AS-China Janjian Oktober, Bursa Asia Euforia di Akhir Pekan

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 September 2019 17:28
Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia menutup perdagangan hari ini di zona hijau.
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia menutup perdagangan akhir pekan ini, Jumat (6/9/2019) di zona hijau: indeks Nikkei menguat 0,54%, indeks Shanghai naik 0,46%, indeks Hang Seng terapresiasi 0,66%, dan indeks Kospi bertambah 0,22%.

Kabar gembira terkait perkembangan perang dagang AS-China masih menjadi faktor yang melandasi aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Kemarin (5/9/2019), Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa delegasi kedua negara melakukan perbincangan via sambungan telepon pada pagi hari.

Perbincangan via sambungan telepon ini melibatkan berbagai tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.

AS-China Bisa Teken Kesepakatan Dagang, Bursa Asia MenghijauFoto: Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Menteri Keuangan Steven Mnuchin, Menteri Perdagangan Wilbur Ross, penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow dan penasihat perdagangan Gedung Putih Peter Navarro berpose untuk foto dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He, wakil menteri China dan pejabat senior sebelum dimulainya Pembicaraan perdagangan AS-Cina di Gedung Putih di Washington, AS, 21 Februari 2019. (REUTERS / Joshua Roberts)

Hasilnya, kedua belah pihak menyepakati gelaran negosiasi dagang secara tatap muka pada awal bulan depan, dilansir dari CNBC International. AS dan China akan menggelar negosiasi tersebut di Washington, D.C. yang merupakan ibu kota dari AS.

Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China, kedua belah pihak akan menggelar konsultasi pada pertengahan bulan ini sebagai bagian dari persiapan negosiasi tatap muka di awal bulan depan.


Lantas, asa damai dagang AS-China yang sempat redup kini kembali membuncah. Sebelumnya, menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, pejabat pemerintahan AS dan China disebut sedang kesulitan untuk menyetujui gelaran negosiasi dagang secara tatap muka, melansir Bloomberg.

Penyebabnya, AS menolak permintaan dari Beijing untuk menunda pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang dimulai pada akhir pekan kemarin.

Seperti yang diketahui, pada tanggal 1 September waktu setempat AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.

Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.

Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.

Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.

Kini, justru muncul harapan bahwa negosiasi dagang AS-China akan menciptakan suatu terobosan. Kemarin malam, Pemimpin Redaksi Global Times Hu Xijin menyebutkan bahwa ada kemungkinan yang lebih besar dalam negosiasi kali ini bahwa kedua negara bisa menciptakan suatu terobosan guna mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun.

"Secara pribadi saya rasa AS, lelah dalam menghadapi perang dagang, mungkin tak akan lagi berharap untuk menghancurkan keinginan pihak China. Ada kemungkinan yang lebih besar terkait dicapainya sebuah terobosan dari kedua negara," tulis Hu melalui akun Twitter pribadinya.

Untuk diketahui, Global Times merupakan sebuah tabloid yang berada di bawah naungan People's Daily. People's Daily sendiri merupakan sebuah koran yang dikontrol oleh Partai Komunis China.

Sebelumnya, berbagai proyeksi dari Hu terkait dengan perang dagang AS-China terbukti berbuah menjadi kenyataan.


Diharapkan, gelaran negosiasi dagang pada awal bulan depan bisa membawa kedua negara meneken kesepakatan dagang, sekaligus menghindarkan perekonomian keduanya dari yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Tanda-tanda bahwa perekonomian AS akan mengalami hard landing sudah sangat terlihat. Pada hari Selasa (3/9/2019), Manufacturing PMI periode Agustus 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 49,1, menandai kontraksi aktivitas manufaktur pertama di AS sejak tahun 2016.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia bisa menghindari yang namanya hard landing, maka perekonomian dunia dipastikan akan bisa melaju di level yang relatif tinggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 


(ank/tas) Next Article AS-China Teken Kesepakatan 15 Januari, Bursa Asia Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular