
Merah Lagi, Tak Ada September Ceria Bagi IHSG
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 September 2019 16:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,05% ke level 6.293,36, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat bertahan di zona hijau untuk beberapa saat. Namun sekitar pukul 10:00 WIB, IHSG mendadak putar balik ke zona merah dan nyaris tak pernah lagi bisa merangsek ke zona hijau. Per akhir sesi dua, indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,46% ke level 6.261,59.
Lantas, IHSG selalu melemah dalam dua hari perdagangan pertama di bulan September. Pada perdagangan kemarin (2/9/2019), IHSG jatuh sebesar 0,6%.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-3,83%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-1,66%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,36%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,99%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-2,3%).
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik tipis 0,02%, indeks Shanghai menguat 0,21%, dan indeks Straits Times terparesiasi 0,2%.
Rilis data ekonomi China yang menggembirakan sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Kemarin, Manufacturing PMI China periode Agustus 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,4, lebih baik dari konsensus yang memperkirakannya di level 49,8, seperti dilansir dari Trading Economics.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Pada dua bulan sebelumnya (Juni dan Juli), aktivitas manufaktur China tercatat selalu membukukan kontraksi. Alhasil, ekspansi yang dicatatkan pada bulan Agustus sukses mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi beli di bursa saham Asia.
Di sisi lain, perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif membatasi aksi beli yang dilakukan oleh pelaku pasar. Menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, pejabat pemerintahan AS dan China kini sedang kesulitan untuk menyetujui gelaran negosiasi dagang secara tatap muka antar delegasi kedua negara yang rencananya akan digelar pada bulan ini, melansir Bloomberg.
Penyebabnya, AS menolak permintaan dari Beijing untuk menunda pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang dimulai pada akhir pekan kemarin.
Padahal, sebelumya Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa negosiasi dagang masih terjadwal, sembari mengindikasikan bahwa kedua negara berada di jalur yang tepat untuk menggelar pertemuan tatap muka yang sangat dinantikan oleh pelaku pasar tersebut.
"Kami berbicara dengan China, pertemuan (tatap muka) masih terjadwal seperti yang kalian ketahui, di bulan September. Itu belumlah berubah - mereka belum mengubahnya, kami juga belum. Kita lihat saja apa yang akan terjadi," kata presiden AS ke-45 tersebut pada akhir pekan kemarin, dilansir dari Bloomberg.
Seperti yang diketahui, pada tanggal 1 September waktu setempat AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Ada potensi yang sangat besar bahwa perang dagang AS-China akan kembali tereskalasi dalam waktu dekat dan membawa perekonomian keduanya mengalami hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami yang namanya hard landing, maka perekonomian dunia dipastikan akan mengalami tekanan yang signifikan juga.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Bukan Cuma Perang Dagang, Brexit Juga Bikin Gemetar
Lantas, IHSG selalu melemah dalam dua hari perdagangan pertama di bulan September. Pada perdagangan kemarin (2/9/2019), IHSG jatuh sebesar 0,6%.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-3,83%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-1,66%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,36%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,99%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-2,3%).
Rilis data ekonomi China yang menggembirakan sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Kemarin, Manufacturing PMI China periode Agustus 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,4, lebih baik dari konsensus yang memperkirakannya di level 49,8, seperti dilansir dari Trading Economics.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Pada dua bulan sebelumnya (Juni dan Juli), aktivitas manufaktur China tercatat selalu membukukan kontraksi. Alhasil, ekspansi yang dicatatkan pada bulan Agustus sukses mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi beli di bursa saham Asia.
Di sisi lain, perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif membatasi aksi beli yang dilakukan oleh pelaku pasar. Menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, pejabat pemerintahan AS dan China kini sedang kesulitan untuk menyetujui gelaran negosiasi dagang secara tatap muka antar delegasi kedua negara yang rencananya akan digelar pada bulan ini, melansir Bloomberg.
Penyebabnya, AS menolak permintaan dari Beijing untuk menunda pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang dimulai pada akhir pekan kemarin.
Padahal, sebelumya Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa negosiasi dagang masih terjadwal, sembari mengindikasikan bahwa kedua negara berada di jalur yang tepat untuk menggelar pertemuan tatap muka yang sangat dinantikan oleh pelaku pasar tersebut.
"Kami berbicara dengan China, pertemuan (tatap muka) masih terjadwal seperti yang kalian ketahui, di bulan September. Itu belumlah berubah - mereka belum mengubahnya, kami juga belum. Kita lihat saja apa yang akan terjadi," kata presiden AS ke-45 tersebut pada akhir pekan kemarin, dilansir dari Bloomberg.
Seperti yang diketahui, pada tanggal 1 September waktu setempat AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Ada potensi yang sangat besar bahwa perang dagang AS-China akan kembali tereskalasi dalam waktu dekat dan membawa perekonomian keduanya mengalami hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami yang namanya hard landing, maka perekonomian dunia dipastikan akan mengalami tekanan yang signifikan juga.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Bukan Cuma Perang Dagang, Brexit Juga Bikin Gemetar
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular