Walau Kurang Meyakinkan, Setidaknya IHSG Masih Hijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 September 2019 12:40
Walau Kurang Meyakinkan, Setidaknya IHSG Masih Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,09% ke level 6.331,73, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghabiskan mayoritas waktunya hingga siang hari di zona hijau. Namun begitu, penguatan yang dibukukan IHSG pada hari ini hanya tipis saja. Per akhir sesi satu, IHSG menguat 0,05% ke level 6.329,07.

Walau kurang meyakinkan, IHSG tetap berada di jalur yang tepat untuk mencetak apresiasi selama lima hari beruntun.

Saham-saham yang berkontribusi signfikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (+11,72%), PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (+3,31%), PT XL Axiata Tbk/EXCL (+5,18%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+0,99%), dan PT Bank Mayapada Internasional Tbk/MAYA (+3,7%).

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei menguat 0,28%, indeks Hang Seng naik tipis 0,08%, indeks Straits Times terkerek 0,34%, dan indeks Kospi bertambah 0,55%.

Hubungan AS-China yang kian mesra di bidang perdagangan sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Kemarin (9/9/2019), Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa AS dan China telah mencapai kesepakatan terkait dengan konsep pengawasan yang akan digunakan untuk kesepakatan dagang kedua negara nantinya, melansir CNBC International.

Mnuchin menambahkan bahwa perbincangan di level wakil menteri akan digelar pada bulan ini, diikuti dengan negosiasi tatap muka di level yang lebih tinggi pada awal Oktober. Negosiasi tatap muka di AS pada awal bulan depan diketahui akan melibatkan Mnuchin sendiri, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Wakil Perdana Menteri China Liu He, serta Gubernur Bank Sentral China Yi Gang.

Seperti yang diketahui, hubungan AS dan China sempat kembali memanas pasca pada tanggal 1 September AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.

Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.

Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.

Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.

Diharapkan, negosiasi secara tatap muka pada awal bulan depan bisa membawa kedua negara selangkah lebih dekat dengan yang namanya kesepakatan dagang.

BELRANJUT KE HALAMAN 2 -> Kemungkinan The Fed Pangkas Bunga Capai 93,5%

Lebih lanjut, aksi beli dilakukan di bursa saham Asia seiring dengan aura pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Federal Reserve (The Fed) yang masih kental terasa.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 10 September 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan minggu depan berada di level 93,5%.

Lemahnya pasar tenaga kerja AS masih menjadi faktor yang membuat pelaku pasar yakin bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas oleh bank sentral AS pada pertemuan yang akan diglear pekan depan.

Pada hari Jumat (6/9/2019), penciptaan lapangan kerja AS (di luar sektor pertanian) periode Agustus 2019 diumumkan sebanyak 130.000 saja, jauh di bawah konsensus yang sebanyak 163.000, dilansir dari Forex Factory. Untuk diketahui, pasar tenaga kerja merupakan satu dari dua indikator utama yang dicermati The Fed dalam menentukan keputusan terkait suku bunga acuan, selain juga inflasi.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.

Data teranyar, Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index tercatat tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Juli 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.

Lebih lanjut, Gubernur The Fed Jerome Powell juga mengeluarkan pernyataan bernada dovish yang membuat pelaku pasar semakin pede bahwa bank sentral akan segera memangkas tingkat suku bunga acuan.

Melansir CNBC International, pada hari Jumat kemarin Powell menegaskan bahwa pihaknya akan terus bertindak sebagaimana mestinya untuk mempertahankan ekspansi ekonomi yang saat ini tengah berlangsung.

Sekedar mengingatkan, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps dalam pertemuannya pada bulan Juli, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2008 silam.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan akan bisa menghindarkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Dengan adanya pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian AS akan berputar lebih kencang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular