuan dana dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengatasi krisis agar tak berlarut-larut.
Dalam membantu Indonesia, IMF tidak mau gratisan. Mereka mensyaratkan beberapa klausul yang harus dipatuhi, salah satunya adalah penghentian pembiayaan pengembangan pesawat N250 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Habibie tidak dilibatkan dalam penandatanganan kesepakatan antara Soeharto dan IMF tersebut.
“Industri strategis di dunia ada tiga yang ditutup, pertama di Jepang, kedua Jerman, dan Indonesia waktu reformasi, sedih enggak? Tapi sudah deh itu lebih murah daripada kita perang saudara," ujar Habibie sebagaimana dikutip detik.com dalam acara Presidential Lecture di Gedung Thamrin Bank Indonesia (BI), Jakarta Pusat, Senin (13/2/2017).
Ketika ditutup, industri yang dirintis Habibie dengan 20 orang pegawai itu harus mem-PHK 48.000 pegawai. "Mulai dari 20 orang waktu itu, saya jadi Wakil Presiden serahkan 48.000 orang," kata Habibie.
Menurut Habibie, bahkan setelah menjadi Presiden RI pada periode 1998-1999, dia tetap mengalah dengan keputusan tersebut. Sebab, dia mengibaratkan, lebih baik mementingkan satu hal yang dicintai daripada satu hal yang disukai.
"Keputusan itu untuk Indonesia, saya mencintai rakyat. Saya mengalah asal NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tetap satu. Tidak seperti Rusia yang pecah jadi 17 negara," tutur Habibie.
Kecintaannya akan kemanusiaan mendorongnya memberikan referendum bagi Timor Timur, yang berujung pada lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut. Di tengah kontroversi yang menjegal kepemimpinannya itu, rupiah “bersama” dia dengan melemah 185 poin (2,5%) ke 7.385 mengiringi langkahnya meninggalkan Istana Negara, ketika MPR menolak laporan pertanggungjawabannya pada 20 Oktober 1999.
Republik ini layak mengenangnya sebagai Bapak Bangsa yang tak hanya mencintai bangsa ini, tapi sukses 'Menjinakkan Rupiah’.
(ags/dru)