Investor Pilih Emas, Rupiah Lesu di Kurs Tengah BI dan Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 August 2019 10:22
x
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Hari ini, sepertinya arus modal sedang berkerumun di sekitar emas. Pada pukul 10:08 WIB, harga si logam mulia naik 1,04% dan berada di titik tertinggi sejak 2013. 

 


Kalau yen saja sudah dirasa kurang aman dan investor memilih sangat konservatif dengan berburu emas, maka memang ada sesuatu yang besar yang sedang mengguncang pasar. Sepertinya 'pusat gempa' itu ada di AS. 

Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump 'mengumumkan' melalui Twitter bahwa Negeri Paman Sam akan mengumumkan kenaikan bea masuk dari 25% menjadi 30% bagi impor produk China senilai US$ 250 miliar. Selain itu, Trump juga akan mengeksekusi bea masuk baru bagi importasi produk-produk China senilai US$ 300 miliar dengan tarif 15%.

"Mulai 1 Oktober, impor produk China senilai US$ 250 miliar yang saat ini dikenai tarif 25% akan naik menjadi 30%. Sebagai tambahan, impor baru senilai US$ 300 miliar yang awalnya dikenakan tarif 10% dinaikkan menjadi 15% berlaku 1 September. Terima kasih atas perhatiannya!" demikian cuit Trump. 

Dalam pertemuan G7, Trump menegaskan bahwa sikapnya sudah final. Bahkan dia menyesal tidak dari dulu menaikkan tarif bea masuk bagi produk-produk China. 

"Presiden Trump merespons dengan tegas. Beliau menyesal tidak menaikkan tarif lebih tinggi," tegas Stephanie Grisham, Juru Bicara Gedung Putih, dikutip dari Reuters.

China pun tidak terima dan melakukan serangan balasan. Beijing mengumumkan akan menaikkan bea masuk bagi produk-produk made in the USA senilai US$ 75 miliar dari 5% menjadi 10%. Produk-produk tersebut antara lain kedelai, minyak mentah, dan pesawat.

"Keputusan China untuk menaikkan tarif bea masuk didorong oleh sikap AS yang uniteralis dan proteksionis," tegas pernyataan tertulis Kementerian Perdagangan China. Kenaikan ini akan dibagi menjadi dua tahap yaitu 1 September dan 15 Desember. 

Tidak cuma perang dagang, perang investasi pun mulai terjadi. Trump meminta perusahaan-perusahaan AS untuk menutup pabrik dan menghentikan produksi di China. 

"Perusahaan AS diminta untuk segera mencari alternatif, termasuk membawanya pulang ke rumah dan membuat produk di AS. Kita tidak butuh China dan, jujur saja, akan lebih baik tanpa mereka," cuit Trump di Twitter.


Setelah pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping di Osaka akhir Juni lalu, hubungan Washington-Beijing sepertinya malah memburuk. Bukannya damai dagang, perang dagang justru kian panas.

Perang dagang adalah risiko besar bagi perekonomian global. Saat dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia saling hambat, dampaknya adalah kerusakan rantai pasok. Ekspor dan investasi di berbagai negara akan terpukul, tidak terkecuali Indonesia. 

Benar saja, isu perang dagang AS-China menjadi momok utama di pasar keuangan Asia hari ini. Sulit berharap pelaku pasar menjadi agresif, justru yang ada adalah bermain aman dengan menjauhi aset-aset di negara berkembang.



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular