
Selain Emas, Investasi Mata Uang Ini Juga Cuan Saat Resesi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 August 2019 16:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas mencuri perhatian pelaku pasar akibat kenaikan yang signifikan di tahun ini. Emas dunia di pasar spot mencapai level US$ 1.554/troy ons Senin kemarin, menjadi level tertinggi sejak April 2013. Sementara emas Antam mengekor harga emas dunia, bahkan terus mencetak rekor tertinggi.
Harga emas melesat naik akibat pasar finansial yang dipenuhi ketidakpastian, ekonomi dunia yang melambat, bahkan kemungkinan terjadi resesi. Penyebab utama adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang memanas di bulan ini.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pada 1 Agustus lalu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara tiba-tiba mengumumkan akan mengenakan tarif impor sebesar 10% terhadap produk China. Nilai total produk yang dikenakan tarif senilai US$ 300 miliar dan akan diberlakukan mulai 1 September.
Sejak saat itu pemerintah China "membisu" dan membalas AS dengan mendevaluasi nilai tukar yuan hingga ke level terendah lebih dari satu dekade melawan dolar AS. Tidak ada pernyataan yang keluar dari para pejabat China, hanya bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang konsisten mendevaluasi kurs yuan hingga ke atas 7/US$, level yang dianggap kritis, dan menguntungkan China dari sisi perdagangan international.
Pelaku pasar memperkirakan China hanya membalas dengan mendevaluasi yuan dan tidak menaikkan tarif impor produk AS. Pemerintah Washington pun berusaha memperbaiki keadaan dengan menunda kenaikan tarif impor beberapa produk dari China yang sejatinya berlaku 1 September nanti. Bahkan ada beberapa produk yang batal dikenakan tarif impor.
Namun, China kini membuat kejutan dengan mengenakan tarif baru untuk produk impor dari AS. Pemerintah China akan menaikkan tarif impor mulai dari 5% sampai 10% terhadap produk-produk dari Paman Sam senilai US$ 75 miliar, dan mulai berlaku pada 1 September dan 15 Desember.
Tidak hanya itu, China kembali mengenakan tarif sebesar 25% terhadap mobil dari AS yang akan masuk ke China, dan untuk suku cadangnya akan dikenakan tarif sebesar 5%. Kebijakan ini sebelumnya dihentikan pada bulan April lalu, dan kini akan diberlakukan lagi mulai 15 Desember.
Akibat eskalasi perang dagang AS-China, harga emas melesat dunia di pasar spot melesat naik sekitar 8% sepanjang bulan Agustus. Sementara sepanjang tahun ini, nilai emas sudah melonjak sekitar 19%.
Status emas sebagai aman atau safe haven membuatnya menjadi incaran pelaku pasar saat terjadi gejolak di pasar finansial akibat pelambatan ekonomi dan potensi terjadinya resesi.
Namun, selain emas ada aset mata uang yang juga cuan saat terjadi gejolak finansial.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Mata uang kerap dijadikan sebagai aset insvestasi, pergerakannya yang dinamis setiap hari bisa memberikan cuan. Tetapi tentunya tidak semua mata uang yang bisa memberikan cuan, bahkan ada yang memberikan kerugian.
Apalagi melihat kondisi global saat ini, ekonomi dunia melambat, bahkan ada ancaman resesi, dampaknya beberapa bank sentral menurunkan suku bunga untuk memberikan stimulus ke perekonomian. Penurunan suku bunga tentunya bisa berdampak pada pelemahan nilai tukar mata uang, apalagi jika negara tersebut sedang mengalami pelambatan ekonomi.
Bank Indonesia (BI) juga menurunkan suku bunga dalam dua bulan beruntun masing-masing 25 basis poin menjadi 5,5%. Tetapi rupiah nyatanya masih cukup kuat, hal ini terjadi akibat pelaku pasar berekspektasi laju perekonomian Indonesia akan semakin kencang akibat penurunan suku bunga tersebut.
Berbeda dengan bank sentral lainnya, BI menurunkan suku bunga bukan karena mengalami pelambatan ekonomi, melainkan karena memiliki ruang yang bisa dimanfaatkan untuk memacu perekonomian berlari lebih kencang.
Kuatnya rupiah membuat investasi di beberapa mata uang menjadi tidak menguntungkan di tahun ini, berdasarkan data dari Refinitiv.
Dolar AS
Mata uang paling populer untuk investasi di dunia ini justru melempem melawan rupiah. Hal ini terjadi akibat perang dagang AS dengan China yang membuat ekonominya melambat, dan memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga acuannya.
Di bulan Agustus, saat hubungan AS-China memanas dolar mampu menguat 1,62% melawan rupiah. Tapi jika dilihat sejak awal tahun atau year-to-date (ytd) greenback masih melemah 0,86%.
Dolar Singapura
Setali tiga uang dengan dolar AS, mata uang negara tetangga Indonesia ini juga tidak menunjukkan kinerja bagus jika dijadikan investasi. Sepanjang bulan Agustus dolar Singapura menguat 0,51% melawan rupiah, tetapi jika dilihat sejak awal tahun justru melemah 2,8%.
Kondisi ekonomi Negeri Merlion tidak sedang bagus, bahkan data-data terakhir menunjukkan kondisi yang semakin memburuk. Pertumbuhan ekonominya nyaris stagnan, dan inflasinya sangat rendah. '
Dolar Australia
Mata Uang Negeri Kanguru ini lebih parah lagi melawan rupiah, secara year-to-date anjlok lebih dari 5% sementara di bulan Agustus naik 0,27%.
Kondisi ekonomi Australia juga sedang memburuk, pasar tenaga kerja yang melemah, diikuti dengan inflasi yang rendah memaksa bank sentral Australia memangkas suku bunga sebanyak dua kali hingga ke level terendah 1%. Dampaknya spread bunga antara Australia dengan Indonesia menjadi lebar, dan tentunya berinvestasi di aset rupiah lebih menguntungkan dibandingkan dolar Australia.
Yuan China
Bank sentral China mendevaluasi mata uang yuan hingga ke level terlemah dalam lebih dari satu dekade melawan dolar AS. Dampaknya yuan juga terus merosot melawan rupiah. Sepanjang bulan Agustus yuan melemah 2,4% melawan rupiah, sementara sejak awal tahun sudah anjlok hampir 5%.
Franc Swiss
Mata uang ini memang tidak terlalu populer sebagai investasi, tetapi saat terjadi gejolak di pasar global, franc justru menjadi salah satu aset yang diincar pelaku pasar. Franc menjadi mata uang yang menyandang status safe haven.
Melansir investopedia.com, status safe haven tersebut didapat karena stabilitas pemerintahan dan sistem finansial yang dimiliki Swiss. Swiss juga memiliki tingkat inflasi yang stabil, serta para investor memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kredibilitas bank sentral Swiss (Swiss National Bank/SNB). Hasil studi para ekonom Deutche Bank menunjukkan dalam rentang Maret 1986 sampai September 2012 menunjukkan franc cenderung menguat ketika bursa saham global anjlok serta terjadi finansial stress. Namun, ketika kondisi finansial global relatif stabil, pergerakan franc dipengaruhi faktor fundamental lain seperti inflasi di Swiss. Sehingga para ekonom yang melakukan studi tersebut menyimpulkan franc menjadi aset safe haven saat terjadi gejolak di pasar finansial.
Terbukti di bulan Agustus saja, franc menguat 3,3% melawan rupiah, sementara sejak awal tahun franc masih melemah 0,38%. Pelemahan sejak awal tahun terjadi karena perang dagang AS-China belum tereskalasi.
Hal yang sama terjadi saat franc berhadapan dengan dolar AS. Sepanjang bulan Agustus franc menguat 1,44% melawan dolar AS. Sementara secara year-to-date, franc hanya menguat 0,09%.
Yen Jepang
Yen merupakan mata uang safe haven yang bisa dikatakan paling safe haven, Sedikit saja terjadi gejolak di pasar global yen akan menguat. Hal ini terjadi karena Jepang merupakan negara kreditur terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang yang dikutip CNBC International, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,1 triliun di tahun 2018. Status tersebut mampu dipertahankan dalam 28 tahun berturut-turut.
Saat terjadi gejolak di pasar finansial seperti saat ini, para investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen menjadi menguat.
Di bulan Agustus, yen menguat 4,57% melawan rupiah, sementara sejak awal tahun sebesar 2,92%. Sementara melawan dolar AS sepanjang bulan Agustus yen sudah menguat 2,5% melawan dolar AS, sementara sejak awal tahun menguat 3,2%.
Melihat performa tersebut, saat terjadi gejolak finansial akibat pelambatan ekonomi global, serta ancaman resesi, mata uang yen dan franc bisa jadi alternatif investasi selain emas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Krisis Energi, Jauh-jauh dari Mata Uang Ini Jika Tak Mau Rugi
Harga emas melesat naik akibat pasar finansial yang dipenuhi ketidakpastian, ekonomi dunia yang melambat, bahkan kemungkinan terjadi resesi. Penyebab utama adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang memanas di bulan ini.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pada 1 Agustus lalu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara tiba-tiba mengumumkan akan mengenakan tarif impor sebesar 10% terhadap produk China. Nilai total produk yang dikenakan tarif senilai US$ 300 miliar dan akan diberlakukan mulai 1 September.
Sejak saat itu pemerintah China "membisu" dan membalas AS dengan mendevaluasi nilai tukar yuan hingga ke level terendah lebih dari satu dekade melawan dolar AS. Tidak ada pernyataan yang keluar dari para pejabat China, hanya bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang konsisten mendevaluasi kurs yuan hingga ke atas 7/US$, level yang dianggap kritis, dan menguntungkan China dari sisi perdagangan international.
Pelaku pasar memperkirakan China hanya membalas dengan mendevaluasi yuan dan tidak menaikkan tarif impor produk AS. Pemerintah Washington pun berusaha memperbaiki keadaan dengan menunda kenaikan tarif impor beberapa produk dari China yang sejatinya berlaku 1 September nanti. Bahkan ada beberapa produk yang batal dikenakan tarif impor.
Namun, China kini membuat kejutan dengan mengenakan tarif baru untuk produk impor dari AS. Pemerintah China akan menaikkan tarif impor mulai dari 5% sampai 10% terhadap produk-produk dari Paman Sam senilai US$ 75 miliar, dan mulai berlaku pada 1 September dan 15 Desember.
Tidak hanya itu, China kembali mengenakan tarif sebesar 25% terhadap mobil dari AS yang akan masuk ke China, dan untuk suku cadangnya akan dikenakan tarif sebesar 5%. Kebijakan ini sebelumnya dihentikan pada bulan April lalu, dan kini akan diberlakukan lagi mulai 15 Desember.
Akibat eskalasi perang dagang AS-China, harga emas melesat dunia di pasar spot melesat naik sekitar 8% sepanjang bulan Agustus. Sementara sepanjang tahun ini, nilai emas sudah melonjak sekitar 19%.
Status emas sebagai aman atau safe haven membuatnya menjadi incaran pelaku pasar saat terjadi gejolak di pasar finansial akibat pelambatan ekonomi dan potensi terjadinya resesi.
Namun, selain emas ada aset mata uang yang juga cuan saat terjadi gejolak finansial.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Mata uang kerap dijadikan sebagai aset insvestasi, pergerakannya yang dinamis setiap hari bisa memberikan cuan. Tetapi tentunya tidak semua mata uang yang bisa memberikan cuan, bahkan ada yang memberikan kerugian.
Apalagi melihat kondisi global saat ini, ekonomi dunia melambat, bahkan ada ancaman resesi, dampaknya beberapa bank sentral menurunkan suku bunga untuk memberikan stimulus ke perekonomian. Penurunan suku bunga tentunya bisa berdampak pada pelemahan nilai tukar mata uang, apalagi jika negara tersebut sedang mengalami pelambatan ekonomi.
Bank Indonesia (BI) juga menurunkan suku bunga dalam dua bulan beruntun masing-masing 25 basis poin menjadi 5,5%. Tetapi rupiah nyatanya masih cukup kuat, hal ini terjadi akibat pelaku pasar berekspektasi laju perekonomian Indonesia akan semakin kencang akibat penurunan suku bunga tersebut.
Berbeda dengan bank sentral lainnya, BI menurunkan suku bunga bukan karena mengalami pelambatan ekonomi, melainkan karena memiliki ruang yang bisa dimanfaatkan untuk memacu perekonomian berlari lebih kencang.
Kuatnya rupiah membuat investasi di beberapa mata uang menjadi tidak menguntungkan di tahun ini, berdasarkan data dari Refinitiv.
Dolar AS
Mata uang paling populer untuk investasi di dunia ini justru melempem melawan rupiah. Hal ini terjadi akibat perang dagang AS dengan China yang membuat ekonominya melambat, dan memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga acuannya.
Di bulan Agustus, saat hubungan AS-China memanas dolar mampu menguat 1,62% melawan rupiah. Tapi jika dilihat sejak awal tahun atau year-to-date (ytd) greenback masih melemah 0,86%.
Dolar Singapura
Setali tiga uang dengan dolar AS, mata uang negara tetangga Indonesia ini juga tidak menunjukkan kinerja bagus jika dijadikan investasi. Sepanjang bulan Agustus dolar Singapura menguat 0,51% melawan rupiah, tetapi jika dilihat sejak awal tahun justru melemah 2,8%.
Kondisi ekonomi Negeri Merlion tidak sedang bagus, bahkan data-data terakhir menunjukkan kondisi yang semakin memburuk. Pertumbuhan ekonominya nyaris stagnan, dan inflasinya sangat rendah. '
Dolar Australia
Mata Uang Negeri Kanguru ini lebih parah lagi melawan rupiah, secara year-to-date anjlok lebih dari 5% sementara di bulan Agustus naik 0,27%.
Kondisi ekonomi Australia juga sedang memburuk, pasar tenaga kerja yang melemah, diikuti dengan inflasi yang rendah memaksa bank sentral Australia memangkas suku bunga sebanyak dua kali hingga ke level terendah 1%. Dampaknya spread bunga antara Australia dengan Indonesia menjadi lebar, dan tentunya berinvestasi di aset rupiah lebih menguntungkan dibandingkan dolar Australia.
Yuan China
Bank sentral China mendevaluasi mata uang yuan hingga ke level terlemah dalam lebih dari satu dekade melawan dolar AS. Dampaknya yuan juga terus merosot melawan rupiah. Sepanjang bulan Agustus yuan melemah 2,4% melawan rupiah, sementara sejak awal tahun sudah anjlok hampir 5%.
Franc Swiss
Mata uang ini memang tidak terlalu populer sebagai investasi, tetapi saat terjadi gejolak di pasar global, franc justru menjadi salah satu aset yang diincar pelaku pasar. Franc menjadi mata uang yang menyandang status safe haven.
Melansir investopedia.com, status safe haven tersebut didapat karena stabilitas pemerintahan dan sistem finansial yang dimiliki Swiss. Swiss juga memiliki tingkat inflasi yang stabil, serta para investor memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kredibilitas bank sentral Swiss (Swiss National Bank/SNB). Hasil studi para ekonom Deutche Bank menunjukkan dalam rentang Maret 1986 sampai September 2012 menunjukkan franc cenderung menguat ketika bursa saham global anjlok serta terjadi finansial stress. Namun, ketika kondisi finansial global relatif stabil, pergerakan franc dipengaruhi faktor fundamental lain seperti inflasi di Swiss. Sehingga para ekonom yang melakukan studi tersebut menyimpulkan franc menjadi aset safe haven saat terjadi gejolak di pasar finansial.
Terbukti di bulan Agustus saja, franc menguat 3,3% melawan rupiah, sementara sejak awal tahun franc masih melemah 0,38%. Pelemahan sejak awal tahun terjadi karena perang dagang AS-China belum tereskalasi.
Hal yang sama terjadi saat franc berhadapan dengan dolar AS. Sepanjang bulan Agustus franc menguat 1,44% melawan dolar AS. Sementara secara year-to-date, franc hanya menguat 0,09%.
Yen Jepang
Yen merupakan mata uang safe haven yang bisa dikatakan paling safe haven, Sedikit saja terjadi gejolak di pasar global yen akan menguat. Hal ini terjadi karena Jepang merupakan negara kreditur terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang yang dikutip CNBC International, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,1 triliun di tahun 2018. Status tersebut mampu dipertahankan dalam 28 tahun berturut-turut.
Saat terjadi gejolak di pasar finansial seperti saat ini, para investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen menjadi menguat.
Di bulan Agustus, yen menguat 4,57% melawan rupiah, sementara sejak awal tahun sebesar 2,92%. Sementara melawan dolar AS sepanjang bulan Agustus yen sudah menguat 2,5% melawan dolar AS, sementara sejak awal tahun menguat 3,2%.
Melihat performa tersebut, saat terjadi gejolak finansial akibat pelambatan ekonomi global, serta ancaman resesi, mata uang yen dan franc bisa jadi alternatif investasi selain emas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Krisis Energi, Jauh-jauh dari Mata Uang Ini Jika Tak Mau Rugi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular